Mohon tunggu...
Muhammad Ezra Hanif
Muhammad Ezra Hanif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Jakarta

Sangat suka sekali makan enak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mengkaji Fenomena Cyberbullying di Aplikasi TikTok Melalui Perspektif Dramaturgi

24 Oktober 2022   12:22 Diperbarui: 24 Oktober 2022   13:07 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seiring dengan kian pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, arus globalisasi juga semakin menyebar ke segenap penjuru dunia. Penyebarannya berlangsung secara cepat dan meluas, tak terbatas pada negara-negara maju. 

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan derasnya arus globalisasi merupakan dua proses yang saling terkait satu sama lain. Keduanya saling mendukung. 

Tak ada globalisasi tanpa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga berjalan lambat jika masyarakat tidak berpikir secara global. Dalam konteks itu, globalisasi menjadi sebuah fenomena yang tak terelakkan (Scholte, 2001).

Salah satu dampak dari berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi adalah munculnya media sosial yang hingga hari ini semakin bersifat vital di dalam kehidupan masyarakat, Popularitas media sosial di era modern dapat digunakan sebagai alat komunikasi oleh siapa saja dan dapat diakses dimanapun.  Tingginya pengguna media sosial di Indonesia menyebabkan semakin mudahnya orang-orang untuk berkomunikasi (Ningrum et al., 2018).  

Akan tetapi, kemajuan tersebut juga beriringan dengan realita yang menyedihkan. Realita yang terjadi saat ini adalah pertumbuhan media sosial telah membawa trend baru dalam masyarakat.  Media sosial digunakan sebagai ajang untuk melakukan tindakan penindasan secara online atau yang lebih dikenal dengan sebutan cyberbullying.

Cyberbullying adalah tindakan mengintimidasi menggunakan media atau perangkat elektronik yang disengaja oleh pelaku dengan maksud atau tujuan yang menyebabkan timbulnya kerugian, tindakan yang selalu dilakukan secara konsisten atau berulang-ulang, cyberbullying selalu melibatkan suatu unsur hubungan yang ditandai dengan adanya ketidakseimbangan kekuatan (Hellsten, 2017). 

Cyberbullying juga dapat dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap individu lain melalui pesan teks, gambar/foto, atau video yang cenderung merendahkan dan melecehkan (Hidajat et al., 2015).

Salah satu aplikasi yang hari ini banyak memiliki pengguna dan marak akan tindakan cyberbullying adalah TikTok. Tiktok merupakan salah satu aplikasi yang paling terpopuler dan diminati di dunia. 

Tiktok memungkinkan penggunanya membuat video berdurasi 15 detik disertai musik, filter, dan beberapa fitur kreatif lainnya. 

Aplikasi ini diluncurkan oleh perusahaan asal Tiongkok, China, ByteDance pertama kali meluncurkan aplikasi yang memiliki durasi pendek yang bernama Douyin. Hanya dalam waktu 1 tahun, Douyin memiliki 100 juta pengguna dan 1 miliar tayangan video setiap hari. 

Popularitas Douyin yang tinggi membuatnya melakuka perluasan ke luar China dengan nama Tiktok. Menurut laporan dari Sensor Tower, aplikasi ini diunduh 700 juta kali sepanjang tahun 2019. Hal ini membuat Tiktok dapat mengungguli sebagian aplikasi yang berada dibawah naungan Facebook Inc. aplikasi ini menempati peringkat ke dua setelah Whatsapp yang memiliki 1,5 miliar pengunduh (Kusuma, 2020).

Tindakan cyberbullying yang marak terjadi di TikTok, dapat berdampak pada kesehatan mental sebagian penggunanya. Banyak pengguna aplikasi TikTok yang menjadi korban dari para pelaku cyberbullying mengalami gangguan, tak sedikit juga para korban cyberbullying ini mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya. Seperti yang sudah dijelaskan, umumnya tindakan cyberbullying dilakukan secara sengaja dengan maksud untuk mengintimidasi, merendahkan, ataupun melecehkan seseorang. 

Meskipun kita dapat beranggapan bahwa maksud dan tujuan seseorang atau lebih melakukan tindakan bullying adalah untuk merendahkan orang lain, yang bisa saja tujuan merendahkan tersebut bersifat pribadi atau bahkan hanya sekedar didasari rasa benci, tetapi tetap saja anggapan semacam itu belum cukup untuk menjawab dari mana rasa benci semacam itu tercipta kemudian bertransformasi menjadi tindakan yang sifatnya merendahkan. Fenomena ini bisa kita tilik lebih jauh lagi melalui perspektif Erving Goffman dengan teorinya yang disebut sebagai "Dramaturgi"

Menurut Goffman (1959), dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Situasi dramatik yang seolah-olah terjadi di atas panggung sebagai ilustrasi untuk menggambarkan individu-individu dan interaksi yang dilakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Margareth Poloma mendefinisikan prinsip dramaturgi sebagai pendekatan yang menggunakan bahasa dan khayalan teater untuk menggambarkan fakta subjektif dan objektif dari interaksi sosial (Sunarto, 2004: 43). Dramaturgi, sejatinya adalah sebuah perspektif sosiologi yang menitikberatkan pada manajemen dalam kehidupan sehari-hari, Goffman meyakini bahwa dalam interaksi selalu ada proses manajemen kesan di mana individu dalam setiap situasi mengatur perilakunya yang bersifat verbal maupun nonverbal, seperti bagaimana ia berpakaian, mengatur kata-kata serta gestur tubuh untuk menciptakan kesan pada diri individu tersebut.

Interaksi sosial yang digagas oleh Goffman bisa ditemukan pada hukum panggung (stage) atau individu yang memainkan peran di penampilan teater atau drama Goffman pertunjukan. Interaksi yang terjadi di masyarakat, layaknya sebuah pertunjukan drama di mana ada individu sebagai aktor, sebisa mungkin ia harus menampilkan dirinya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, atau dalam pertunjukan drama disebut sebagai penonton. Kita dapat melihat bagaimana orang-orang di media sosial hari ini, ada semacam identitas yang sengaja dimanipulasi oleh para pengguna media sosial. Manipulasi yang dilakukan, bertujuan untuk menciptakan kesan agar dapat diterima atau sekedar diakui oleh masyarakat. 

Goffman menyatakan bahwa individu atau kelompok harus mengerti ia pada posisi di panggung depan (front stage) atau panggung belakang (back stage). Front stage, merupakan tempat di mana para aktor akan memainkan peran mereka atau berakting untuk memanipulasi identitas diri mereka yang tidak sebenarnya. Back stage, merupakan tempat kehidupan asli sang aktor di mana tidak ada yang tahu bagaimana sikap atau pribadi aktor yang sesungguhnya. Di panggung belakang ini, setiap individu akan mempersiapkan diri untuk mereka tampilkan kepada orang lain, seperti halnya para aktor yang merias diri untuk tampil di atas panggung.

Pada pemikiran Goffman ini, maka kita dapat beranggapan bahwa interaksi yang terjadi di media social hari ini, merupakan pertukaran atau bahkan pertarungan antar berbagai panggung depan yang sedemikian rupa di persiapkan oleh tiap individu untuk berhadapan dengan publik. Apabila seorang pengguna media sosial secara penampilan, perilaku, serta sikap sesuai dengan anggapan ideal masyarakat, maka ia akan disambut positif. Jika seseorang yang tampil di media sosial bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, maka kesan yang akan timbul adalah penolakan, hujatan, atau bahkan tindakan-tindakan yang bersifat melecehkan.

Cyberbullying & Panggung Depan

Setelah kita memahami gagasan Goffman mengenai dramaturgi, maka asumsi yang sudah terbangun adalah bagaimana akhirnya bullying merupakan bentuk ekspresi penolakan masyarakat terhadap sikap, perilaku, dan tindakan seseorang yang bertentangan dengan ekspetasi serta konsep ideal bagi masyarakat. 

Salah satu contoh kasus terkait dengan penampilan panggung belakang dan panggung depan seseorang dapat dilihat dari hasil penelitian dari salah satu mahasiswi Universitas Brawijaya, Firli Juwita Sari pada tahun 2015. Ia menemukan bahwa pada beberapa mahasiswa di kota Malang, terdapat pola perilaku mahasiswa clubbers yang terbagi menjadi dua wilayah yaitu panggung depan dan panggung belakang. Pada panggung depan mahasiswa clubbers mempresentasikan dirinya sesuai dengan status sosial yang dimilikinya yaitu sebagai mahasiswa dan sesuai dengan nilai pada umumnya di masyarakat. Sedangkan pada panggung belakang terdapat aktivitas yang disembunyikan yaitu aktivitas mengunjungi night club (clubbing) yang rata-rata dilakukan sebanyak 2 sampai 3 kali dalam seminggu (Sari, 2015).

Dari kasus diatas, terdapat pola berbeda antara panggung belakang dan panggung depan. Jika para mahasiswa tersebut menampilkan kegiatan mengunjungi klub malam di panggung depan, maka yang terjadi adalah kemungkinan besar mereka akan mendapatkan sikap penolakan dari masyarakat, karena selain kegiatan tersebut tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat, kegiatan tersebut juga tidak sesuai dengan apaa yang diharapkan dari masyarakat kepada seorang mahasiswa.

Kembali pada pembahasan, pada fenomena cyberbullying yang ada di TikTok pun dapat ditemukan pola yang semacam. Semisal contoh kasus yang melibatkan artis TikTok Bowo Alpenliebe, Bowo Alpenliebe merupakan seorang pengguna TikTok yang sempat menuai banyak bullying dari masyarakat. Dilansir dari Kompas.com, Juli 2018 lalu, banyak yang merasa Bowo 'sok terkenal' atau 'sok keren' karena memungut biaya untuk acaranya. Tindakan bullying yeng terus menghampiri Bowo, membuat akhirnya ibunda Bowo keluar dari pekerjaannya karena terus kepikiran dengan sang putra. Tidak hanya itu, Bowo sendiri pun memilih untuk berhenti sekolah karena tak tahan dengan tindakan bullying oleh teman-temannya di sekolah.

Dari kasus tersebut, dapat kita lihat adanya diksi "sok keren" atau "sok terkenal" dapat dikatakan sebagai ekspresi yang mewakili penolakan masyarakat terhadap sikap Bowo yang dianggap tidak pantas untuk bersikap "sok terkenal". Apa yang ditunjukkan Bowo pada panggung depannya, tidak dapat diterima masyarakat sehingga malah menimbulkan kesan negatif terhadap dirinya.

Cyberbullying adalah tindakan negatif yang dilakukan oleh individu atau kelompok-kelompok tertentu dengan cara mengirimkan message atau pesan teks, gambar atau foto meme serta video di media sosial yang mengandung unsur pelecehan, sindiran, hinaan, diskriminasi, dan persekusi kepada para korban bullying. Fenomena bullying hingga cyberbullying jika dilihat melalui perspektif dramaturgi Erving Goffman, maka dapat dikatakan bahwa tidakan bullying merupakan salah satu bentuk ekspresi masyarakat untuk sebuah penolakan dari perbuatan, perilaku, dan sikap  yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun