Mohon tunggu...
Muhammad Fadly
Muhammad Fadly Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Akhir Program Studi Jawa FIB UI

Mahasiswa Akhir Program Studi Jawa FIB UI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jarkoni? Bisa Ujar Ora Bisa Nglakoni

24 Oktober 2020   12:00 Diperbarui: 24 Oktober 2020   12:06 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan yang dimiliki bersama oleh suatu anggota masyarakat  dan jika dilakukan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dianggap pantas atau layak (Haviland & Soekadijo, 1995). Sebelum terbentuk “suatu seperangkat peraturan” tentunya kebudayaan memiliki unsur-unsur yang mendukung hal tersebut, salah satunya adalah bahasa. Bahasa sendiri, merupakan sistem tanda bunyi yang disepakati sekelompok masyarakat  tertentu dan memiliki makna. Dalam berbahasa tersebut, suatu kelompok dapat mengemukakan ungkapan-ungkapan yang ingin disampaikannya. Salah satunya adalah ungkapan-ungkapan yang banyak dikemukakan melalui bahasa Jawa. Dewasa ini banyak media-media sosial yang mengunggah ungkapan-ungkapan berbahasa Jawa, fenomena ini dipicu karena maraknya akun dagelan yang berbasis kedaerahan, contohnya @dagelan.jateng @dagelan_jatim dan lain-lain. Dalam setiap mengunggah konten yang ada, acap kali terdapat konten ungkapan-ungkapan tradisi lisan yang berkembang di masyarakat, seperti aja dumeh, nrima ing pandum, urip iku urup, dan sebagainya. Dari ungkapan-ungkapan Jawa tersebut banyak yang memiliki makna dan nilai moral yang baik jika diimplementasikan dalam hidup. Adapun nilai menurut Kaswardi (1993) merupakan realitas abstrak yang dapat dirasakan diri manusia sebagai pedoman dalam hidup, sedangkan moral berkaitan dengan apa yang baik atau buruknya sebuah tindakan. Dalam kesempatan ini yang menjadi bahasan adalah nilai moral dibalik ungkapan Jarkoni (Bisa Ujar Ora Bisa Nglakoni).

Dengan adanya akun-akun di media sosial yang menampilkan unggahan mengenai tradisi lisan Jawa seperti ungkapan-ungkapan yang terkenal dalam masyarakat Jawa, maka semua orang dapat mengakses dan melihat unggahan tersebut. Yang menjadi pertanyaan di kemudian hari adalah, apakah semua orang dapat mengetahui maksud atau makna dari ungkapan-ungkapan yang diunggah tersebut, kemungkinan besar sebagian dari mereka yang melihat pun tidak mengetahui secara baik makna yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tersebut.

Ungkapan Jarkoni dapat diartikan sebagai langkah masyarakat Jawa untuk menghindari sebuah konflik. Selaras dengan apa yang dikatakan Geertz (1983) bahwa dalam menentukan pola pergaulan masyarakat Jawa memiliki dua kaidah, yakni; 1. masyarakat Jawa hendaknya bersikap jangan sampai menimbulkan konflik; 2. kaidah kedua merupakan prinsip hormat terhadap orang lain. Selanjutnya ungkapan Jarkoni ini memiliki makna agar senantiasa rukun terhadap sesama bahkan diri sendiri, hal ini ditujukan agar seseorang tidak menjadi egois, karena hanya mampu berujar tanpa mau melakukanya. Dengan demikian, ungkapan ini berusaha mencegah seseorang kepada konflik terbuka. Selain itu, dengan adanya ungkapan Jarkoni seseorang dituntut untuk menghormati orang lain, karena pada akhirnya seseorang itu akan isin (malu) pada diri sendiri dan orang lain jika hanya dapat berkata namun tidak mampu melakukannya.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa ungkapan Jarkoni memiliki nilai moral yang sangat luar biasa dan mengandung nilai adi luhung Jawa. Ungkapan tersebut bukan hanya sekadar mengingatkan seseorang untuk jangan hanya mampu berbicara, akan tetapi tidak bisa melakukan, lebih lanjut ungkapan tersebut mampu mengupayakan seseorang agar terhindar dari konflik terbuka dan dapat menghormati satu sama lain.

Daftar Referensi

Buku:

E. K. Kaswardi. (1993). Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Franz Magnis-Suseno SJ. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia

Hildred Geertz. (1983). Keluarga Jawa. Jakarta: Grafitipers.

William A. Haviland & R.G. Soekadijo. (1995). Antropologi: Edisi Keempat, Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun