Edwin (Dion Wiyoko) tak pernah menyangka usaha yang didirikannya akan bangkrut dan mengalami kerugian yang sangat besar. Untuk menutupi semua kerugiannya, Edwin meminta Netta (Adinia Wirasti) untuk meminjam uang kepada keluarganya di Temanggung, Jawa Tengah. Netta awalnya menolak berurusan lagi dengan keluarga ayahnya di kampung. Menurut Netta, ayahnya sudah bersekutu dengan iblis dan itu tak bisa diterima oleh dirinya.Setelah berpikir lama Netta pun mengajak Edwin dan dua anak mereka untuk pergi ke Temanggung. Di sisi lain, Netta ingin bertemu dengan ayahnya yang sudah puluhan tahun tak ia jumpa. Kepada ayahnya itu, Netta ingin menyampaikan pesan mendiang ibunya yang sudah meninggal dunia beberapa tahun sebelumnya.
Ketika tiba di Temanggung, Netta menemukan fakta bahwa ayahnya baru saja meninggal sebelum kedatangannya. Selain itu, teror baru datang kepada Netta. Kampung halamannya kedatangan Lampor, iblis pencabut nyawa yang membawa keranda terbang. Teror tersebut melanda ke semua warga.
Kematian tidak wajar Ayahnya memancing kecurigaan bahwa ia sejatinya dibunuh oleh orang yang mengincar warisannya. Ada sejumlah tersangka. Apakah Esti (Nova Eliza) selaku istri muda Jamal sekaligus keponakan Pak Atmo? Bimo (Dian Sidik) si tukang pukul? Mitha (Steffi Zamora) si puteri angkat Jamal dan Esti? Atau Nining (Annisa Hertami) si pelayan yang senantiasa bersikap baik? Naskahnya mengeksplorasi pertanyaan itu dengan baik, membuat alur bergerak dinamis, sambil sesekali menyelipkan pemanis berupa mitos-mitos mistis seperti awan berbentuk naga hingga kucing hitam sebagai pertanda bencana.
Hal itu pun berimbas ke Netta. Ia dituding warga kampung sebagai pembawa sial. Apalagi, ia mengetahui bahwa alasan ibunya meninggalkan ayah Netta 25 tahun lalu adalah karena pria itu adalah budak setan. Merasa Netta terpojok, Edwin berusaha membela istrinya itu dan percaya akan niat baik perempuan tersebut. Namun perlahan, Edwin mencium ada hal yang belum diungkap Netta soal masa lalunya. Rahasia satu per satu terbuka dan mengguncang keyakinan Edwin, apalagi nyawa mereka semua termasuk dua anaknya ikut terancam.
Tapi memasuki paruh akhir, naskahnya kewalahan sewaktu berusaha menyusun keping-keping kebenaran dan menjelaskan "rules" di balik teror Lampor. Seperti benang kusut. Belum lagi karakternya kerap melakukan tindakan yang pantas dipertanyakan. Contohnya Netta, yang kerap meninggalkan anak-anaknya sendiri, padahal seharusnya ia paling tahu betapa berbahaya hal itu. Beruntung di tengah keruwetan itu, Dion Wiyoko memberi satu lagi performa kuat. Bukan yang terbaik dari sang aktor, tapi cukup untuk menghalangi filmnya dari keruntuhan
KelebihanÂ
Yang dipelajari Netta dalam kisahnya ini adalah bahwa berbohong demi kebaikan pada akhirnya bukanlah solusi yang permanen. Sama seperti warga desa yang hanya meringkuk dalam gelap menunggu Lampor lewat mereka tidak akan pernah membereskan masalah hanya dengan berbohong. Ketenangan yang hadir hanya bersifat sementara, karena ketakutan akan terus datang menghantui. Tidaklah bijak untuk terus bersembunyi dan menganggap semuanya akan baik saja. Kebenaran harus dikonfrontasi, meskipun menyeramkan. Netta malah melihat orang-orang di kampung, mereka yang dahulu ia dan ibunya tinggalkan, tidak seburuk yang ditakutkan ketika cahaya kebenaran menyinari mereka. Cahaya yang masuk berkat keberanian Netta untuk menyeruak kegelapan. Dengan lapisan pada cerita, serta keberanian naskah untuk bercerita dengan runtut tanpa mengandalkan pada flashback dan pengecohan tetap saja kita sama saja dengan berbohong
KekuranganÂ
Poin terlemah Lampor: Keranda Terbang adalah eksekusi terornya. Padahal, bayangkan betapa mengerikan makhluk satu ini. Membawa keranda terbang, berstatus prajurit Nyi Roro Kidul, menculik lalu merenggut nyawa siapa saja yang terlihat dan melihatnya. Potensinya besar, apalagi ditambah CGI memadai walau fakta bahwa Lampor banyak muncul di kegelapan malam cukup membantu. Tapi seperti telah disebutkan, Guntur Soeharjanto belum piawai menangani horor.
Pengadegan Nya sering menghasilkan disorientasi apalagi pada momen-momen yang mengetengahkan kekacauan sarat aksi. Daripada urgency, justru pusing kepala yang didapat. Bukan saja kekurang cakapan sutradara mengatur fokus adegan, serupa banyak produksi Starvision, penyuntingan kasar berujung transisi berantakan lebih sering menghantui ketimbang hantunya sendiri (walau di kasus Lampor: Keranda Terbang saya curiga sutradara memang tidak menyuplai materi yang cukup).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H