Oleh: Prakoso Jati Pradana, M. Furqonul Farid, Rasya Naifa Lituhayu
Konsep gender lahir akibat dari proses sosiologi dan budaya yang berkaitan dengan pembagian peranan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah lingkungan masyarakat. Sebagian besar masyarakat menganggap peran sosial perempuan jauh tertinggal dan bersifat pasif dibandingkan dengan laki-laki dan hal ini tidak terjadi secara alamiah, tetapi akibat adanya konstruksi budaya. Budaya dan norma yang berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pekerja perempuan lebih banyak dipekerjakan di sektor domestik dibandingkan di sektor publik, meskipun setiap perempuan Indonesia memiliki hak untuk memilih menjalani peran di sektor domestik maupun di sektor publik.
Pertumbuhan ekonomi meningkatkan kesempatan kerja tetapi tidak dapat dengan sendirinya mengurangi ketimpangan gender. Ketimpangan gender dalam bidang ketenagakerjaan masih merupakan isu dan permasalahan yang sering terjadi. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam penggunaan waktu di rumah, perbedaan tingkat pendidikan dan keterampilan, pembatasan sosial-budaya, segregasi sektoral dan pekerjaan, migrasi laki-laki, dan akses ke input produktif, semuanya mengarah pada ketimpangan gender dalam partisipasi pekerjaan yang layak.
 Masih terjadinya ketimpangan gender di Indonesia khususnya di bidang ketenagakerjaan dapat ditunjukan dengan lebih rendahnya akses perempuan terhadap pasar kerja dibandingkan dengan laki-laki dan kecenderungan perempuan bekerja mendapatkan upah yang lebih kecil datr pekerja laki-laki. Diakses perempuan terhadap pasar kerja dibandingkan dengan laki-laki dan kecenderungan perempuan bekerja mendapatkan upah yang lebih kecil dari pekerja laki-laki. Data menunjukkan perbandingan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) antara perempuan dan laki-laki di Indonesia pada tahun 2017 adalah 50.89 : 82,5. Menunjukkan TPAK perempuan jauh lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Hal ini berbanding terbalik dengan perbandingan jumlah penduduk perempuan dan laki yang berusia 15 tahun ke atas yaitu sebesar 96,7 Juta : 95,88 Juta. Dari data-data tersebut dapat menunjukkan bahwa 47,24 juta perempuan usia produktif di Indonesia tidak aktif secara ekonomi. Berdasarkan studi yang dilakukan di sebagian besar negara berkembang, ketimpangan TPAK antara laki-laki dan perempuan sudah umum terjadi.
Salah satu masih rendah TPAK perempuan di Indonesia adalah faktor budaya dan norma yang masih berlaku di sebagian besar masyarakat yaitu peran tradisi lebih penting merasa bertanggung jawab untuk mengurus keluarga di rumah, sehingga menolak utuk memasuki pasar kerja. Perempuan bisa memiliki perempuan bisa memiliki dua peran yaitu peran tradisi sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga juga bisa memiliki peran transisi yaitu sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan partisipan pembangunan. Di sebagian wilayah Indonesia masih berlaku norma di mana penghargaan masyarakat terhadap perempuan yang mengurus anak dan suami di rumah lebih tinggi dibandingkan penghargaan yang diberikan terhadap perempuan yang memiliki karier di luar rumah. Faktor lain yang tidak kalah penting pengaruhnya adalah masih rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan perempuan Indonesia untuk dapat memasuki pasar kerja serta masih banyak terjadi pernikahan dini.
Polemik lain yang banyak ditemukan adalah berkaitan dengan peran perempuan dalam penciptaan pendapatan. Perempuan mempunyai keterbatasan dalam perekonomian karena adanya diskriminasi gender dalam pasar tenaga kerja. ILO menunjukkan bahwa status dan formalitas pekerjaan berperan penting dalam terjadinya diskriminasi gender. Perempuan sering kali harus dihadapkan pada kebijakan yang bertentangan dengan peraturan kesetaraan gender ketika mereka memasuki dunia kerja. Diskriminasi sering kali masih dialami oleh pekerja perempuan di Indonesia baik itu berkaitan dengan proses rekrutmen pegawai sampai perbedaan dalam penerimaan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan. Dalam penerimaan upah, terjadi kesenjangan upah yang diterima oleh pekerja laki-laki dan perempuan yang memiliki jabatan, tingkat pendidikan dan tingkat keterampilan yang sama di perusahaan. Diskriminasi menjadi penyebab utama kesenjangan upah riil menurut gender, terutama pada penerima upah yang rendah. Fakta ini menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap keterampilan perempuan di pasar kerja.
Selain itu pekerja perempuan sulit untuk mencapai jabatan yang sama dengan laki-laki baik di negara berkembang seperti Indonesia maupun di negara maju. Masih terjadinya diskriminasi gender dalam bidang ketenagakerjaan disebabkan masih terdapat keyakinan yang salah dalam masyarakat berhubungan dengan konsep marginalisasi, subordinasi, stereotip, violence dan beban kerja. Berdasarkan banyaknya permasalahan kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan termasuk di Indonesia, maka penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran dan melakukan analisis terhadap sejauh mana kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan sudah ditegakkan, dan upaya apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam bidang ketenagakerjaan.
Konsep laki-laki yang wajib mencari nafkah dan perempuan mengurus rumah tangga, merupakan salah satu penyebab masih sangat rendahnya rasio TPAK perempuan Indonesia yaitu di bawah 1 dan lebih rendah dari TPAK laki-laki. Dari nilai rasio TPAK tersebut dapat menunjukkan masih belum tercapainya kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan antara laki- laki dan perempuan. Meskipun demikian perempuan bekerja yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi terus meningkat walaupun proporsinya itu masih lebih kecil dibandingkan laki-laki. Perempuan terdorong untuk lebih dapat mengekspresikan dirinya dengan berpartisipasi di pasar kerja agar dapat membantu suami mendapatkan penghasilan tambahan.
Secara global TPAK perempuan dari 1990 sampai 2010 mengalami stagnasi, dengan kondisi TPAK perempuan lebih rendah daripada TPAK laki-laki. Di mana hanya 50 persen dari jumlah perempuan didunia yang menjadi tenaga kerja mendapat upah, sedangkan pada laki-laki lebih dari 75 persen. Kondisi tersebut diduga adanya permintaan akan pekerja berketerampilan rendah berdampak pada TPAK secara umum. Kondisi di Indonesia menunjukkan hal yang sama, selama dua dekade rata-rata TPAK laki-laki berada di sekitar 84 persen, sementara perempuan sekitar 50 persen. Pada 2018 menunjukkan 83 dari 100 laki-laki menjadi angkatan kerja, sementara perempuan hanya 52 dari 100.
Perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga dan tidak berbayar memberi peran signifikan terhadap rendahnya TPAK perempuan, karena mereka keluar dari angkatan kerja dan tidak termasuk dalam pengukuran TPAK menemukan bahwa perempuan yang usia muda di daerah perkotaan mengalami peningkatan partisipasi angkatan kerja mereka dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar melalui pekerjaan berupah, sementara di daerah pedesaan telah mengurangi partisipasi angkatan kerja. mereka, sebagian besar dengan memilih keluar dari pekerjaan informal yang tidak dibayar.Â