Mohon tunggu...
Muhammad Fatih Damarjati
Muhammad Fatih Damarjati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bismillah Suka Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tenangkan Jiwa, Berserah pada Allah Ta'ala

27 Juni 2023   20:49 Diperbarui: 27 Juni 2023   20:58 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

     Hidup seringkali tidak berjalan sesuai rencana. Bahkan rencana yang sudah diperhitungkan matang, juga kerap tidak terwujud, tidak jarang pula malah merugi. Ambyar. Begitulah adanya, manusia hanya bisa menyusun rencana, ketetapan Allah mampu untuk hanya sekedar meruntuhkan segalanya. Karena itu, ada sebuah pepatah bijak, "Manusia mengatur rencana, Allah menertawakannya."

     Kita seringkali mencemaskan berbagai hal dalam kehidupan, seperti rezeki, jodoh, keturunan, ujian, dan berbagai permasalahan sehari-hari. Padahal menurut Syekh Ibnu Atha'illah, semua telah ditulis dan ditetapkan dilangit, sebagaimana halnya ajal. Jadi, kita tidak perlu mencemaskan segala sesuatu yang sejatinya telah ditetapkan oleh Allah SWT. Tulisan ini mengungkap berbagai kunci untuk mencapai al-muthmainnah (kehidupan yang tenang), tanpa rasa cemas dan suatu kekecewaan. 

     Meski demikian, bukan berarti kita tidak memerlukan usaha atau ikhtiar sama sekalo. Srbab, jika kita terlalu menganggap hidup ini wayang, kita tergolong kaum Jabariyah. Sebaliknya, kita tergolong kelompok Qadariyah, jika kita terlalu mengandalkan ikhtiar. Itulah keistimewaan Syekh Ibnu Atha'illah as-Sakandari (1260-1309 M) dalam Kitab At-Tanwir.

     Beliau secara pas dan proporsional memadukan antara porsi ikhtiar dan tawakal. Berbeda dengan Al-Hikam, karya legendarisnya yang lain, Kitab ini menguraikan kalam hikmahnya dengan narasi jelas, rinci, ringan dan mudah dipahami. Sementara di Al-Hikam, yang menjadi rujukan utama ilmu tasawuf, lebih banyak berisi aforisme atau kalam-kalam hikmah pendek saja. 

     Di tangan Ibnu Atha'illah pula, tasawuf yang sulit dipahami oleh nalar orang biasa dan cenderung menggunakan bahasa langit, menjadi sangat membumi: aplikatif, solutif, dan relevam untuk menjawab berbagai problematika hidup manusia modern saat ini. Terutama menjawab berbagai problem kecemasan yang semakin banyak melanda jiwa-jiwa yang kering dari limpahan kasih-Nya.

     Keindahan bahasa dan kedalaman makna yang digunakan Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitab al-Hikam, dipuji oleh kitab Iqadh al-Himam fi syarh al-Hikam, "Andai dalam sholat dibolehkan membaca selain ayat-ayat Al-Qur'an, bait-bait dalam kitab ini sangat layak untuk itu." Sungguh dahsyat memang. Kabar baiknya, dalam kitab At-Tanwir yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ini, Ibnu Atha'illah masih tidak berubah. Uraian dalam artikel ini diperkaya dengan banyak petikan ayat Al-Qur'an dan Hadis Nabi. Sesekali diselingi dengan bait syair gubahannya dan ungkapan ulama yang menggugah nurani.

     Ibnu Atha'illah mendorong kita memasrahkan urusan duniawi yang sudah Allah atur sedemikian rupa, dan hendaknya tidak diintervensi. Jika membaca dengan seksama, terdapat satu maqalah di dalam Al-Hikam yang mewakili seluruh pembahasan dalam artikel ini, 

     ارح نفسك من التدبيرر, فما قام به لغيرك عنك لا تقم به لنفسك

"Istirahatkan dirimu dari mengurusi kesibukan dunia, apa yang telah Allah atur tak perlu kau ikut campur"

     Karena dirasa sangat mewakili, saya menjadikannya inspirasi dalam artikel ini. 

     Ada banyak sekali jawaban Ibnu Atha'illah yang sangat relevan dengan beragam persoalan yang kita hadapi pada hari ini dan seterusnya. Tentang rezeki misalnya, sebuah persoalan yang paling banyak terkait dengan hajat hidup manusia. Dengan sangat detail Ibnu Atha'illah berusaha menguraikan mulai dari mengapa Allah memberikan ruang mencari rezeki? Mengapa tidak dipenuhi saja semua kebutuhan manusia tanpa perlu mencarinya? Karena pada dasarnya Allah menjamin rezeki dan segala kebutuhan hamba-Nya. Diperlukan cara khusus agar seorang hamba dapat menyelaraskan antara ikhtiar dan tawakal secara proporsional. 

     Ibnu Atha'illah memberi perhatian besar pada kata tadbir, yang memiliki terjemahan bebas "mengatur". Seorang ulama sekaligus filsuf muslim pertama di Spanyol, Ibnu Bajjah menjelaskan dalam bukunya Tadbir al-Mutawahhid bahwa kata tadbir sering digunakan dengan makna yang berbeda-beda. Namun umumnya dimaknai sebagai, "Mengatur tindakan untuk sebuah tujuan yang direncanakan." Tadbir digunakan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Karena Allah SWT. adalah al-Mudabbir, Yang Maha Mengatur. Sebab demikian, tadbir yang paling hakiki adalah tadbir Allah. Sedangkan penggunaan istilah ini bagi manusia hanyalah sebagai analogi saja. 

     Setelah segala ikhtiar yang kita lakukan, kita hanya butuh menenangkan jiwa, menepi sesaat dari berbagai kesibukan dunia, lalu berserah diri atas semua tadbir Allah SWT.

     Dapat disimpulkan, sejatinya manusia tidak sama sekali mempunyai kemampuan mengatur takdirnya. Wilayah manusia hanya sebatas ikhtiar, lalu tawakal. Selebihnya, tidak perlu sibuk turut serta dalam mengatur hasil akhirnya. Biarkan itu semua menjadi keputusan Allah semata. Dengan begitu, hidup kita akan menjadi lebih tenang dan bahagia. 

     Semoga bermnafaat dan senantiasa memberikan keberkahan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun