The Architecture of Love, karya dari sutradara Teddy Soeriaatmadja yang mengadaptasi novel karya Ika Natassa ini secara garis besar menceritakan tentang dua orang insan yang saling bertemu di kota New York dengan kedua traumanya masing-masing.
Film ini sudah menarik perhatian saya sejak awal melihat posternya, mengusung Nicholas Saputra yang bagi saya pribadi ikonik dengan performanya di duologi Ada Apa Dengan Cinta, serta Putri Marino yang saya ingat khas dengan performanya di Layangan Putus, membawa saya pada perjalanan berdurasi 1 jam 50 menit ini.
Putri Marino memerankan karakter Raia dengan begitu apiknya di sini, di mana Raia sendiri merupakan penulis novel yang cukup terkenal mengalami kebuntuan atau biasa disebut writer’s block karena trauma atas perceraiannya dengan mantan suami, Alam, yang dinarasikan berselingkuh.
Pada suatu hari, Raia tidak sengaja bertemu dengan River (Nicholas Saputra), seorang arsitek yang tengah asyik menggambar rancangan desain gedungnya, lalu kemudian tertarik untuk mengajaknya mengobrol.
Begitu juga dengan Raia, karakter River juga memilikki traumanya sendiri, yang digali dan diulas lebih dalam dibanding Raia. Sejujurnya, saya sempat berfirasat sedikit tidak enak kalau film ini hanyalah glorifikasi fantasi dari tipikal cerita bad boy and crazy girl yang sering berkeliaran di platform daring, karena komposisi karakter laki-laki pendiam, dingin, dan ketus dengan karakter perempuan yang agak sedikit centil dan lebih menunjukkan rasa sukanya terhadap si pria ini sudah menjadi pakem tersendiri.
Tetapi pada akhirnya, firasat dan stigma saya terpatahkan, setidaknya karakter River tidak digambarkan sebagai bad boy juga walaupun lebih ditunjukkan sedikit pendiam dan kadang ketus, tetapi masih bisa menunjukkan sisi ramah, riang, dan traumatisnya.
Aspek realistis menjadi salah satu kelebihan film ini, dimulai dari adegan yang menyebabkan traumanya River yang tidak didramatisir dan terjadi begitu cepat, tapi cukup menimbulkan trauma yang mendalam untuknya. Serta beberapa penulisan dan pengucapan dialog yang kadang saling menimpa, yang cukup realistis di dunia nyata.
Saya juga suka detail-detail kecil seperti karakter River yang suka menjelaskan trivia dan sejarah dari tempat yang didatangi bisa dijadikan bahan obrolan yang asyik untuk diparodikan dengan teman atau pasangan kalian sepulang dari bioskop.
Tetapi di saat yang sama, entah kenapa pengucapan dialog yang menggunakan code-mixing bagi saya seperti membawa hawa suasana Layangan Putus ke sini, bisa jadi karena sudut pandang saya yang sudah terpukau dengan penampilan Marino di serial yang bersangkutan.
Kemudian narasi cerita traumatis dari Raia yang sayangnya kurang dieksplor, setidaknya sampai sekarang kita hanya bisa melihatnya di foto yang disimpan oleh Raia di laptopnya, yang menurut saya perlu digambarkan dalam adegan kilas balik.
Akhir kata, film TAOL ini menyajikan ending yang berkesan untuk saya pribadi, berhasil mengeksplorasi betapa rumitnya penyembuhan dari luka masa lalu, serta keberanian yang dibutuhkan untuk mencari jalan tak terduga di mana cinta itu sendiri dapat menjadi landasan untuk membangun kembali kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H