Waktu yang terbatas, bakti yang harus dijalankan seorang guru untuk mengajar memutus kebersamaan kami siang itu. Ibu Endah yang sudah semejak awal mendampingi dan menjelaskan prihal sekolah kepada kami undur diri melanjutkan rutinitas mengajarnya. Tanpa mengurangi rasa menghargai, Ibu Endah pergi dan memperbolehkan kami lebih lama apabila masih ingin melihat lingkungan sekolah. Pak Kepala Sekolah yang ingin kami jumpai berhalangan hadir hari itu karena masih ada kegiatan di luar, beliau baru bisa kami temui di hari rabu karena hari selasa kegiatannya sudah selesai. Untuk mengisi waktu maka kami mulai berkeliling melihat, memperhatikan setiap lingkungan sekolah. Musholla, Aula, lapangan dan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh lebat menjadi warna menarik yang mungkin kedepan menjadi tempat sekaligus media belajar yang dapat dimanfaatkan. Tentunya belajar merespon sekitar merupakan cara yang baik dalam meningkatkan literasi dan nomerasi, hanya membuat strateginya saja yang harus dipikirkan lebih lanjut seperti apa.
Sebenarnya ada hal yang menarik dari cara sekolah ini mengajarkan literasi, numerasi dan Pendidikan Pancasila, yakni dengan menggunakan media mural. Hampir semua tembok yang menjadi jarak pandang utama siswa-siswi di dalam lingkungan sekolah terdapat gambar, serta teks-teks yang mengajak menjaga kebersihan, menghargai orang lain, menjaga diri, menjaga lingkungan sekolah dan lain sebagainya.
Dari penuturan Ibu Dama selaku guru Pamong kami di SDN 29 Mataram, memang membuat mural ini merupakan bagian strategi agar siswa-siswi tidak mencoret tembok yang ada di sekolah. Pernah suatu ketika tembok sekolah di cat menggunakan satu warna justru yang terjadi siswa-siswi malah menjadikannya ruang untuk corat-coret yang menyebabkan tembok terlihat sangat kotor. Untuk menjaga kebersihan maka pihak guru dan kepala sekolah bersepakat mengundang seniman yang berasal dari Narmda untuk membuat mural. Selama proses menggambar berlangsung para guru menggunakan dana bos yang didapat untuk menunjang kebutuhan program ini, mulai dari pembelian bahan seperti cat, kuas, dan yang lainnya. Strategi ini cukup berhasil, tadinya anak-anak yang menggunakan pensil, pena untuk mencoret tembok sudah tidak dilakukan lagi bahkan para siswa menjaga gambar yang sudah ada agar tidak kotor.
Dua kelas yang ada di lantai dua terlihat bersih , namun kurang menarik seperti tembok di sebelah kanannya, yang memiliki berbagai macam gambar. Tidak adanya gambar ataupun teks-teks membuat siapa saja yang melihatnya akan bertanya, "Kenapa tembok yang cukup strategis ini tidak dimural? Sementara di samping kanannya penuh dengan gambar-gambar”. Sepintas bagi orang yang baru masuk ke sekolah ini mengira kalau catnya habis, atau senimannya berhalangan, padahal sebenarnya tembok yang kosong itu merupakan bangunan yang baru saja rampung dua tahun belakangan ini. Jadi sewaktu seniman membuat karyanya, dua kelas tersebut belum dibangun.
Cita-cita dan harapan menuju pendidikan yang lebih baik. Mari belajar, ayo berbahagia, ayo bersama menciptakan inovasi dan metode belajar yang kreatif dan inovatif. Salam Merdeka Belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H