Mohon tunggu...
Muhammad Fajri
Muhammad Fajri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Student of Islamic Philosophy

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Materialisme dalam Masyarakat Islam Urban-Modern

1 Agustus 2023   16:28 Diperbarui: 1 Agustus 2023   16:38 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Betapa banyak dari komunitas kita bahkan mungkin diri kita sendiri mencari kebahagian yang abadi dalam sesuatu yang bersifat materi; yang bersifat temporal serta menempati ruang dan waktu, padahal salah satu ajaran inti dari Islam adalah terlepasnya diri kita dari hal-hal duniawi yaitu zuhud. Bukan berarti kita tidak peduli dengan kehidupan duniawi kita, karena bumi memiliki nama lain yaitu darrul 'amal atau tempatnya amal; dimana kita menanam bibit-bibit kebaikan yang kelak akan kita tuai bibit-bibit baik tersebut di hari kemudian (akhirat). 

Sayangnya dari kita sebagai umat muslim banyak yang melupakan ajaran-ajaran yang vital khususnya di zaman sekarang, terutama gaya hedonistik dan materialistik yang dipengaruhi dunia barat menjadi salah satu akar permasalah ditengah-tengah masyarakat kita. 

Secara sederhana kebahagiaan bisa diraih oleh hal-hal yang bersifat materi dan tentunya sesuatu yang materi bersifat temporal, mortal, atau akan expired. Anehnya banyak orang yang mengharapkan akan kebahagiaan yang bertahan lama bahkan abadi dengan mencari sesuatu yang bersifat sementara, ini sudah menjadi sesuatu yang kontradiktif.

Dengan itu maka dipastikan orang yang mencari kebahagiaan yang bertahan lama bahkan abadi dengan cara-cara seperti ini tidak akan mendapatkannya, namun dengan pengaruh gaya hidup dari barat seperti hedonistik dan materialistik orang telah terpengaruh dan mulai lupa akan ajaran zuhud dalam Islam. Sayyidina Husain putra dari Rasulullah memberi ajaran besar bagi umat kakek-nya dalam mendapatkan sebuah kebahagiaan yang bahkan tidak masuk akal dalam kaca mata pandang materialis. 

Dalam tragedi pembataian Karbala dia terbunuh beserta keluarganya dan kebanyakan adalah keturunan Rasulullah, mereka kalah dalam pertempuran namun mereka telah memenangkan peperangan. Mereka membuktikan darah mengalahkan pedang, dan kebahagiaan didapatkan oleh pengorbanan. 

Harapan dari Sayyidina Husain bukan hanya meraih kesyahidan dalam mencari kebahagiaan, namun agar hidupnya ajaran dari kakeknya agar manusia bisa mencapai kebahagiaan yang sejati. Inilah kebahagiaan yang dicapai oleh Sayyidina Husein, dan kebahagiaan beliau sudah melewati batas ruang dan waktu. Sayyidina Husain dalam doa arafahnya mengucapkan "Ya Allah bagaimana aku bisa merasakan kehilangan sesuatu ketika aku sudah memilikimu, dan bagaimana aku bisa memiliki sesuatu jika aku kehilangan Diri-Mu." 

Sayyidina Husain seakan-akan berbicara bahwa dia rela kehilangan segala sesuatu selagi beliau tidak kehilangan Tuhannya, dan dia jikalaupun dia memiliki segala sesuatu kecuali Tuhan maka ini bukanlah sebuah kebahagiaan. Dalam setiap langkah di hidup kita kita harus berpikir apakah kebahagiaan ini terdapat Allah didalamnya, terdapat keridhoan-Nya didalamnya. Maka jika didapatkan ridho Allah di dalam kebahagiaan kita, sebuah niscaya kebahagiaan kita adalah kebahagiaan yang abadi. Al Baqarah:216 menyebutkan "Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." Ayat ini sangat amat relevan untuk kita para pencari kebahagiaan, seringkali kita mencari kebahagiaan dan gemar menyukai akan sesuatu yang sebenarnya tidak baik untuk diri kita dan kita mengharapkan kebahagiaan dari hal ini. Terkadangpun kita menyadari bahwa sesuatu yang kita senangi tidak baik untuk diri kita, tapi karena hawa nafsu dan tertutupnya akal kita menghiraukan hal ini.

Walaupun Sayyidina Husain kalah secara materi;terbunuh dirinya beserta keluarga dan sahabatnya, namun beliau meraih kemenangan secara substansi dan esensi. Beliau menang dan merdeka dalam menjalankan misinya untuk meneruskan dan meluruskan ajaran kakeknya Rasulullah. Sehingga kita bisa mengambil pelajaran dari tragedi pembantaian terhadap Sayyidina Husain dan memahami apa itu kebahagiaan secara hakiki. Kebahagiaan yang diperoleh dari sesuatu yang bersifat materi tentu akan expired dan kita tidak akan puas terhadapnya karena fitrah dari manusia adalah ketidakbatasan atau keabadian (karena manusia diciptakan untuk menjadi abadi). Dengan ini kita tidak akan berhenti mencari kebahagiaan dalam sesuatu yang bersifat materi, tidak akan pernah berhenti karena tidak akan didapatkan kebahagiaan semacam ini terhadap hal-hal yang bersifat temporal atau akan expired. 

Dengan ini timbul juga sifat-sifat hedonistik yang merugikan kita sendiri, diakibatkan perasaan tidak puas dalam mencari kebahagiaan. Sudah terdefinisikan kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat materi dan tidak akan ada habisnya, contoh kita sudah mencapai keinginan satu keinginan kita sebut saja mobil. Maka akan terus bertambah ingin mobil yang lebih bagus dan lain sebagainya, dan akan membawa tidak hanya pada diri kita namun pandangan kita terhadap orang lain. Kita mulai memandang orang lain berdasarkan materinya, ntah jam yang mereka pakai, mobil yang mereka kendarai, pakaian yang mereka kenakan. 

Ini adalah sebuah pemikiran yang rusak sebagai insan terutama sebagai umat muslim, berapa banyak kita di ajarkan Allah dalam memandang manusia melalui ketakwaannya dan keilmuannya serta akhlaknya, namun hal-hal seperti ini bahkan sudah maklum di tengah-tengah masyarakat muslim. 

Secara tidak sadarpun sudah menjalar atau "deep rooted" di tengah-tengah kita, dan menjadi sebuah akar permasalahan yang besar serta menciptakan strata-strata sosial yang tidak diperlukan juga menciptakan banyak kebohongan di tengah masyarakat kita. Sehingga banyak  yang berusaha keras untuk menonjolkan kualitas diri mereka melalui hal-hal seperti ini; pakaian, harta, dll. Padahal faktanya mereka mengalami kesulitan dalam ekonomi, namun karena pemikiran seperti ini sudah lumrah dan secara tidak sadar terciptalah juga kebohongan seperti ini mendahulukan atribut-atribut daripada esensi(akal, akhlak, kejujuran, dll).  Pemahaman seperti ini yang seharusnya dipatahkan oleh Islam, bukan malah menjelma dan menjadi lumrah ditengah-tengah kalangan umat muslim.

Rasulullah hadir pada awalnya untuk menghancurkan strata-strata sosial dan standar dalam masyarakat jahiliyyah yang mengataskan suatu suku atas lainnya, atau orang kaya atas orang miskin. Beliau mengutamakan kemanusiaan, dan yang paling baik di antara satu dengan lain adalah dikarenakan akhlaknya, ilmunya, bukan karena hartanya.

Kebahagiaan yang disebarkan oleh Rasulullah justru "murah" secara materi, namun memiliki nilai yang mahal secara esensi. Bahkan kebahagiaan yang bersifat abadi bisa dicapai oleh sesuatu yang murah secara materi, bahkan Rasulullah dan Ahlulbayt mengajarkan bagaimana kita berbahagia dalam penderitaan. Mereka ditolak di awal masa dakwah Rasulullah, diblokade mulai dari akses perjalanan hingga akses ekonomi dan akses pangan. Bagaimana Rasulullah menanggapi hal ini, beliau merasa bahagia karena beliau sadar penolakan dari manusia adalah bentuk kebenaran dari jalan yang ia ambil dan beliau merasa diperhatikan oleh Tuhan dengan ujian-ujian dan "penderitaan". Bagaimana Sayyidah Zainab bint Ali cucunda dari Rasulullah setelah keluarganya dibantai oleh musuh-musuh Allah, beliau mengucapkan "maa raaytu ilaa jaamilah" atau "aku hanya melihat keindahan" bagaimana pandangan materialis memandang ini sebagai sebuah keindahan? namun beliau bisa memaknai sesuatu yang jauh diluar batasan ruang dan waktu. Para manusia-manusia yang sudah menyelesaikan dirinya bisa mengartikan atau mendefinisikan kebahagiaan lebih luas tidak terikat oleh ruang dan waktu serta hukum-hukum manusia yang relatif dan rusak. Terkadang tanpa kita sadari kita menemukan kebahagiaan yang jauh lebih berarti dengan mengeluarkan duit yang sedikit, atau dengan berkumpul dengan orang yang tersayang rasa kehangatan dan kebersamaan yang menjadi kebahagiaan yang lestari. Rasulullah juga pernah berkata "memunculkan rasa kebahagiaan di hati para mukmin adalah ibadah yang terbaik" dan "sebaik-baiknya manusia adalah dia yang bermanfaat bagi sesama". Rasulullah selalu memberikan kita tuntutan, hidayah, dan petunjuk-petunjuk untuk menjadi sebaik-baiknya manusia yang akan menghantarkan kita kepada kebahagiaan yang lestari.

Mengenai pengaruh ideologi barat seperti materialis dan hedonis kita bisa lawan mulai dengan dari diri kita sendiri, dan tentu kita mulai dari lingkungan terdekat kita dengan menjelaskan apa itu arti kebahagiaan yang sejati dan bagaimana mencapainya, cara-cara apa yang kita bisa pakai untuk mencapainya. Tertawa bisa menjadi bencana dan air mata bisa menjadi sebuah kebahagiaan, sering kali kita tertawa akan sesuatu yang tidak penting dan bermanfaat dan sering kali kita mendapatkan pelajaran besar dari air mata, mendapatkan rasa lega dan bahagia atas air mata yang kita tumpahkan. Terlebih lagi jikalau air mata kita jatuh karena sesuatu yang jauh lebih besar daripada dir ikita, dan menimbulkan rasa positif dalam diri kita yang diakibatkan oleh air mata tersebut. 

Banyak dari kita juga secara tidak sadar memiliki orientasi yang dipengaruhi oleh materialis, mencari harta adalah hal yang sangat amat baik di mata Tuhan namun jangan dijadikan sebagai tujuan. Sehingga kita tidak akan bisa memiliki rasa cukup, dan akan menimbulkan gaya hidup hedonistik dan pemikiran yang buruk dalam memandang orang lain. Sehingga lagi-lagi menciptakan standar atau parameter dalam masyarakat kita dalam definisi kebahagiaan dan kesuksesan identik dengan sesuatu yang bersifat materi, harta, tahta, dll. Padahal tidak sedikit orang yang memiliki itu semua namun mereka belum juga merasakan kebahagiaan, banyak juga bahkan merasakan kesengsaraan, kesepian, dan kesedihan atas harta dan tahta yang mereka miliki. Walaupun peran dari harta dan tahta tidak bisa dinafikan memiliki peran yang sangat besar dalam kebermanfaatan, namun jangan dijadikan tujuan jangan dijadikan menjadi sebuah kaca mata pandang dalam melihat manusia dan mengukur kesuksesan serta kebahagiaan mereka. 

Kesuksesan dan kebahagiaan yang kita harus pakai adalah kesuksesannya Rasululllah yaitu salah satunya kebermanfaatan, walaupun dalam skala yang kecil. Berapa banyak orang yang memiliki banyak harta namun malah mereka menjadi beban bagi orang-orang sekitarnya, bahkan bagi masyarakat dan orang banyak. Bila kita sadar bahwa kesuksesan adalah kebermanfaatan maka, kita akan semangit semangat dalam mencari uang dan akan memanfaatkan uangnya dengan adil dan proporsional.

Contoh lain seperti ada seseorang mendapatkan mobil baru, rumah baru, atau pekerjaan baru banyak pujian seperti “MasyaaAllah kamu diberkahi oleh Tuhan disayang oleh Tuhan dengan harta yang banyak, mobil baru, rumah baru, dll” Seakan-akan rezeki dari Tuhan hanya bersifat materi, dan parameter disayang serta diperhatikan Tuhan dengan banyaknya harta atau yang bersifat materi semata. 

Sangat jarang kita temukan pujian dalam masyarakat apabila seseorang memiliki sifat terpuji seperti jujur, dermawan, dll. Mereka tidak mendapatkan pujian sebesar orang lain yang mendapatkan mobil baru, secara tidak sadar ini sudah menjalar di masyarakat Islam itu sendiri. Mengapa kita tidak melakukan hal yang sama terhadap hal-hal yang bersifat imateri juga seperti sifat-sifat baik. “MasyaaAllah anda disayang Tuhan dikaruniakan Tuhan oleh sifat jujur.” Dan lain sebagainya. Bahkan terkadang banyaknya harta bukan rezeki melainkan istidraj dari Tuhan, atau ujian yang bisa mencelakakan kita. 

Contoh lain kita sedari kecil di doktrin untuk belajar setinggi mungkin, setelah itu mencari kerja dan berkeluarga dan berhenti sampai sini. Dimana nilai-nilai Islam seperti berkontribusi dan bermanfaat bagi khalayak umat? Ini salah satu pemgaruh materialis dalam masyarakat kita. Bahkan apabila ada anak-anak kita ingin masuk pesantren atau kuliah di jurusan pendidikan agama, tidak sedikit orang meragukan nasib masa depan dari anak tersebut. Padahal yang menjadi faktor sukses dari seseorang yang utamanya adalah dari anak tersebut, walaupun dia masuk ke sekolah tinggi yang bergengsi dan jurusan yang terbaik namun anaknya adalah seorang yang pasif, dia tidak akan mendapatkan nasib yang baik. Serta apa masalah dari pendidikan agama? 

Kita bisa eksplor hal lain belajar tentang keaglian lain saat kita sekolah dan kuliah, bisa kita bawa nilai-nilai agama dimanapun kapanpun kita berada. Nilai agama sudah memudarpun, semakin banyak juga yang meragukan tentang pendidikan agama. Agama juga tidak mengajarkan kita untuk menjadi orang miskin, bahkan mengajarkan dan menuntut kita menjadi orang kaya agar bisa memberikan manfaat yang besar bagi keluarga dan masyarakat. Seperti inilah pemahaman materialisme yang dengan amat sedih sudah lumrah ditengah masyarakat muslim bahkan sudah menjadi “deep rooted” di tengah masyarakat Muslim urban-modern.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun