Kompas Online (21/1/2014) memberitakan pernyataan Mantan Menteri Hukum dan HAM semasa Presiden SBY Â yakni Amir Syamsudin tentang eksekusi mati para terpidana kasus narkoba yang dilakukan Pemerintahan sekarang (Presiden Jokowi). Â Â "Dengan mengekspos daftar nama orang-orang yang akan dieksekusi secara besar-besaran, seolah pemberitaan dapat dinikmati sebagai show dan tontonan kehebatan pemerintah," ujar politisi Partai Demokrat ini seperti dikutip oleh Kompas Online.
Dalam perspektif lain Jodhi Yudono dalam 'Catatan Kaki' Kompas Online (22/1/2014) menulis tentang bagaimana repotnya menjadi seorang Jokowi (Presiden).  Dalam Catatan Kaki Jodhi Yudono tersebut, Jokowi dianggap menjadi sangat repot karena harus membayar tagihan-tagihan dari para pendukung dan kolega-koleganya yang telah menjadikannya sebagai Presiden Indonesia, sehingga disebutkan Jokowi harus 'menjilat ludahnya sendiri' untuk memberikan tempat bagi kolega partai pendukungnya menduduki  kursi kabinet, jaksa agung, calon Kapolri, posisi strategis dan wantimpres.  Dan sebaliknya disebutkan lagi, Jokowi sudah tidak berpihak dengan rakyat karena menaikan tarif listrik (?) dan bbm, serta mengajukan Komjen Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri.
Dari dua respon yang ditujukan untuk Pemerintahan Jokowi yang dilakukan Mantan Menteri Hukum/HAM dan Jodhi Yudono di atas, mungkin kita juga menjadi "sangat repot" untuk memahami.
Setelah terpilih menjadi Presiden dalam perhelatan Pilpres 2014 lalu, Jokowi memang tidak lagi hanya menjadi milik pendukung yang memilihnya.  Jokowi sudah menjadi representasi bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang memilih maupun yang 'membencinya'.  Sehingga suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, Jokowi harus menerima apapun yang menjadi 'harapan rakyat', termasuk di dalamnya harapan dari rakyat yang terlanjur masih setengah tidak suka bahkan  'antipati' membencinya. Tentang rakyat yang setengah tidak suka sampai yang sangat membenci Jokowi (baik  karena memiliki alasan maupun yang sangat naif) bisa  terlihat sampai saat ini masih mengisi "dinding-dinding" sosial media dan forum-forum  online kita, juga di media lainnya.
Dalam perspektif  "harapan rakyat" yang disebut di atas - yang seluruhnya minta di layani Presiden - membuka  ruang yang  disebut "merepotkan" di atas.  Tanggapan terhadap apapun kebijakan Pemerintahan Jokowi menjadi sangat berbeda dan liar jika  sudah direspon oleh rakyat yang berlatar belakang berbeda tadi.  Apalagi untuk hal tertentu kebijakan-kebijakan Jokowi yang memang menyertakan "kontroversi".  Tentu Jokowi akan lebih mudah untuk memberi klarifikasi dan penjelasan terhadap kebijakan kontroversinya kepada pendukungnya dibanding kepada yang masih belum 'bisa menerimanya'.  Tetapi kembali bahwa tanggung jawab konstitusional Presiden adalah berada pada  keinginan dan kepentingan keseluruhan rakyat Indonesia.  Repot ?
Apa yang direspon Mantan Menteri Hukum dan HAM ataupun yang dicatat oleh Jodhi Yudono adalah contoh bagaimana sebuah kebijakan Jokowi menjadi sangat liar dan bebas untuk memperoleh respon, positif atau negatif. Eksekusi mati bagi terpidana kasus narkotika yang dilakukan Pemerintahan Jokowi  baru-baru ini, bisa menjadi hal yang positif jika dimaknai sebagai bentuk psy-war untuk membuat setidaknya jera bagi pelaku-pelaku narkotika. Psy war tentu mengharuskan ekspos bahkan propaganda besar-besaran sehingga impact yang diharapkan bisa tercapai.  Bagaimana mungkin efek jera dapat dihasilkan jika dilakukan secara diam dan sunyi. Kasus ini juga sama ketika Menteri Kelautan dan Perikanan melakukan  pengeboman kapal-kapal yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal untuk membuat jera pelakunya.  Tentu menjadi sangat sempit jika hanya memaknai sebagai bentuk over acting dan ingin disebut berbeda dari Pemerintahan sebelumnya (jika memang Pemerintah sebelumnya tidak melakukannya).  Dalam konteks lain, Jodhi Yudono juga membaca secara berbeda terhadap kebijakan menaikan BBM (meskipun sudah turun) dan tarif listrik (meski diundur), termasuk pengangkatan pejabat Pemerintah yang berasal dari kolega dan pendukungnya dan/atau yang masih disebut belum 'clear'.
Sayangnya Presiden belum secara penuh menggunakan ruang untuk memberikan konfirmasi bahkan klarifikasi dari berbagai respon berbeda masyarakatnya terhadap kebijakan yang ditetapkannya.  Padahal Presiden harus paham bahwa pertanyaan-pertanyaan dan tanggapan-tanggapan yang 'tidak semestinya' harus secepat mungkin diluruskan kembali sesuai apa yang dipikirkan dan sudah dipertimbangkan  masak dan dianggap benar oleh Presiden terhadap kebijakan-kebijakannya.  Jangan sampai pertanyaan yang simpang siur masyarakat yang tidak memperoleh jawaban berubah menjadi isu dan berpotensi semakin "merepotkan" Presiden sendiri ke depannya.
Apakah kemudian Presiden perlu lembaga khusus yang bisa menjadi jembatan Presiden dan Masyarakat untuk mentransfer  apapun informasi  yang dipikirkan Presiden terhadap kebijakannya?  Mungkin, termasuk jika kemudian lembaga tersebut juga akan diisi oleh koleganya, maka perlu dijelaskan juga kepada masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H