Mohon tunggu...
muhammad David
muhammad David Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Mata Khanza

21 Mei 2016   21:29 Diperbarui: 21 Mei 2016   23:05 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kanda tahu? Abangku Faruq pernah menghinakan aku saat ia mengawalku. ‘Mengapa kau harus hadir kedunia ini, Khanza? Merepotkan abang-abangmu saja. Karena kau, hilang sudah masaku bersenang-senang dengan kawan-kawanku.’ Begitu katanya.

“Adekku juga mengutuk keberadaanku sebagai perempuan. ‘Coba saja ya, kalau kakak tak lahir ke dunia ini sebagai perempuan. Pasti tak akan ada masa-masa menyebalkan seperti ini. Harusnya kakak bersama keluarga lain.’ Sedih hatiku hingga masa bebasku datang. Sebetulnya, tanpa kawalan mereka pun aku bisa kanda. Ayah saja yang amat mengutuk keberadaanku. Mencemaskanku kalau-kalau terjadi apa-apa. Tak dilihatnya betapa banyak temanku sepertiku. Tapi tak perlu ada pengawalan dan peraturan seketat itu….”

Ia tak tahan mengucurkan tangisnya. Direbahkannya kepalanya ke dadaku. Ia terisak. Oh, tuhan, dengarlah… aku tak niatkan membuatnya menagis mala mini. Aku tak tahu bahwasanya itu yang akan diceritakannya. Aku telah berjanji tak akan membuatnya menangis lagi. Bagaimanakah ini Ya Allah.

“Dinda… Berasabarlah. Semua pasti ada hikmahnya. Engkau dibegitukan bukan berarti ayah tak sayang padamu. Namun sangat sayang. Dia tak inginkan terjadi apa-apa padamu. Beliau inginkan kamu selalu ada dalam kontrolnya.”

“Tapi, kenapa terlalu begitu. Akbiatnya, saudara-saudara dinda tak suka pada dinda.” Dia masih bersitahan di dekapku bertanya.

“Sayang, sebab tak ada orang lain yang dapat mengontrolmu. Tak ada muhrimmu yang lain. Sangat beruntunglah masih ada saudara laki-lakimu yang peduli. Meski berat hatinya melakukan itu. Yang terpenting mereka tak ada niat mencelakakanmu.” Ku elus rambutnya yang terurai panjang hitam legam. Air mata di pipinya mulai mengering dan hilanglah.

“Sebabmu perempuan adalah untuk menyempurnakan martabat lelaki. Kamu lihat ibumu? Bukankah ceritamu kemarin, ayah selalu turutkan beliau karena tuturnya. Adalah perempuan dikaruniakan agar berhati lembut namun tegar, sayang. Perempuan mesti ada dalam sebuah keluarga. Lihat aku yang tak beribu. Bapak titipkan aku kepada bibi Sum dan keluarganya agar dapatlah aku pengertian seorang ibu. Seorang perempuan.”

Malam larut hampir ke pertengahannya. Khanza larut pula dalam kalimat-kalimatku. Hendak tertidur dia dalam dekapanku. Perempuan yang amat kucintai itu berat sekali masa lalu itu baginya. Amat ku mengerti keluarganya. Memang, pada zamannya wanita dipandanglah tak berarti. Tak akan mempunyai kesempatan untuk berikan jasa untuk keluarganya. Ayah dan ibunya. Hanya akan memberatkan.

Namun, ketegaran Khanza melewati hidupnya, menembus pendidikannya setinggi mungkin. Ia mengharumkan nama ayah-ibunya. Keluarganya di kenal hingga seberang. Tersebut nama Khanza, maka ujung-ujung kalimat pasti kedengaran pula nama Sofyan Ma’ruf.

Dialah Khanza, sastrawati muslimah yang menggaet puluhan cerita yang mengubah pola pikir perempuan di zamannya. Tak lagi menjadi Siti Nurbaya yang jodohnya ditetapkan orangtua. Tak lagi pendidikan sebatas hafal kabataku dan menikah kemudian saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun