Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Petani Milenial: Mungkinkah Pertanian Jadi Profesi Bergengsi?

30 Januari 2025   11:01 Diperbarui: 30 Januari 2025   10:57 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah mulai menyadari pentingnya regenerasi petani dan memberikan berbagai program dukungan, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk petani muda, pelatihan agribisnis, dan digitalisasi pertanian. 

Langkah ini diambil untuk menarik lebih banyak generasi milenial agar terlibat dalam sektor pertanian, yang selama ini didominasi oleh petani berusia lanjut. Selain KUR, pemerintah juga menyediakan berbagai bantuan, seperti subsidi benih, pupuk, serta program pendampingan bagi petani pemula agar mereka lebih siap dalam mengelola usaha pertanian. 

Pelatihan dan penyuluhan agribisnis semakin diperluas, dengan fokus pada penggunaan teknologi modern dan strategi pemasaran digital, sehingga petani muda dapat bersaing di era global. Tak hanya itu, digitalisasi pertanian menjadi salah satu prioritas utama. 

Berbagai platform dan aplikasi pertanian telah dikembangkan untuk membantu petani dalam hal manajemen lahan, pemantauan cuaca, serta akses pasar yang lebih luas. Pemerintah juga bekerja sama dengan berbagai perusahaan teknologi dan startup agritech untuk menciptakan solusi berbasis data guna meningkatkan efisiensi produksi dan distribusi hasil pertanian.

Tantangan yang Masih Dihadapi

Meski prospek pertanian semakin menjanjikan, masih ada beberapa tantangan yang menghambat anak muda untuk terjun ke sektor ini, salah satunya adalah minimnya edukasi pertanian modern. 

Banyak sekolah dan perguruan tinggi masih berfokus pada bidang industri, teknologi, dan keuangan, sementara ilmu pertanian sering dianggap kurang menarik. Kurikulum yang tersedia juga belum sepenuhnya mengajarkan cara bertani dengan metode modern, sehingga banyak anak muda yang masih menganggap pertanian sebagai sektor yang ketinggalan zaman.

Selain itu, modal awal yang cukup besar menjadi kendala utama bagi calon petani muda. Meskipun ada program pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), mendapatkan akses ke modal tetap menjadi tantangan, terutama bagi mereka yang belum memiliki aset atau pengalaman dalam mengelola usaha pertanian. 

Harga tanah yang terus meningkat juga membuat banyak anak muda sulit untuk memiliki lahan sendiri, sehingga bertani sering kali dianggap sebagai bisnis yang membutuhkan investasi besar tanpa jaminan keuntungan yang pasti. Tantangan lainnya adalah stigma negatif terhadap profesi petani yang masih melekat di masyarakat. 

Banyak orang tua yang enggan melihat anak-anak mereka menjadi petani karena menganggap pekerjaan ini tidak memiliki masa depan yang cerah. Profesi petani masih dianggap sebagai pekerjaan kasar dan kurang bergengsi dibandingkan profesi di sektor lain seperti teknologi, keuangan, atau pemerintahan. 

Akibatnya, banyak generasi muda yang lebih memilih bekerja di kota daripada kembali ke desa untuk mengembangkan sektor pertanian. Di sisi lain, perubahan iklim dan ketidakstabilan harga komoditas juga menjadi faktor yang membuat pertanian dianggap sebagai sektor yang penuh risiko. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun