Mohon tunggu...
Muhammad Faqih Siddiq
Muhammad Faqih Siddiq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Mahasiswa HI

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi Hedging-Balancing Indonesia Terhadap BRI (Belt Road Initiative) China

9 Oktober 2022   16:09 Diperbarui: 9 Oktober 2022   22:05 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berkaitan dengan kepentingan nasional Indonesia, pemerintah Indonesia telah menyiapkan persyaratan khusus. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan bahwa pemerintah akan memperketat persyaratan bagi semua pengusaha Cina yang akan berinvestasi di Indonesia. Itu syaratnya adalah: (1) investor Cina harus menggunakan tenaga kerja dari Indonesia; (2) perusahaan yang berinvestasi harus menghasilkan barang yang memiliki nilai tambah; (3) perusahaan dari China harus mentransfer teknologi kepada pekerja lokal; (4) Pemerintah Indonesia mengutamakan konsep investasi melalui business to business (B to B) bukan government to government (G to G); (5) jenis usaha dibangun harus ramah lingkungan. Oleh karena itu, kehadiran Pemerintah Indonesia di BRI dapat mengoptimalkan pertemuan masing-masing badan usaha antara kedua negara. Kerjasama dilakukan di BRI dengan melibatkan Badan Usaha Swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan perguruan tinggi. Proyek pendanaan BRI dengan minat dan kemitraan dengan perusahaan Indonesia sejalan dengan investasi di Indonesia. Selain itu, tidak semua proyek BRI dimiliki oleh China. Ada beberapa proyek yang kepemilikannya sendiri masih dimiliki oleh orang Indonesia dan itu semua tergantung kerjasama dari pihak-pihak yang menjalankan proyek-proyek.

Di ranah domestik, isu berkembangnya pengaruh kepentingan ekonomi China di Indonesia membuka luka lama yang tak pernah terobati dengan baik, ketakutan akan kebangkitan komunisme. Beberapa kelompok Muslim garis keras mencoba memanfaatkan isu kebangkitan komunisme dengan mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah ini. Selain itu, beberapa pengusaha dan perusahaan pribumi yang terpengaruh oleh kehadiran investasi China juga mencoba untuk meledakkan masalah ekonomi nasionalisme. Keputusan pemerintah untuk memilih China daripada Jepang dalam kecepatan tinggi Jakarta-Bandung proyek kereta api juga telah menimbulkan lebih banyak kontroversi dan menyebabkan meningkatnya sentimen negatif menuju Cina.

Presiden Joko Widodo harus mengelola konstituen domestiknya untuk menjaga publik dukungan tanpa merugikan kepentingan ekonomi Cina di negara itu. Di sisi lain, dia memiliki mengirimkan pesan kuat kepada China bahwa kedaulatan Indonesia atas Laut Natuna Utara tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dia naik ke kapal perang Indonesia dan berlayar di sekitar Laut Natuna. Dia juga memerintahkan TNI AL perkuat pertahanan dan patroli di Laut Natuna Utara. Baru-baru ini, angkatan laut mengerahkan empat kapal perang tambahan menambahkan empat lainnya yang sudah berpatroli di tengah kebuntuan dengan Kapal China. Menlu RI juga terus menyampaikan pesan yang jelas kepada China terkait kedaulatan Indonesia di Natuna. Dia memanggil Duta Besar China di Jakarta dan mengeluarkan protes atas kecelakaan tersebut.

Agar Global Maritime Fulcrum Belt and Road Initiatives (GMF-BRI) dapat bersinergi dan mencapai visi yang telah ditetapkan oleh pemerintah China dan Indonesia, diperlukan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan. Pemerintah Indonesia telah mengantisipasi kemungkinan perusahaan China mendominasi investasi di Indonesia dengan menawarkan peluang investasi ke negara lain. Untuk menghindari beban utang pemerintah dari proyek-proyek BRI, pemerintah juga telah mengantisipasinya dengan mengedepankan konsep investasi melalui business to business (B to B). Untuk menghindari pembalikan dari masyarakat setempat atas masuknya tenaga kerja asal China untuk proyek BRI, pemerintah juga telah menetapkan syarat agar investor China juga harus menggunakan tenaga kerja dari Indonesia. 

Namun, perbedaan bahasa dan budaya masyarakat China dan Indonesia juga bisa memicu konflik. Sebagian besar pekerja yang didatangkan dari China untuk terlibat dalam BRI proyek adalah mereka yang bekerja di posisi yang lebih rendah dan pekerja lapangan yang tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan hanya fokus pada target pekerjaan. Budaya kerja orang Tionghoa yang berbeda dari masyarakat Indonesia juga menjadi kendala dalam bekerja dan mencapai target yang telah ditetapkan oleh perusahaan Cina. Masalah ketenagakerjaan akan sulit dihindari dan campur tangan dari pemerintah kedua negara diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada orang Tionghoa atau Indonesia pekerja pada budaya kerja masing-masing negara.

China juga terkenal sebagai negara maju di bidang teknologi. Melalui proyek-proyek BRI, diharapkan terjadi transfer teknologi dan pengetahuan dari pekerja China ke pekerja lokal. Jika ada kendala dalam proyek seperti COVID-19 dan pekerja China tidak dapat kembali bekerja di Indonesia, maka pekerja lokal dapat melanjutkan proyek tanpa bergantung pada pekerja China. Dengan demikian, proyek akan terus berlanjut dan tidak akan menimbulkan kerugian ekonomi karena kurangnya tenaga kerja terampil. Transfer teknologi dapat dilakukan jika ada kesamaan bahasa dan pemahaman. 

Dalam kondisi ini, peran penerjemah atau supervisor yang dapat mengatasi perbedaan budaya dan bahasa juga sangat penting agar perusahaan yang menjalankan proyek BRI diharapkan dapat menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menjembatani komunikasi antar pegawai yang berbeda bahasa dan budaya. Saat ini perguruan tinggi diharapkan dapat berperan sebagai mitra pemerintah dan industri dalam penyediaan sumber daya manusia.

 Jika ada kekhawatiran ekonomi Indonesia akan dikuasai China, maka Indonesia juga perlu melakukan reformasi dalam banyak hal, terutama di bidang perpajakan dan birokrasi untuk menarik investor dari negara lain sehingga terjadi keseimbangan dalam perekonomian Indonesia. hambatan dari pemerintah di Indonesia dalam hal reformasi kebijakan adalah tidak adanya sinkronisasi sehingga pelaksanaan pekerjaan seringkali tidak berjalan dengan baik dan cepat. Pemerintah Indonesia harus mampu menjawab kekhawatiran investor dengan memberikan kepastian hukum bagi pengusaha. 

Selain itu, produktivitas tenaga kerja lokal perlu ditingkatkan, pembangunan infrastruktur pendukung perlu dipercepat, penyediaan fasilitas investasi dan insentif perpajakan yang menarik, serta percepatan reformasi birokrasi dan regulasi terkait investasi. Insentif untuk investasi harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing industri untuk menjaga keberhasilan dan mempertahankan kemampuan investasi dalam jangka panjang.

Dalam hal ini, sejauh ini Presiden Joko Widodo telah menunjukkan kepemimpinan dan kemampuannya untuk mengarungi Indonesia dengan menerapkan strategi hedging bernuansa balancing daripada bandwagon menuju Cina. Ia menunjukkan ketegasannya dalam mengundang investor asing secara khusus dari Cina, tetapi ia memiliki prinsip yang kuat dalam menjaga kedaulatan dan martabat negara ini. Namun, tantangan baginya adalah bagaimana tetap kuat, teguh dan konsisten dengan prinsip dan kebijakan dan untuk berapa lama itu bisa bertahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun