Gender adalah serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan membedakan maskulinitas dan femininitas. Karakteristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin (laki-laki, perempuan, atau interseks), hal yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin (struktur sosial sepeti peran gender) atau identitas gender. Orang-orang yang tidak mengidentifikasi dirinya sebagai pria atau wanita umumnya dikelompokkan ke dalam masyarakat nonbiner atau genderqueer.
Beberapa kebudayaan memiliki peran gender spesifik yang berbeda dari "pria" dan "wanita" yang secara kolektif disebut sebagai gender ketiga seperti golongan Bissu di masyarakat Bugis di Sulawesi dan orang hijra di Asia Selatan.
Konstruksi masyarakat pada umumnya hanya mengenal dua ekspresi gender. Yakni maskulin dan feminim. Kedua identitas itu melekat pada masyarakat bahwa maskulin adalah simbol lelaki dan feminim itu simbol perempuan. Hal itu juga yang menjadi alasan mengapa perundungan dan intoleransi masih berlangsung kepada seseorang yang mencoba mengekspresikan dirinya di luar kedua simbol itu.
Pada masyarakat Bugis mempunyai Tradisi 5 gender Suku Bugis sudah dikenal sebelum ajaran Islam masuk ke Sulawesi. Dengan kata lain, tradisi 5 gender Bugis sudah muncul sebelum Kerajaan Islam Gowa-Tallo berkuasa pada abad ke-16. Dikutip dari jurnal berjudul "Identitas dan Peran Gender pada Masyarakat Suku Bugis" (2018) oleh Sri Nurohim, dalam tradisi ini manusia tidak digolongkan laki-laki maupun perempuan. Pasalnya, mereka adalah manusia suci yang diyakini turun dari langit (To manurung) bersama Raja Luwuk, Batara Guru.
Seperti yang dijelaskan dalam kitab I Laga Ligo, karya sastra terpanjang di dunia. Terbagi menjadi makkunrai (perempuan feminin), oroani (pria/laki-laki maskulin), calalai (perempuan kelelakian/perempuan maskulin"), calabai (pria keperempuanan/pria feminin) dan bissu (imam/pendeta transgender).
Calalai adalah gender ketiga yang diakui dalam kebudayaan suku Bugis. Calalai ini merupakan perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki. Secara fisik adalah perempuan, tetapi ia mengambil peran sosial sebagai laki-laki dalam kehidupan kesehariannya.
Misalnya mereka bekerja sebagai pandai besi, merokok, dan keluar rumah pada malam hari. Sementara untuk Calabai sendiri merupakan istilah bagi laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Calabai dibedakan menjadi 3, yakni Calabai tungke’na lino, Paccalabai, dan Calabai kedo-kedonami.
Meskipun Calabai berpenampilan seperti wanita, tetapi mereka tidak menganggap dirinya sebagai wanita sebagaimana waria. Mereka juga tidak ingin menjadi wanita melalui proses operasi kelamin (transeksual). Gender terakhir merupakan bissu. Secara etimologis, Bissu berasal dari kata “bessi” yang artinya bersih atau suci. Ia tidak menikah, haid, melahirkan, atau menyusui.
Secara kebudayaan, Bissu menempati posisi sakral dan derajat sosial yang tinggi sebab mereka menjadi perantara spiritualitas antara masyarakat Bugis pra-Islam dan para Dewata di langit. Professor Halilintar Lathief dalam (Republika.co.id) menyebutkan bahwa posisi keagamaan Bissu dalam Bugis kuno juga sebagai perantara manusia dan Tuhan.
Dia menjelaskan bahwa dalam tatanan masyarakat kuno tersebut, dunia atas (langit) dipandang sebagai laki-laki dan dunia bawah menyimbolkan perempuan. Hanya bissu dengan kecenderungan dualitasnya yang mampu menjadi perantara.
Dalam sumber (etnis.id) disebutkan bahwa lima gender di suku Bugis tidak bisa dilihat sebatas gender saja. Identitas Calabai, Calalai dan Bissu tidak ditentukan oleh seksualitas dan faktor biologisnya melainkan posisi dan perannya dalam masyarakat Bugis. Identitas gender mereka dibentuk melalui spiritualitas, sense of self, peran, behaviour, pekerjaan, pakaian, seksualitas, dan subjektivitas.