Mohon tunggu...
Muhammad Farras Shaka
Muhammad Farras Shaka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Free mind, reflective, and critical.

Seorang terpelajar mesti adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keterpenjaraan Basyariyah dan Wabah "Pseudo-Liberalisme" Modern

21 Desember 2022   18:07 Diperbarui: 21 Desember 2022   18:21 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sebaik-baik perkara ada pada pertengahan."

Muhammad SAW

Memanglah fakta bahwa manusia sebagai mahluk hidup perlu makan, minum, berhubungan seksual, dan lain-lain sebagainya yang bersifat jasmaniah, namun merupakan salah satu dari sekian banyak problem modernitas adalah bahwa manusia seringkali terjebak dalam elemen-elemen yang jasmaniah tersebut. 

Makanan serta minuman dengan jutaan varian rasa dan coraknya membanjiri otak masyarakat modern, masyarakat modern telah mengalami pergeseran paradigma dalam memandang makanan serta minuman  dari "makanan-minuman sebagai sumber energi" menjadi "makanan-minuman sebagai ajang pemanjaan lidah", hubungan seksual juga sangat mudah sekali dilakukan dengan dalih "mutual consent" sehingga hubungan seksual kehilangan sama sekali elemen sakralnya sebagai aktivitas penyatuan kutub maskulin dengan kutub feminin dari dua manusia yang saling mencintai, alih-alih hubungan seksual dijadikan wahana dua insan untuk saling memberikan cinta kasih satu sama lain malah ia direduksi maknanya hanya sekedar menjadi hubungan dua manusia untuk melepaskan ketegangan basyariyahnya dibungkus dengan dalih kesepakatan dua belah pihak (consent).

Ada apa dengan segala fenomena downgrade massal masyarakat modern ini? Dalam bahasa sufistiknya, mungkin masyarakat modern kurang melakukan tirakat atau pembatasan diri, saya setuju jika dikatakan aktivitas tirakat adalah yang jarang dilakukan oleh orang banyak di era modern ini, tapi penulis tidak berhenti di "tirakat sebagai solusi keterpenjaraan basyariyah masyarakat modern" untuk saat ini. 

Saya membaca bahwa ada misinterpretasi massal manusia modern terkait apa itu makna sejati dari "liberalisme", liberalisme memang tidak akan bisa dilepaskan dari term kebebasan, sebab memang akar kata liberalisme itu sendiri berakar dari kata Liber yang berarti bebas, namun manusia yang sungguh belum mengerti hakikat dirinya akan menjadikan premis-premis liberalistik sebagai landasan filosofisnya untuk hidup tanpa rambu-batas apapun, seolah jikalau kau sudah bebas maka tak ada lagi yang berhak membatasimu. 

Orang seperti ini luput memahami bahwa disamping manusia memiliki kebebasan yang melekat secara fitrah di dalam dirinya, namun ia tidak terlepas dari term "tanggung jawab" dalam kehidupannya, dan kebermaknaan manusia akan ditemukan bukan karena ia bebas semata, tetapi karena ia menggunakan kebebasannya dengan penuh tanggung jawab.

Firdaus palsu masyarakat modern

Aktivitas-aktivitas biologis memang nikmat untuk dilakukan, tidak bisa berbohong bahwa kita lebih menginginkan memakan makanan restoran yang lezat nan mewah dibanding memakan nasi bercampur garam dan air untuk menghaluskannya, tidak bisa menipu bahwa kita menyukai hubungan seksual dengan lawan jenis kita, tidak bisa bersilat lidah bahwa kita mencintai minuman-minuman penuh gula dan rasa dibanding jamu pahit yang sungguh menyehatkan kita, itu sungguh manusiawi dan fitrahi. 

Namun bagi seorang insan, kenikmatan sejati bukanlah terletak pada hal-hal biologis tersebut, bagi seorang insan, kenikmatan sejati justru ditemukan dalam membatasi diri dari banjir nikmat biologis yang akan melupakan diri kita akan apa hakikat kita untuk hadir di dunia fana ini. 

Seorang insan menjadikan yang biologis tersebut sebagai penyokong dirinya untuk hidup mengabdi pada nilai yang lebih tinggi dari manusia itu sendiri, ia tetap makan nikmat, namun makan nikmat hanyalah alat baginya dan bukan tujuan baginya, yang biologis baginya hanyalah sesederhana alat untuk bertahan hidup dan berbagi cinta dengan yang lainnya.

Namun sekarang masyarakat modern terjebak pada yang biologis ini, ia terpenjara oleh ketubuhannya sendiri, fatalnya lagi mereka menganggap bahwa kenikmatan sejati letaknya adalah pada yang biologis ini. 

Masyarakat modern kini telah asing dari yang namanya pembatasan diri, menjaga kebersihan jiwa, pengorbanan spiritual, transendensi diri, yang mana hal-hal yang tersebut adalah dimana kenikmatan sejati ditemukan, adalah dimana kebermaknaan hidup ditemukan.

Orang yang terjebak pada lembah kulinerisme dan seksualisme tidak akan mampu meneguk keindahan dunia kesejatian yang penuh keindahan, dunia kulinerisme dan seksualisme sungguh kering dan nirmakna, sebab jika makanan lezat telah disantap tamak dan nafsu syahwat telah meronta bagai serigala, kita akan masuk ke dalam pola dialekti biologis sirkuler makan-seks-makan-seks yang tiada berkesudahan, dan jika ini sudah terjadi pada diri kita sudah pasti kesejahteraan psikologis dan kebasahan spiritual adalah korbannya. 

Pertanyaan yang perlu untuk direfleksikan oleh orang yang terjebak dalam dialektika biologis makan-seks-makan-seks yang tiada berkesudahan tersebut adalah "apa yang membedakan anda dari binatang?"

Menemukan makna kebebasan yang sejati

"Kebebasan adalah hak primordial manusia", begitulah kata (Allahyarham) Cak Nur, seorang cendekiawan Muslim besar Indonesia. "Kebebasan bukan tujuan, tapi jalan untuk menemukan batasan-batasan", begitulah kalam seorang Cak Nun, seorang budayawan Indonesia, kedua kalam tersebut dapat kita jadikan titik tolak untuk upaya kita menemukan makna sejati dari kebebasan. 

Kebebasan primordial artinya adalah kebebasan sebagai anugerah bawaan manusia sejak ia lahir yang menjadi piranti paling berharga bagi manusia itu sendiri, manusia hidup sekaligus mampu mengalibrasi arah hidupnya akibat kebebasan yang ia miliki dalam dirinya sejak ia lahir, bayangkan jika manusia tidak memiliki kebebasan dalam hidupnya? Jangankan untuk hidup nyaman, manusia itu sendiri pun tidak akan hidup jika kebebasan itu tidak ada. 

Namun para pseudo-liberalis berhenti untuk memaknai kebebasan pada kebebasan primordial semata, sehingga anugerah primordial tadi dianggapnya bisa digunakan untuk melakukan apapun yang nikmat baginya untuk dilakukan, ia ingin makan banyak baginya tiada yang berhak melarangnya, ia ingin berhubungan seksual sembarangan pun baginya tiada yang berhak melarangnya pula. Bagi mereka sederhana, jika kebebasan itu primordial dan dia dibatasi, artinya sama saja manusia itu dicabut kebebasannya yang artinya sama saja ia dinistakan hakikatnya sebagai manusia.

Makna dari kebebasan sesungguhnya tidak bisa hanya berhenti dimaknai sebagai "yang primordial bagi manusia" semata, namun sesungguhnya kebermaknaan dari kebebasan itu mesti dinilai dari output empiris apa yang hadir dari kebebasan yang primordial tersebut, sehingga kebebasan akan bermakna jika ia dipahami sebagai "anugerah untuk menemui batas dalam kehidupan" dan "alat untuk menciptakan kebaikan dalam kehidupan". 

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa primordialitas kebebasan akan menemukan maknanya jika ia dijadikan alat untuk menemukan batasan-batasan dalam kehidupan kita, karena hanya jika kita tahu batas-batas dari kehidupan kita inilah kita bisa menciptakan output kebaikan dalam kehidupan. 

Batasan-batasan ini apabila ia dipahami maka kita akan mencapai keseimbangan dalam kehidupan, dan hanya dalam keseimbangan, kita bisa menciptakan kebaikan bagi diri sendiri dan sesama, yang artinya pula adalah kita akan benar-benar bebas jika kita hidup seimbang dengan mengetahui batasan-batasan dari diri kita sebagai manusia, dan dari pengetahuan akan batas inilah ia dapat mengabdi pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Karena hidup bukanlah pelampiasan, melainkan pengabdian.

Melampaui basyariyah, membudayakan tirakat 

Sesungguhnya manusia modern telah mengalami "keterpenjaraan basyariyah" akibat mereka menyalahgunakan kebebasan yang mereka miliki, penyalahgunaan ini terjadi akibat gagal paham terhadap apa itu hakikat kebebasan sebenarnya. Sungguh jenaka sekaligus mengenaskan manusia yang terjebak oleh biologisnya sendiri, ia terpenjara dalam kenestapaan dan kekeringan kehidupan akibat mulutnya sendiri, akibat alat kelaminnya sendiri, hidup mereka penuh akan kenikmatan festivalistik yang bersifat sementara. Namun, segala ledakan kenikmatan biologis yang dialaminya akan membuatnya terseret dalam kegelapan, ia akan memojok di dalam ruang gelap nan sepi dan bertanya "untuk apa aku hidup di dunia ini?". Wa mal hayatuddunya illa mata'ul-ghurur.

Menuju tahun 2023 ini, upaya membumikan aktivitas menahan diri atau tirakat adalah hal yang urgen untuk kita lakukan bersama-sama agar perahu kehidupan ini tidak karam akibat impulsivitas serta spontanitas biologis kita sendiri, penataan ulang pemahaman terkait makna kebebasan juga perlu untuk dilakukan agar kebebasan mampu digunakan dengan lebih bertanggungjawab. 

Sungguh bahtera kehidupan ini tidak akan bertahan lama jika para penghuni di dalamnya tidak hidup mengabdi pada nilai dan hanya hidup dalam dialektika biologis yang tak berujung, dan aktivitas tirakat adalah solusi untuk mencegah semakin bocornya kapal kehidupan kita ini. Tirakat artinya adalah kemampuan untuk melawan upaya hegemoni biologis dalam kehidupan manusia itu sendiri,tirakat artinya adalah kemampuan untuk mengontrol elemen basyar dalam hidup kita agar kita mampu hidup sebagai insan kamil, manusia yang sejatinya manusia, bukan hewan bertopeng manusia.  Dan puncak dari tirakat adalah tiadanya "aku", karena aku telah menjadi satu dengan nilai-nilai itu sendiri. 

"Puncak dari aku adalah tiadanya aku"

Nyawiji MFS, 22

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun