Mohon tunggu...
Muhammad
Muhammad Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Berbagi gagasan untuk kehidupan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pandemi Juga Terjadi di Lautan

28 Februari 2021   13:39 Diperbarui: 1 Maret 2021   22:14 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi pantai Kuta, Bali pada 3 Januari 2021. Foto: Instagram/@hiwayan 

Penyesalan datangnya belakangan. Kalau duluan, namanya peringatan. Penyesalan tak akan datang jika kita memahami peringatan kemudian memperbaiki hidup berdasarkan hikmah di dalamnya. 

PERINGATAN. Itulah tujuan dari tulisan ini. Dimaksudkan agar kita tidak menyesal di kemudian hari.

***

Puluhan ekor paus pilot terdampar di Pantai Desa Patereman, Kecamatan Modung, Pulau Madura, Jawa Timur. Hanya 3 dari 52 paus pilot yang dapat diselamatkan. Kepala Demartemen Biologi, Fakultas Sains dan Analitika Data, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Dr Dewi Hidayati berpendapat bahwa penyebab terdamparnya paus-paus tersebut karena perubahan navigasi.

Namun, apakah perubahan navigasi merupakan satu-satunya penyebab? Entahlah, sampai saat ini alasan utamanya belum diketahui secara pasti.

Di sisi lain, berita tentang lingkungan seperti di atas kurang menarik bagi masyarakat. Mungkin juga di antara pembaca ada yang baru mengetahui berita tersebut.

Memang, berita tentang terdamparnya paus-paus itu tidak se-booming berita salah satu kibordis yang selingkuh dengan penyanyinya. Pembicaraan tentang perselingkuhan itu bahkan menjadi trending topic di Twitter selama berhari-hari. Berbeda nasib dengan berita tentang paus terdampar yang sama sekali tidak mencicipi rasanya jadi trending topic.

Apalagi jika berita tentang terdamparnya paus dibandingkan dengan sinetron Ikatan Cinta yang ditayangkan di RCTI, duh, pasti kalah jauh.

Menurut saya, ramainya pembicaraan khayalak di media sosial tentang suatu isu merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena hal itu menunjukkan animo masyarakat terhadap isu tersebut. Sayangnya, isu tentang lingkungan jarang sekali memantik animo yang besar. Padahal nasib kehidupan manusia di masa yang akan datang saling terkait dengan nasib kelestarian alam.

Alam lestari, hidup manusia ‘kan berseri-seri.

Lihat saja bagaimana animo masyarakat tentang sinetron Ikatan Cinta. Saking besarnya animo yang muncul, sampai-sampai saya yang sudah bertahun-tahun tidak nonton sinetron pun jadi tahu tentang sinetron itu.

Informasi tentang sinetron itu dengan mudah bisa ditemukan di mana-mana. Sehingga informasi tersebut dengan mudah masuk ke long term memory kita. Hal yang paling penting yaitu, informasi yang telah masuk ke dalam long term memory secara tidak langsung akan mempengaruhi alam bawah sadar. Dan puncaknya, ia akan mempengaruhi cara kita berpikir, berbicara, dan bertindak.

Lihat saja bagaimana masyarakat rela mempertaruhkan nyawanya di masa pandemi yang semakin gawat ini hanya karena ingin menyaksikan syuting sinetron tersebut.

Oleh sebab itu, saya mengajak para pembaca untuk menjadi ‘buzzer halal’. Yaitu buzzer yang pro kepada kelestarian lingkungan.

Bagaimana animo masyarakat terhadap isu lingkungan?

Tahukah kamu kalau beberapa hari yang lalu—tepatnya tanggal 21 Februari—ada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN)?

Mungkin masih banyak yang tidak tahu tentang hari peringatan tersebut. Bahkan mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya, “Memangnya ada ya hari peringatan seperti itu?”

Tetapi rasanya hanya sedikit orang yang tidak tahu berita tentang video permintaan maaf dari kibordis yang selingkuh itu. Yang kebetulan terjadi pada tanggal yang sama.

Begitulah, saking tidak menariknya isu tentang lingkungan sehingga dianggap tidak layak untuk dijadikan hot news dan jarang sekali menjadi hot topic dalam pembicaraan kita sehari-hari.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh salah satu jurnalis The Jakarta Post. Ia mengeluhkan betapa kecilnya animo masyarakat terhadap isu lingkungan yang ia angkat. Padahal dampaknya sangat luar biasa bagi kehidupan manusia.

Gambar: Twitter/@evimsofian 
Gambar: Twitter/@evimsofian 

Jika isu lingkungan belum masuk ke seluruh lapisan masyarakat, maka jangan harap akan terjadi perubahan besar di negeri ini. Isu lingkungan harus menjadi pembicaraan di setiap lapisan masyarakat sebagaimana masyarakat membicarakan hal-hal terkait pandemi Covid-19 maupun sinetron Ikatan Cinta.

Cara penyebaran informasi terkait pandemi Covid-19 dapat direplika dalam menyebarkan informasi terkait isu lingkungan. Sehingga timbul kesadaran secara masif tentang bahayanya perilaku abai terhadap kelestarian lingkungan.

Indonesia ada di peringkat kedua loh!!!

Tidak. Saat ini saya tidak ingin membicarakan tentang korupsi di Indonesia yang sudah sama-sama kita ketahui betapa kronisnya penyakit tersebut. Tulisan ini hanya fokus membahas tentang isu lingkungan.

Entah kita sadari atau tidak, sampah plastik yang ‘dikirim’ ke laut terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Indonesia bahkan menorehkan 'prestasi' dalam hal ini. Tak tanggung-tanggung, Indonesia berada pada peringkat kedua.

Fakta yang sangat mengejutkan diungkapkan oleh peneliti bernama Ellen MacArthur dari Yayasan Ellen MacArthur. Sebab sampah yang 'dikirim' ke laut selalu mengalami peningkatan, ia memperkirakan pada tahun 2050 jumlah sampah di lautan lebih banyak daripada jumlah ikan.

Dapatkah kita bayangkan, suatu hari kita pergi ke tengah lautan untuk memancing ikan, tetapi yang didapat hanya sampah dan sampah. Atau suatu hari kita pergi ke pantai dengan harapan melihat deburan ombak yang indah, tetapi yang lebih jelas terlihat adalah sekumpulan sampah sejauh mata memandang.

Fakta bahwa sampah telah memenuhi lautan kita bukan lagi sebuah mitos atau ramalan masa depan. Lihatlah foto di bawah ini.

Kondisi pantai Kuta, Bali pada 3 Januari 2021. Foto: Instagram/@hiwayan 
Kondisi pantai Kuta, Bali pada 3 Januari 2021. Foto: Instagram/@hiwayan 

Pantai di atas dikenal memiliki sunset yang memukau. Di satu sisi, jutaan turis domestik dan mancanegara datang ke pantai tersebut untuk menikmati keindahannya. Tetapi sungguh ironis, di sisi lain, pantai tersebut termasuk ke dalam peringkat 10 besar pantai terkotor di dunia.

Pandemi juga terjadi di lautan kita

Penelitian yang dilakukan oleh Harbor Branch Institute, Florida Atlantic University mengungkapkan tentang kadar polutan berancun yang terkandung dalam lapisan lemak lumba-lumba dan paus. Mereka mengambil sampel dari 83 lumba-lumba dan paus yang terdampar di pesisir pantai Amerika Serikat pada tahun 2012-2018.

Tingkat polutan beracun yang terkandung pada ikan-ikan tersebut berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Polutan itu berasal dari limpasan air yang tercemar atau dari bahan kimia pada plastik sekali pakai yang ‘dikirim’ ke lautan.

Sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan Harbor Branch Institute, hal ini dapat berdampak terhadap kesehatan biota laut dan manusia.

Dengan adanya fakta bahwa jumlah ‘kiriman’ sampah dan limbah ke lautan yang terus meningkat dari waktu ke waktu, dapat kita simpulkan bahwa tingkat polutan beracun di laut akan terus meningkat. Artinya, semakin banyak ikan yang terkontaminasi polutan beracun.

Parahnya, ‘warga’ laut tidak memiliki lembaga pemerintahan seperti kementerian kesehatan ataupun epidemolog. Sehingga tak akan ada yang berkoar-koar untuk mengingatkan menjaga protokol kesehatan.

Bukankah kini jadi semakin jelas bahwa pandemi di lautan menyebar dengan sangat masif. Toh, pandemi di dunia manusia saja—yang dianggap memiliki peradaban paling maju—dapat terjadi sedemikian masif. Apalagi di kalangan warga laut yang tidak punya kemenkes, epidemolog, aktivis kesehatan, dan sebagainya itu.

Laut punya siapa?

Siapakah pemilik lautan? Saya? Anda? Pemerintah? Penguasa? Aktivis lingkungan?

Aksi saling tunjuk terkait pihak yang harusnya paling bertanggung jawab terhadap masalah di lautan masih sering terjadi. Padahal kita semua berkontribusi dalam perusakan lautan.

Bukankah sampai hari ini kita masih menggunakan plastik dalam kehidupan sehari-hari?

Kita tidak bisa berharap pandemi di lautan berhenti dengan sendirinya. Kitalah selaku perusak makhluk yang memiliki akal pikiran, yang harus mengambil inisiatif dan mulai bergerak melakukan perbaikan. Bukan saatnya lagi melakukan aksi saling tunjuk.

Tepang Salapan. Foto: Instagram/dea.kariza 
Tepang Salapan. Foto: Instagram/dea.kariza 

Ada sebuah peribahasa Sunda yang terpatri di Tepas Salapan Lawang Dasakreta, salah satu landmark Kota Bogor. Bunyinya:

“DI NU KIWARI NGANCIK NU BIHARI  SEJA AYEUNA SAMPEUREUN JAGA”

Artinya: “Apa yang telah dinikmati oleh masa sekarang adalah hasil pekerjaan orang terdahulu dan apa yang diperbuat oleh orang di masa sekarang adalah warisan untuk masa depan.”

Secara tidak langsung, peribahasa tersebut menjelaskan kepada kita bahwa semua kekacauan apa yang terjadi pada masa sekarang merupakan perbuatan manusia di tahun-tahun sebelumnya. Bisa jadi ada kontibusi kita di dalamnya.

Peribahasa itu juga secara tidak langsung menasihati kita, jika kita ingin kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang, maka berbuat baiklah di masa kini.

Jika bukan kita sendiri yang mulai memperbaiki diri, maka siapa lagi yang bisa melakukannya?

Salam lestari!

Sumber referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun