Setiap tahap dalam kehidupan memiliki tantangannya tersendiri. Berbeda tahap kehidupan, berbeda pula tantangannya. Jika pada masa kanak-kanak dipacu rasa penasaran untuk melakukan hal baru, pada masa dewasa kita dipacu keinginan untuk hidup dengan penuh kesadaran. Ya, sejumlah orang mengalami hal demikian.. Mungkin hanya sedikit orang yang menemukan kesadaran penuh pada masa dewasanya sehingga dapat hidup dengan nyaman dan tenang. Kemungkinan itu ada karena ada banyak orang yang pada masa dewasa-awalnya menjalani hidup secara tertekan. Entah apa penyebab mereka menjalani hidup secara tertekan. Keseharian mereka seolah tidak mencerminkan manusia yang memiliki tujuan hidup.
      Perpindahan dari masa remaja ke masa dewasa awal dialami oleh mahasiswa. Tantangan hidup mereka berubah. Pada masa SMA, hidup berasa biasa saja asal dijalani bersama teman. Jika ada teman yang memilih pilihan yang sama, hidup terasa aman. "Toh ada temannya" menjadi prinsip hidup penuh kesenangan anak-anak SMA. Prinsip itu tidak berguna lagi pada masa kuliah.
      Ini bukan soal anak SMA. Pembahasan akan mengarah ke salah satu kebiasaan mahasiswa yang kurang menyehatkan. Kebiasaan yang dimaksud adalah begadang. Banyak mahasiswa menjadi manusia nokturnal, dengan berbagai alasan di baliknya.
      Daerah yang menjadi lokasi adanya perguruan-perguruan tinggi, seperti Yogyakarta dan Bandung, biasanya dijamuri banyak warung-warung kopi atau kafe, selain warung makan. Kafe-kafe di wilayah tersebut hampir selalu ramai pengunjung. Mahasiswa meramaikan kafe-kafe mulai sore hari sampai malam hari. Banyak kegiatan yang dapat mereka lakukan di kafe. Tidak hanya untuk menikmati secangkir kopi, mahasiswa juga menjadikan kafe sebagai tempat untuk melakukan perkumpulan bersama teman, mengerjakan tugas, sekadar bersantai, dan berdiskusi.
      Rasa lelah selama mengikui kegiatan di kampus sejak pagi hingga sore hari menjadi bahan bakar bagi mahasiswa untuk mengunjungi kafe langganan mereka. uniknya, ada sejumlah mahasiswa yang baru saja memulai hari pada saat sore hari di kafe. Mereka biasanya baru bangun pagi pada pukul dua belas atau bahkan pukul tiga siang hari. Selepas bangun tidur, mereka mandi lalu pergi ke kafe pada pukul delapan malam. Watku malam mereka habiskan di kafe. Entah apa yang mereka lakukan semalaman. Seringkali ada beberapa mahasiswa yang nongkrong di kafe semalam suntuk. Mereka datang di kafe pada sore hari dan pulang dari sana pada pagi hari. Mereka adalah manusia nokturnal.
      Ekosistem kafe pada malam hari cukup kompleks. Di sana ada banyak manusia dengan aktivitasnya masing-masing, termasuk para manusia nokturnal. Entah anggapan ini benar atau tidak secara pasti dan universal. Manusia nokturnal penghuni kafe merupakan mahasiswa-mahasiswa tua yang sudah menginjak semester tertua. Mereka telah ditinggal wisuda oleh banyak teman-teman seangkatannya. Beberapa di antara mereka memang pandai berbicara hal-hal layaknya mahasiswa ulung. Akan tetapi, kehebatan tersebut menjadi ironi karena tidak membuat pemiliknya lulus tepat waktu. Mereka merupakan tukang diskusi ulung, tetapi tidak ulung dalam menjalani kuliah dan lulus tepat waktu.
      Selain para manusia nokturnal, ada beberapa individu yang merupakan mahasiswa baru. Mahasiswa baru seringkali duduk bergabung bersama kakak-kakak kelas mereka. Ada juga mahasiswa-mahasiswa rajin yang suka mengerjakan tugas di kafe yang ramai, alih-alih mengerjakan tugas di kamar kos yang sepi. Beberapa meja kafe dikerumuni oleh sekelompok mahasiswa yang asyik mengobrol dan bernyanyi bersama. Biasanya salah satu dari mereka pandai memainkan gitar. Tidak jarang ada pengunjung kafe yang suka duduk di meja agak pojok. Mereka adalah penikmat kopi dan buku. Hingar bingar ekosistem kafe tidak menghalangi keintiman mereka dengan kopi dan buku.
      Kafe juga menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa aktivis. Mungkin ngopi di kafe sudah menjadi akivitas rutin mereka. Para mahasiswa aktivis ini juga, biasanya, merupakan mahasiswa sepuh. Mereka lebih mementingkan pengabdian kepada masyarakat daripada mengerjakan tugas kuliah secara sempurna. Berunjuk rasa adalah identitas mereka; mungkin bisa dibilang begitu. Terlepas dari gairah mengabdi yang tinggi, hubungan mereka dengan buku dan laptop kurang harmonis. Keinginan mereka untuk menjadi agen perubahan tidak selaras dengan kapasitas wawasan mereka. Bisa dibilang bahwa mereka mengabdi secara membabi buta, tanpa ilmu yang matang sebagai kompas dalam memperjuangkan hak rakyat. Mereka ahli dalam berorasi, berdebat, bernegosiasi, berkominukasi dengan berbagai kalangan masyarakat, tetapi tidak jarang beberapa di antara mereka adalah mahasiswa yang kurang wawasan. Alhasil, mereka yang kurang wawasan berulah sebagai pembela rakyat, dengan isi kepala yang sedikit. Yang mereka tahu hanyalah berunjuk rasa. Seolah-olah berunjuk rasa merupakan satu-satunya cara untuk membuat perubahan dan menyejahterakan masyarakat. Teori relasi kelas menjadi senjata mereka di mana pun. Seakan tidak ada senjata lain yang patut dipakai.
      Balada manusia nokturnal dinamis. Beberapa dari mereka adalah mahasiswa ideal; beberapa bukan. Gairah pengabdian yang tinggi perlu diimbangi dengan gairah belajar yang tinggi pula sehingga koleksi senjata dapat bertambah. Pola hidup yang lebih sehat patut mereka miliki karena merupakan investasi jangka panjang yang terjamin keuntungannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H