Mohon tunggu...
muhammad David
muhammad David Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Mata Khanza

21 Mei 2016   21:29 Diperbarui: 21 Mei 2016   23:05 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

        

Muhammad David Al-Musannif

Siswa MA KMM Kauman Padangpanjang

Ceritaku ini adalah tengang Khanza. Gadis jenius yang duduk disampingku. Bertekuk lutut menangis di hadapan seorang laki-laki tua. Ayahnya. Luntur sudah bedak yang merias wajahnya. Air matanya begitu deras kulihat. Meski tak terdengar bagaimana arusnya. Isaknya terdengar sesegukan.

“Ayah, maafkan Khanza.” Ucapnya masih menangis. Tak kuasa lelaki tua yang dipanggilnya ayah itu menahan haru. Dielusnya kepala gadis itu. Berderai pulalah air matanya. Banyak sebab yang buat ia (lelaki itu) ikut menangis. Pertama adalah tangis haru karena putri tunggalnya itu hendak lepas pula dari keluarganya. Tak ada putri lagi di keluarganya. Hanya ada abang Khanza dua orang dan saeoranglah adiknya. Laki-laki juga.

Memanglah benar kata orang, "Air mata tak memandang sesiapa untuk jatuhnya. Laki-laki atau perempuan, orang kuat atau lemah, orang gila atau waras. Juga tak memandang situasi. Ramai atau lengang, sedih atau bahagiakah. Jika seseorang itu punya hati, dan tersentuh ia. Maka deraian air mata itu tak dapat ditahankan"

Begitulah yang aku lihat sekarang. Ayah dan anak itu saling menitikkan air matanya. Saling meminta maaf akan masa lalu nan pedih.

“Nak, Maafkan ayah… yang pernah menyesali kehadiranmu karena engkau perempuan. Maafkan ayah yang sesalkan engkau tak akan bisa berbuat apa-apa. Sangkaan ayah salah ternyata… Nyatanya dirimulah yang harumkan nama keluarga kita. Maafkan ayah, Nak. Maafkan…”

Tutur lelaki itu terhenti dalam isaknya yang tak dapat ditahannya. Gadis itu menggenggam erat tangan ayahnya disertai tangis pula. Haru menyaksikan tragedi itu tak ku tahan juga. Aku hanya bisa menyaksikan kejadian itu. Tak bisa ku hentikan. Sebab itulah masa mereka untuk saling bermaafan.

Aku dan bapakku pun begitu. Bersalaman hendak pinta maaf serta doa dan restu darinya. Ibuku… Sudah lama pergi. Semoga tenang ia di alam sana. Di sorga hendaknya. Aamin.

“Kamu ingat Musa! Perempuan adalah cermin kehidupan. Jangan kau bentak ia kalau ada salahnya. Sesungguhnya dia adalah tegar namun lembut.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun