Mohon tunggu...
Muhammad Day
Muhammad Day Mohon Tunggu... -

Menyukai Bidang Sosial, Politik dan Pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi vs Publik Pendukungnya dalam Kasus Polri vs KPK

29 Januari 2015   18:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:09 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi sebagian pendukungnya, keberadaan dan sikap Presiden Jokowi saat ini terutama yang berkaitan dengan pencalonan Kapolri dan kasus 'imbasnya' yakni saling men-'tersangka'-kan  yang dilakukan oleh KPK kepada calon Kapolri dan sebaliknya oleh Polri kepada Komisioner KPK, semakin membuat 'judeg' tetapi juga 'kasihan'.

Bagi orang Jawa, filosofi 'tego uripe ora tego patine'  menjadi beban yang sangat berat untuk mudah dan ikhlas menerimanya.  Memang filosofi ini semakin meluntur untuk kalangan yangmerasa modernitas adalah keharusan untuk berpijak pada rasionalitas dan akal sehat.  Benar juga, jika filosofi yang saya sebut di atas  berdiri lebih pada alam bawah kesadaran yang justru  didominasi oleh perasaan dan naluri kepantasan untuk ketidak-tegaan.

Arti kasar  filosofi di atas adalah bahwa kita bisa begitu membencinya terhadap tindak-tanduk dan perilaku seseorang, bahkan juga terhadap anak-anak dan saudara sedarahnya, atau dalam kasta lain yang lebih tinggi misal terhadap setiap sikap dan kebijaksanaan/kebijakan pemimpin yang secara 'masif' memiliki keterkaitan emosional terhadap kita.  Konteks keterkaitan emosional yang begitu kuat, seringkali dapat membentuk jalinan imajiner yang kasat tetapi diyakini.  Dalam keyakinan orang-orang Jawa yang masih 'nJawani' kondisi ini kemudian memunculkan berbagai mitos, seperti kalau seorang ibu tanpa sengaja memecahkan gelas maka kemudian dihubungkan dengan kondisi yang sedang menimpa anggota keluarga dekatnya yang secara emosional berada dekat dengannya.

Keberadaan Presiden Jokowi dan pendukungnya pun saat ini bisa saya sebut berada pada posisi sulit dan terjebak dalam filosofi di atas.  Dalam kesadaran rasionalitasnya, sikap Jokowi akhir-akhir ini telah begitu membuat pemilih dan pendukungnya berada pada titik keraguan untuk bersikap, bahkan  ada yang lebih keras untuk ikut mengecamnya.  Karaguan karena satu sisi tidak bisa menerima 'ketidakselarasan' sikap dan kebijakan Jokowi dengan 'kepatutan' yang diharapkan, tapi di satu pihak lain yang tidak dapat dipungkiri  bahwa Jokowi menjadi Presiden lahir dari pengharapannya juga.  Dalam tataran yang lebih keras, ketidakselarasan ini bisa menimbulkan bukan hanya antipati terbatas secara politik tetapi juga personal.  Efeknya pun akan lebih keras jika dibandingkan pihak yang pada saat yang sama justru sudah berdiri pada blok yang berbeda.

Memilahkan diri dari persoalan hukum dan politik yang melingkupi - benar dan tidak benarnya -, seyogyanya Jokowi bisa merawat para pendukungnya sedemikian rupa, termasuk dalam arti merawat perasaannya.  Saya bisa begitu merasakan bahwa para pendukung Jokowi saat ini ikut menanggung beban tekanan yang sewajarnya tidak pantas untuk menanggungnya.  Tetapi keterkaitan Jokowi (beserta seluruh derivasi yang menyertainya, sikap, prilaku, kebijakan, dan lainnya) seolah adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan pendukungnya.  Dus, sekarang saat Jokowi mendapat tekanan negatif karena sikap dan kebijakannya yang 'dianggap' tidak segaris dengan kebenaran dan keadilan versi pengharapan publik, maka pendukungnya pun harus memperoleh perlakuan yang sama.  Sosial media adalah senjata empuk untuk kembali memperhadapkan para pendukung dan penolak keberadaan Jokowi.  Jika seorang teman membuat tulisan kasar, sarkastis bahkan provokatif  - atau oleh teman lain disebut 'sadis'- seperti ini  "Pemimpin yang Bodoh Lahir dari Tangan Pemilih yang Bodoh", adalah seolah penghukuman yang tidak wajar yang seharusnya tidak pantas ditimpakan kepada pendukung Jokowi dalam Pilpres lalu.

Jokowi saat ini adalah pribadi sendiri meskipun menjadi Presiden karena pendukungnya, tetapi kemakmuran yang jika dihasilkan oleh kebijakannya maka  tidak hanya akan dinikmati secara serakah  oleh pendukungnya, tetapi sebaliknya jika Jokowi bergerak 'zig-zag dan berbelok' maka pun tidak hanya pendukungnya yang berkewajiban meluruskan.

Tuntutan untuk Jokowi senantiasa berdiri sejajar dengan tuntunan publik yang bisa dipahami secara wajar dan bisa dipertanggungjawabkan secara rasional, adalah keharusan yang mesti dilakukan sebagai Presiden.   Setidaknya itu menjadi bagian merawat perasaan orang-orang yang telah berjasa menjadikannya Presiden. Kecuali Presiden Jokowi lebih ingin mempercayai bagian akhir dari  filosofi Jawa di atas : toh para pendukungnya akan tetap tidak tega (ora tego)  jika membiarkan dirinya berdiri sendiri saat 'patine' (kematian dalam arti yang sangat luas). Ingatlah pada saat itu ketidakberdayaan sudah sangat naif bisa menyelematkan dirinya.

Sumber Foto :  Kompas Online (29/1/2015)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun