Kalau kamu adalah orang tua atau seorang guru, mesti kamu tau, kalau seorang anak itu terkadang suka melakukan sesuatu untuk menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Perilakunya bisa macam-macam, mulai dari perilaku yang baik, aneh, konyol, sampai yang buruk sekalipun. Yang penting perbuatan itu bisa menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Dan jika anak itu berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, maka dia akan melakukan hal yang sama, lagi dan lagi. Dia akan berhenti melakukannya, saat dia merasa puas atas perhatian yang didapatkan atau karena perilakunya itu tidak lagi menarik bagi orang-orang di sekitarnya.
Saya sebagai seorang guru, sering sekali melihat fenomena ini di lingkungan sekolah. Saya ambil sebuah contoh: suatu hari saya melihat ada seorang murid berjoget-joget tidak jelas, kemudian jadi semakin semangat saat teman-temannya bersorak sorai, memperhatikannya sambil tertawa geli. Ada lagi contoh lain: beberapa anak laki-laki, murid-murid SMA yang -- menurut saya -- merendahkan martabat kejantanannya dengan main tunggang-tunggangan di dalam kelas, ditonton teman-temannya termasuk murid-murid perempuan.Â
Anehnya, mereka senang mengulanginya berkali-kali dan malah semakin semangat jika disoraki/ditertawai kaum hawa. Kenapa? Alasannya tak lain dan tak bukan, disadari atau tidak, yaitu karena perbuatan mereka menarik perhatian teman-temannya.
Sekali-kali bolehlah kamu lakukan sebuah eksperimen, jika ada temanmu yang berbuat konyol, cukup kamu arahkan pandanganmu kepadanya dengan tanpa mengeluarkan ekspresi atau tanggapan apapun. Kira-kira, apakah dia akan mengulangi perbuatan konyolnya? Rasa-rasanya tidak akan.
Kalau kita perluas ruang lingkupnya, sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan anak-anak. Banyak juga orang dewasa yang melakukannya. Biasanya terjadi di kalangan public figure. Perilakunya juga macam-macam, mulai dari penggunaan fashion yang aneh, gaya berjoget yang khas -- bahkan erotik --, menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu, dan lain sebagainya. Lagi lagi, semuanya dilakukan untuk satu tujuan, mendapatkan perhatian. Selama perhatian terus mengalir, mereka akan mengulanginya dengan menambahkan beberapa variasi di sana sini. Jika perhatian berhenti, membuat sensasi aneh lainnya kerap dijadikan solusi.
Fakta yang sulit saya terima, perilaku-perilaku konyol yang dilakukan untuk menarik perhatian orang lain biasanya dilakukan oleh murid-murid yang kurang berprestasi -- kalau terlalu kasar untuk menyebutnya bodoh --.
Biasanya murid-murid pintar dan berprestasi tidak tertarik untuk melakukan hal-hal konyol untuk menarik perhatian orang lain. Mungkin karena dia sudah cukup mendapatkan perhatian tanpa perlu melakukan semua kekonyolan itu. Kepintaran dan prestasinya sudah pasti menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang di sekitarnya.
Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo
Sepertinya, Â fenomena ini juga sedang melanda presiden Indonesia. Belakangan ini, Pak Jokowi sudah beberapa kali menggunakan kata yang tidak lazim digunakan masyarakat Indonesia. Hanya dalam waktu 2 bulan, tiga frasa -- relawan kardus, sontoloyo, dan politikus genderuwo -- berhasil digemakan di seantero tanah air olehnya. Keseruannya tidak berhenti sampai di situ, banyak intelektual dan segelintir manusia bergelar doktor membahasnya secara mendalam dari berbagai sudut pandang.
Lalu, apa makna fenomena ini bagi saya sendiri? Bagi saya, perilaku Pak Jokowi layaknya murid-murid saya yang senang main tunggang-tunggangan.
Saya yakin, sejak frasa tak lazim pertama (relawan kardus), Pak Jokowi menyadari kata-katanya itu menimbulkan kehebohan di antara masyarakat Indonesia. Saya juga yakin, Pak Jokowi bukan manusia yang cukup ceroboh untuk mengucapkan kata-kata tak lazim kembali  dalam selang waktu yang singkat. Dia tentu tahu betul, kalau kata-kata tak lazimnya itu akan menimbulkan kehebohan. Lalu kenapa perilaku itu terus berulang? Layaknya murid yang main tunggang-tunggangan, semua itu dilakukan untuk menarik perhatian orang lain.
Mau coba membuktikannya? Mari kita lakukan sebuah eksperimen!
Besok besok, kalau Pak Jokowi mengucapkan kata-kata tak lazim atau bahkan melakukan perilaku konyol, cukup kita arahkan pandangan kepadanya dengan tanpa mengeluarkan ekspresi atau sikap apapun: tidak tertawa, tidak marah, tidak sedih, tidak menanggapinya, tidak memberikan pendapat, tidak menghakiminya, tidak menyebarkannya di medsos, tidak menjadikannya berita, tidak diliput, tidak disebarkan di media masa, dll. Kira-kira, apakah Pak Jokowi akan mengulangi perilakunya lagi? Saya kira tidak akan.
Jadi, sudah tahu kan cara menghentikan semua kehebohan ini? Just stay calm and keep moving forward!
Â
Saran
Saya sebagai orang awam ingin memberikan sedikit saran untuk Pak Presiden. Kalau Bapak memang membutuhkan perhatian, maka bersikaplah seperti murid-murid yang pintar dan berprestasi. Dengan kepintaran dan prestasi yang Bapak miliki, tanpa perlu diminta, warga negara Indonesia akan senantiasa memperhatikan Bapak. Kalau di masa yang akan datang Bapak masih banyak 'gaya' untuk mendapatkan perhatian, perilaku Bapak jadi mirip dengan tipe murid saya yang satunya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H