Mohon tunggu...
Muhammad Farras Shaka
Muhammad Farras Shaka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Free mind, reflective, and critical.

Seorang terpelajar mesti adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Membumikan Literasi: Matinya Kepakaran dan Upaya Menyehatkan Demokrasi Kita

14 Januari 2022   15:25 Diperbarui: 14 Januari 2022   15:44 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Orang yang bijaksana adalah orang yang tahu kalau dirinya tidak tahu."

-Sokrates-

 Membaca Matinya Kepakaran

Pada tahun 2017, Oxford University Press menerbitkan buku yang berjudul The Death Of Expertise, buku ini ditulis oleh seorang spesialis akademik pada bidang urusan internasional yang bernama Tom Nichols, buku ini kemudian diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh penerbit KPG dengan judul "Matinya Kepakaran."

Buku ini memiliki premis dasar bahwa kepakaran sedang ada didalam krisis, di era perkembangan teknologi dimana banjirnya arus informasi menjadi semakin tidak terhindarkan ini, informasi dalam bentuk dan topik apapun menjadi semakin mudah diakses, kita hanya perlu menghidupkan smartphone kita, membuka mesin pencari google, dan cari topik apapun yang kita ingin ketahui, maka informasi mengenai topik tersebut langsung muncul dihadapan kita tanpa harus repot-repot membaca buku cetak ataupun membeli koran berita terlebih dahulu.

Tentu saja ini hal yang positif, artinya kesempatan kita untuk menjadi masyarakat yang ter-literasi dengan baik meningkat pesat, tetapi, kita lalai melihat dampak negatifnya, sehingga tujuan "menjadi ter-literasi dengan baik" pun tidak tercapai, bahkan kenyataannya, apa yang diharapkan (Das Sollen) bertabrakan dengan apa yang sesungguhnya terjadi (Das Sein).

Negara dengan sistem demokrasi memiliki prinsip "Freedom Of  Speech"  alias kebebasan berbicara (berpendapat), ini tentu saja hal yang sangat positif dan bahkan asasi, manusia berakal waras mana yang betah hidup dibawah cengkraman totalitarianisme? (Bahkan dibawah otoritarianisme pun segan). 

Akan tetapi, prinsip "Freedom Of Speech" ini bersifat sangat elastis, pendapat para "orang pintar" dengan pendapat pakar memiliki tempat dan posisi yang setara, pendapat kedua pihak tersebut wajib dihargai dan tidak boleh disalahkan, karena itu merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh demokrasi, tidak peduli se-ngawur apapun perkataan yang dilontarkan. 

Oleh karena inilah, garis batas antara statement ilmiah dari para ahli dengan lontaran opini liar dan ngilmiah dari para "orang pintar" menjadi sangat rabun bahkan tidak lagi terbaca.

"Betapa cerdasnya diriku, Oh Tuhan!"

Wabah Covid-19 mulai melanda negeri kita tercinta pada awal tahun 2020, hampir semua sektor terdampak oleh hadirnya wabah ini, mulai dari sektor ekonomi, sektor pendidikan, dan beberapa sektor lainnya terpaksa dirumahkan alias dikerjakan secara daring dari rumah. 

Kasus Covid-19 mulai melonjak naik hingga tahun 2021 vaksinasi mulai dilaksanakan dan terus-menerus digalakkan dengan berbagai macam kampanye yang turut dilaksanakan.

Ditengah dinamika wabah Covid-19 dan ditengah digalakkannya program vaksinasi kepada masyarakat, muncul fenomena yang cukup unik dan berani (baca: nekat), yakni fenomena dimana vaksinasi dianggap sebagai agenda untuk memenuhi suatu misi konspiratif tertentu, ada anggapan bahwa vaksinasi diciptakan untuk mengurangi jumlah populasi di dunia yang sudah sangat sesak ini, ada pula yang beranggapan bahwa vaksin mengandung magnet atau microchip, ada pula yang beranggapan bahwa vaksin membuat penerimanya menjadi mandul, dan berbagai macam spekulasi tidak berdasar lainnya.

Mengapa masyarakat mudah sekali menyebarkan dan percaya terhadap informasi-informasi tersebut? Ada beberapa dorongan-dorongan psikologis yang membuat beberapa kalangan masyarakat mudah sekali menyebarkan informasi-informasi semacam itu:

Efek Dunning-Kruger 

Dua orang psikolog bernama David Dunning dan Justin Kruger melakukan riset mengenai kemampuan logika, tata-bahasa, dan selera humor pada tahun 1999.

Dan kesimpulan dari riset tersebut adalah bahwa orang dengan kemampuan yang rendah cenderung memiliki keyakinan yang sangat tinggi bahwa mereka sebenarnya sangat mampu, artinya, orang yang tidak cukup kompeten cenderung memiliki keyakinan yang tinggi bahwa mereka sebenarnya sangatlah kompeten. 

Penemuan ini menjelaskan mengapa orang yang sebetulnya tidak paham mengenai ilmu akan suatu hal atau memiliki ilmu yang sedikit akan satu hal cenderung merasa menjadi ahli dalam hal tersebut, ini menjelaskan pula mengapa ada beberapa dari kerabat kita yang sangat yakin akan kebenaran berita-berita hoaks dan menyampaikannya dengan lantang, akan tetapi jika kita tanya kepada mereka mengenai hakikat terdalam persoalan tersebut, mereka tidak bisa menjawab, asas keyakinan mereka adalah "katanya", bukan "faktanya", dan kita mesti hati-hati agar tidak terjebak dalam dorongan ini, karena lebih bijak menjadi diam apabila tidak tahu dibanding memaksakan diri membentuk opini tanpa dasar pengetahuan yang jelas, orang yang bijaksana adalah orang yang tahu kalau dirinya tidak tahu.

Bias konfirmasi 

 "Si A pasti komunis, karena kemaren saya lihat dia pergi ke Rusia dan Cina." Kalimat tersebut adalah contoh kalimat yang bermuatan bias konfirmasi, bias konfirmasi adalah fenomena dimana seseorang cenderung membenarkan apa yang telah ia percayai sebelumnya dengan mencari bukti-bukti tertentu, sayangnya, upaya melacak bukti tersebut sudah tidak lagi objektif, pasalnya, orang dengan bias konfirmasi mencari bukti dengan menyingkirkan fakta-fakta yang bertentangan dengan asumsi yang ia yakini, dan akan mengambil fakta-fakta yang dibuat seolah-olah mendukung asumsinya sendiri, singkatnya, yang dicari bukanlah "kebenaran" melainkan "pembenaran", dan inilah yang membuat orang yakin bahwa vaksin bisa membunuh manusia, mengapa?

Si A bisa saja pergi ke Rusia dan Cina untuk berlibur, tetapi karena pelontar kalimat tersebut memaksa dirinya untuk percaya bahwa si A adalah komunis, maka jadilah si A dianggap komunis, buktinya, dia kemaren pergi ke Rusia dan Cina! Pola yang sama bekerja pada orang yang menganggap vaksin bisa membunuh manusia, dia menyingkirkan fakta bahwa telah banyak orang yang selamat dari penyakit menular karena telah divaksin, sekalipun terjangkit, resiko penyakit tersebut kepada pengidap akan menurun drastis. 

Sebaliknya, ia memercayai bukti-bukti palsu yang disampaikan oleh Astrid Stuckelberger yang menyatakan bahwa telah terjadi 18.000 kasus kematian akibat vaksinasi, padahal faktanya tidak demikian. 

Singkatnya, apabila orang percaya bahwa vaksin mematikan, orang yang lapar sehabis vaksin pun dianggap sedang menuju ajalnya, karena baginya lapar merupakan gejala awal kematian akibat vaksin (padahal bisa saja karena didepan pusat vaksinasi ada pedagang mie ayam yang enak dan ramai).

Dorongan-dorongan tersebut menciptakan suatu pemberontakan yang cukup signifikan terhadap kepakaran, terciptalah kondisi dimana orang awam yang menceramahi pakar mengenai bagaimana seharusnya mereka melakukan pekerjaanya, orang awam yang merasa terhina dan dirampas hak berbicaranya apabila dibantah dan disalahkan, ini menimbulkan ketidakmampuan para pakar untuk meluruskan disinformasi yang berkembang di tengah wacana publik, karena mereka tidak lagi mau didengarkan, dan terpaksa harus menghargai "kebebasan berbicara", se-ngaco apapun itu. 

Kondisi ini tidak bisa dimungkiri menciptakan iklim demokrasi yang tidak sehat, penuh berita-berita bohong yang dijamin keberadaanya, alasannya sederhana, karena pakar dengan orang sok pintar mendapatkan hak yang sama untuk berbicara mengenai apapun, sehingga arus informasi sudah tidak lagi memiliki saringan mengenai mana yang valid dan mana yang keliru.

Teori konspirasi, meyakinkan banget, bukan?!

Apabila ditinjau secara sekilas dengan tidak disertai kemampuan berpikir kritis, teori konspirasi terlihat masuk akal dan mampu menumbuhkan rasa kepercayaan yang kuat di diri sebagian orang pada teori tersebut, karena sebetulnya, teori konspirasi secara metode langsung masuk ke penjelasan yang terkesan out of the box. 

Nyatanya menurut Tom Nichols, teori konspirasi melanggar hukum parsimoni, hukum parsimoni adalah hukum yang menyatakan bahwa apabila terdapat beberapa penjelasan mengenai suatu fenomena, pilihlah penjelasan yang paling sederhana karena memerlukan asumsi yang paling sedikit. 

Misalnya, jika didepan saya ada meja yang patah, penjelasan paling sederhana dan logis adalah meja tersebut dipatahkan orang atau menanggung beban yang terlampau berat, bukan dengan mengatakan meja tersebut patah karena "setan lewat", misalnya.

Teori konspirasi melanggar hukum parsimoni, didalam teori konspirasi, penjelasan mengenai suatu fenomena serta-merta masuk ke penjelasan yang paling mengawang dan terkesan misterius. 

Misalnya, bagaimana teori konspirasi menjelaskan pertanyaan "mengapa covid-19 bermula di Wuhan, Cina?." bisa dipastikan jawabannya akan langsung lompat menuju asumsi yang sangat tidak disangka-sangka, misalnya seperti mengatakan bahwa covid-19 adalah sebuah senjata biologis yang bocor dari laboratorium di Wuhan. 

Penjelasan saintifik tentu akan berbeda dengan penjelasan teori konspirasi yang asal-asalan dan tidak didasari argumentasi yang jelas dan metodologi yang terukur.

Lantas pertanyaannya adalah, jika teori konspirasi tidak ilmiah dan tidak rasional, mengapa orang mudah percaya dengannya?  Teori konspirasi memang tidak rasional, tetapi dia memenuhi hasrat "narsisme intelektual" bagi mereka yang memercayainya, dengan berlandaskan teori konspirasi, kepakaran dengan proses yang pelik dan memerlukan pendidikan formal-intensif selama bertahun-tahun lamanya akan segera bisa dikalahkan dengan penjelasan teori konspirasi yang hanya "sebaris" itu, dan bukan hanya itu, yang lebih parahnya lagi adalah teori konspirasi melumas hasrat kepahlawanan kita, teori konspirasi membuat pemercayanya bergerak membela keyakinan tersebut dengan mengumpulkan massa untuk membela keyakinan tersebut, mereka merasa berada dibawah suatu bayang-bayang intaian tertentu yang membuat mereka harus bergerak melawan dan menolak sesuatu yang biasanya itupun direkayasa sendiri oleh mereka.

Hal ini tercermin didalam pergerakan yang menolak rapid test dan swab test di Bali beberapa waktu lalu, diketahui pula bahwa didalam pergerakan tersebut, massa tidak menerapkan protokol kesehatan. Kejadian yang sama juga terjadi di negara-negara di Eropa, dikutip dari bbc.com, di Austria , protes besar-besaran digerakkan oleh kelompok anti-vaccination, People, Freedom, Fundamental Rights party (MFG), mereka menghubung-hubungan peraturan pembatasan di masa pandemi dengan peraturan Nazi dengan menggunakan kata-kata seperti "apartheid" dan "diktatorisme".

Menurut Ciaran O'Connor, peneliti di  Institute for Strategic Dialogue, mengatakan kepada tim BBC bahwa bahaya dari pergerakan semacam itu adalah bahwa mereka merepresentasikan jalan yang potensial menuju radikalisme ataupun esktrimisme, karena mereka mendasari argumen mereka dengan disinformasi, klaim menyesatkan, dan teori konspirasi.

Maka sesulit apapun prosesnya, upaya meningkatkan kemampuan literasi masyarakat Indonesia adalah hal yang mutlak perlu, karena demokrasi yang sehat pasti menciptakan ruang publik dengan informasi yang sehat pula, ruang publik yang sehat akan menciptakan ruang publik yang sehat, sebagaimana perkataan "badan yang sehat, jauh dari kesakitan dan jauh dari hal yang mengundang kesakitan."

Upaya meningkatkan kualitas literasi masyarakat, apa saja yang dibutuhkan?

Hal yang paling fundamental untuk dijadikan kebiasaan bagi masyarakat umum adalah kemampuan membedah, mengolah, dan menyeleksi informasi yang beredar, memang, tidak perlu menjadi sekelas pakar untuk bisa membedakan informasi-informasi yang palsu dan rawan kesesatan, akan tetapi, kemampuan ini pada dasarnya bisa dipelajari dan mesti dipelajari. 

Literasi tidak boleh dipahami semata-mata sebagai suatu aktivitas yang akademik-ekslusif dan sebagai kegiatan yang sifatnya "duduk dan membaca" saja, kemampuan berpikir logis, memiliki pisau analisis yang tajam, yang disertai khasanah ilmu pengetahuan yang luaslah yang sesungguhnya menjadi kunci utama penyuksesan program pembumian literasi dan upaya meng-counter-attack informasi-informasi menyesatkan.

Anak-anak muda pengguna media sosial memiliki peran yang sangat besar sebagai "gerbang filtrasi" antara informasi yang sehat dengan informasi yang sesat, pasalnya berdasarkan riset yang dilakukan oleh agensi marketing We Are Social dan platform manajemen media sosial Hootsuite mengungkap bahwa lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah "melek" alias aktif menggunakan media sosial pada Januari 2021, dan dominasi penggunaan media sosial terdapat di kalangan gen-Y dan gen-Z yang ber-rentang usia 25-34 tahun. (Kompas.com).

Dan yang tidak boleh terlupakan adalah bahwa kita semua mesti belajar dan mengajarkan pada generasi dibawah kita akan pentingnya menghormati kepakaran, ajari anak-anak kita sejak dini tentang kaidah-kaidah beropini yang baik, ajari juga kepada anak-anak kita tentang makna kepakaran, kedudukan kepakaran, peran kepakaran, dan berbagai macam kaidah dasar lainnya, ini akan sangat menyumbang kedepannya pada upaya menyehatkan demokrasi kita, pelan tapi pasti. 

"Menuntut ilmu adalah takwa, menyampaikan ilmu adalah ibadah, mengulang-ulang ilmu adalah dzikir. Mencari ilmu adalah jihad." 

-Imam Al-Ghazali-

SUMBER-SUMBER: 

Nichols, Tom. 2017. Matinya Kepakaran: Perlawanan Terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Faiz, Fahruddin. 2020. Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika. Yogyakarta: MJS press.

https://www.bbc.com/news/59390968 

https://www.britannica.com/topic/Occams-razor

https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/dunning-kruger-effect/

https://regional.kompas.com/read/2020/07/27/14354851/tanpa-masker-jerinx-sid-ikut-demo-tolak-rapid-test-satpol-pp-tak-ada-sanksi?page=all

https://tekno.kompas.com/read/2021/02/24/08050027/riset-ungkap-lebih-dari-separuh-penduduk-indonesia-melek-media-sosial#:~:text=Angka%20pengguna%20aktif%20media%20sosial,persen%20menjadi%20202%2C6%20juta. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun