Presiden Jokowi telah membuat ketetapan untuk mencapai swasembada pangan (beras) dalam 3 tahun ke depan. Berbagai program sudah dicanangkan, seperti memulai pembangunan banyak waduk/bendungan di berbagai daerah, upaya perbaikan dan pembuatan saluran irigasi di banyak tempat, dan menyebar ribuan traktor untuk banyak petani di berbagai sentra pertanian padi. Tetapi mudah-mudahan Presiden Jokowi tidak lupa, bahwa melihat persoalan swasembada beras adalah tidak parsial hanya memandang kompleksitas sistem pertanian produksi yang berada di hulu (dengan berbagai derivasinya), tetapi juga mengatur sistem tata niaga pada hilirnya. Kisruh beras yang terjadi saat ini, dimana tidak hanya harga yang meningkat secara ekstrim tetapi keberadaannya yang berkurang drastis di pasaran adalah bukti bahwa hal tersebut bagian dari ceruk persoalan yang perlu juga ditangani secara tepat untuk bisa mencapai swasembada.
Target mencapai swasembada beras dalam waktu tiga tahun bagi banyak orang masih belum dapat diterima secara logis bahkan terkesan muluk dan ambisius. Ambisius, jika melihat kenyataan bahwa sejak 31 tahun lalu dengan melibatkan empat Presiden berbeda, tidak sekalipun program swasembada pangan yang diupayakannya berhasil dicapai (catatan, tahun 1984 adalah tahun yang diklaim oleh Presiden Soeharto sebagai tahun Indonesia berswasembada beras). Dan sekarang Presiden Jokowi mentargetkan hanya dengan 3 tahun untuk bisa meraihnya. Memang bukan seperti orang berlomba lari yang bermula dari garis start yang sama, karena bagaimana pun selama 31 tahun tentu sudah ada fondasi yang terbangun. Tetapi tentu juga tidak semudah membalik telapak tangan untuk bisa meraihnya sekarang, meskipun bukan berarti juga tidak bisa dicapai.
Memprogramkan swasembada beras sama artinya merangkai agenda program secara menyeluruh, komprehensif dalam mengatur seluruh sub sistem penopangnya, dari hulu sampai hilir seperti yang sudah saya sebut di atas. Lahan sebagai faktor utama produksi pertanian padi perlu penjagaan secara sungguh-sungguh dari upaya pengalihan fungsi (konversi) ke non pertanian, jika pembukaan lahan-lahan baru sebagai penggantinya tidak berjalan sejajar. Konversi lahan memang sebuah keniscayaan sebagai dampak dari pembangunan dan kehidupan yang berjalan. Tetapi menginginkan berswasembada tentu menuntut secara mencukupi akan ketersediaan lahan tersebut.
Pengaturan pelarangan pengalihan lahan sawah menjadi penggunaan lain dan regulasi Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah harus diorientasikan bagi sebesar-besarnya kepentingan pencapaian program swasembada beras. Dalam konteks ini komitmen dan konsistensi dalam penerapannya, termasuk pengenaan sanksi atas pelanggarannya mutlak diperlukan. Memang kadang menjadi anti sosial jika mempertimbangkan aspek kepemilikan dan kepentingan individu di dalamnya, tetapi itu adalah resiko untuk tercapainya target, tentu juga Pemerintah harus berkomitmen dengan dirinya untuk juga tidak mengubah lahan pertanian dengan alasan apapun termasuk untuk kepentingan umum, seperti jalan dan infrastruktur lainnya. Masih dalam konteks lahan tadi, perlu dipikirkan juga oleh Pemerintah tentang sebaran kepemilikan lahan individu-individu petani yang semakin kecil, yang mengartikan tingkat kesejahteraan petani juga semakin kecil. Memang bukan korelasi yang tepat menyandingkan swasembada (dalam arti luas mencukupi kebutuhan beras untuk keseluruhan masyarakat) dengan tingkat kesejahteraan individu pelaku produksinya, tetapi menjadi ideal jika keduanya adalah program yang sinergi. Petani yang memiliki kesejahteraan baik sangat dipastikan akan dengan sukarela mendukung program Pemerintah.
Persoalan kedua yang berkenaan dengan sistem hilir adalah kebiasaan kacaunya pengadaan sarana produksi (pupuk, benih, pestisida, alat pertanian) yang sering sekali terjadi justru pada saat-saat dibutuhkan petani. Jangan berharap banyak dan masih bermimpi tentang swasembada jika proses pengadaan, alur distribusi dan sistem tata niaga yang berkenaan dengan sarana produksi ini belum diatur dengan benar. Keberpihakan Pemerintah terhadap permodalan petani juga menjadi faktor penting untuk mendukung produktivitas petani dalam berusaha, tetapi tentu bukan seperti program KUT yang hanya memberikan pembiayaan produksi tetapi lepas tangan disaat terjadi over produk saat panen raya. Petani membutuhkan permodalan dengan instrumen yang tidak memberatkan, tetapi petani juga membutuhkan support Pemerintah di saat panen raya sehingga terdapat kepastian harga sebagai imbal balik investasi yang telah dilakukan. Pembiaran petani berhadapan dengan mekanisme pasar seringkali menjadi antitesa buat program swasembada yang diharapkan Pemerintah.
Bulog sebagai leader dalam penanganan manajemen logistik dibidang perberasan nasional, merujuk Keppres No 103 Tahun 2001 dimana memiliki kewajiban dalam penyusunan kebijakan dibidang manajemen logistik, pengadaan, pengelolaan persediaan dan distribusi dan terlebih pada pengendalian harga beras. Tetapi sampai saat ini, fungsi dan kewenangan Bulog masih jauh dari batas optimum. Kewajiban menjadi institusi yang bertanggung jawab terhadap cadangan pangan nasional tidak simetris dengan kemampuan saat berhadapan dengan kekuatan pasar. Terbukti Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang tidak pernah lagi diperbaruhi sejak tahun 2012 kalah jauh dengan harga yang dihasilkan oleh mekanisme pasar. Melihat dari sudut pendapatan petani memang benar, bahwa petani memiliki nilai tukar atau penerimaan yang lebih besar, tetapi konsekuensi logisnya Bulog tidak memiliki cadangan beras seperti diharapkan. Sayangnya Bulog memang terkesan tidak memerlukan prasyarat cadangan beras dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Prasyarat kuantitas, Bulog seolah abai karena ada instrumen impor yang bisa dilakukan dan mungkin lebih menguntungkan. Sedangkan prasyarat kualitas juga menjadi nomor sekian sebagai parameter. Dengan HPP yang jauh di bawah harga pasar, Bulog hanya memperoleh limbah dari gabah atau beras jelek yang tidak diterima oleh pasar. Dus, simpulannya adalah cadangan beras nasional yang dilakukan Bulog dari pengadaan dalam negeri adalah beras jelek dan berkualitas rendah. Beras inilah yang akhirnya mondar mandir antara Bulog dan rakyat miskin.
Jebakan Bulog tidak membeli gabah petani dengan harga wajar dapat dilihat  seperti saat ini, dimana pasar menjadi penentu utama keberadaan dan harga beras nasional. Pasar wajar menentukan harga tinggi dengan dasar pembelian yang juga tinggi, apalagi saat suplai beras yang tidak besar. Dalam situasi ini Pemerintah tidak bisa banyak berkutik, apalagi jika kran impor beras yang selama ini dijadikan senjata untuk menekan harga beras tertutup. Sementara sangat susah mengadu kualitas cadangan beras dalam negeri yang dimiliki Bulog dengan yang berada di pasaran. Dalam konteks ini kesalahan berada pada Bulog yang gagal sebagai pengendali pengadaan, distribusi dan stabilisasi harga beras. Pelimpahan kesalahan kepada pasar (pedagang) memang relevan, tetapi lebih tidak relevan jika Pemerintah tidak berkaca dari kegagalan fungsinya. Menengok ke tahun tahun sebelumnya dimana operasi pasar (sebagian besar berasal dari hasil impor) dikeluarkan melalui saluran pedagang pasar atau institusi tertentu tanpa regulasi dan kontrol yang ketat adalah program tidak masuk akal lainnya dari Bulog.
Dengan melihat sedikit sudut kompleksitas yang saya tulis di atas,  rasanya Pemerintah memang perlu kerja keras jika memang Swasembada masih ingin dicapai dalam waktu 3 tahun ke depan. Keberpihakan, regulasi dan pengaturan tata niaga menjadi satu paket yang perlu segera dilakukan, selanjutnya adalah komitmen dan konsistensi.
Semoga Berhasil.
Sumber Foto : Â berita2bahasa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H