"Dua hal yang paling membuatku kagum, langit penuh bintang di atasku dan hukum moral dalam diriku."
-Immanuel Kant-
Interpretasi atas kebebasanÂ
Banyak diantara kita yang menafsirkan kebebasan bersifat mutlak secara total, artinya, kebebasan kita tidak dapat diganggu gugat oleh berbagai macam tuntutan dan tanggung jawab sosial, ada yang menganggap bahwa begitu kita bebas, kita berhak (bahkan wajib) untuk melanggar pakem-pakem sosial yang kita sepakati bersama sebagai konsensus sosial.
Misalnya, atas nama kebebasan "yang mutlak", saya berhak melanggar rambu lalu lintas, dengan dalih bahwa begitu saya mengendarai mobil saya, maka tiada yang sama sekali berhak mengatur saya untuk kapan saya mesti berhenti dijalan, dimana saya mesti memarkirkan mobil saya, dan lain sebagainya atas nama kebebasan, atau misalnya atas nama kebebasan "yang mutlak" pula, saya berhak mem-prank satu bioskop dengan berteriak "kebakaran, kebakaran!!" sehingga satu bioskop lari berhamburan karena panik. Pada intinya, saya menganggap bahwa begitu saya bebas, maka tiada aturan atau pakem apapun yang berhak membatasi saya, habis perkara! Saya memberi nama pemikiran semacam ini sebagai "transvaluasionisme".
Di sisi lain, ada pula yang mengeksploitasi konsep "kebebasan yang terbatas" atas dasar "demi kebaikan bersama", konsep kebebasan yang terbatas itu dieksploitasi dan ditumpangi demi kepentingan suatu pribadi/otoritas tertentu, misalnya, saya menganggap bahwa semua kritik terhadap presiden adalah termasuk tindakan hate speech atau ujaran kebencian, saya menganggap bahwa semua kritik terhadap presiden mesti dibatasi dengan argumentasi "demi kebaikan bersama", padahal, bisa saja argumen tersebut digunakan untuk mengamankan dignity suatu pemerintahan politik. Padahal secara prinsipil, kritik warga negara terhadap presiden dalam negara demokrasi bersifat fundamental karena kritik terhadap presiden berakar dari prinsip yang sangat mendasar yakni bahwa "kebebasan berpendapat merupakan hak mendasar dalam kehidupan yang dijamin dan dilindungi oleh negara." sebagaimana tercantum dalam UU no. 9 tahun 1998.
Atau contoh salah kaprah lainnya adalah misalnya si murid Farras dicuri kotak bekal makan siangnya oleh si murid Shaka, murid Shaka beralasan bahwa "saya berhak untuk mencuri kotak makan siang si murid Farras demi kebaikan bersama, karena saya dan teman-teman saya kelaparan karena kami tidak membawa bekal makanan dari rumah dan tidak membawa uang saku untuk membeli makan di kantin."
Dilihat secara sekilas, argumen si murid Shaka terkesan sangat heroistik dan robin hoody, padahal, selapar-laparnya si murid Shaka dan teman-temannya, dia tidak berhak atas dasar demi kebaikan bersama untuk mencuri kotak makan si murid Farras, karena si murid Farras pun merasakan kelaparan yang sama rata dengan kelaparan si murid Shaka dan teman-temannya, salah sendiri, mengapa si murid Shaka dan teman-temannya tidak membawa kotak bekal dari rumah atau membawa uang saku sehingga ia mampu belanja makanan di kantin?
Dua tipe interpretasi atas kebebasan tersebut bisa terjadi karena kerancuan kita dalam memahami makna kebebasan secara konseptual, kita memaknai kebebasan sebagai suatu hal yang selalu putih/hitam, padahal, kebebasan secara konseptual sendiri bukanlah satu hal yang mutlak terbatas/mutlak tidak terbatas, karena ada satu hal yang secara konseptual menjadi akar atas konsep kebebasan itu sendiri, yakni konsiderasi/pertimbangan moral.
Kebebasan: eksistensialitas yang mutlak
Dalam upaya kita memahami kebebasan secara konseptual, kita mesti memahami terlebih dahulu bahwa kebebasan terbagi menjadi dua, yakni kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial, dasar dari kebebasan eksistensual adalah bahwa kita sebagai manusia yang eksis sebagai mahluk berakal budi (mampu memberdayakan rohani, bukan hanya diperdaya jasmani) memiliki satu fakultas/kemampuan dalam diri kita untuk menentukan diri kita sendiri secara mutlak bebas dengan memanfaatkan jasmani dan rohani kita sebagai mahluk yang berakal budi, dan kebebasan eksistensial ini bersifat innate atau melekat sejak kita lahir.