Fenomena sharenting juga sering kali menciptakan tekanan sosial, baik bagi orang tua maupun anak. Di media sosial, banyak orang tua merasa terdorong untuk menunjukkan citra keluarga yang sempurna anak-anak yang selalu bahagia, pencapaian yang membanggakan, hingga momen-momen manis yang diabadikan dengan estetika yang rapi. Hal ini menciptakan standar tidak realistis, baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk orang tua lain yang mungkin merasa harus "menyamai" kesempurnaan tersebut.Â
Tekanan ini juga berdampak pada anak. Ketika setiap momen kehidupan mereka didokumentasikan dan diunggah untuk dilihat banyak orang, anak-anak dapat tumbuh dengan perasaan bahwa mereka harus selalu tampil baik atau memenuhi ekspektasi tertentu. Mereka mungkin merasa bahwa nilai mereka diukur berdasarkan jumlah "likes" atau komentar yang diterima unggahan tentang mereka, meskipun ini bukan sesuatu yang mereka pilih sendiri.
Bahkan, beberapa anak yang tumbuh besar dengan kehidupan yang terus dibagikan di media sosial melaporkan perasaan kehilangan kontrol atas narasi diri mereka. Mereka merasa bahwa orang tua telah menciptakan identitas mereka di mata publik sebelum mereka cukup dewasa untuk memutuskan apa yang ingin mereka bagikan tentang diri mereka.
Selain itu, obsesi terhadap dokumentasi momen "sempurna" sering kali membuat orang tua kehilangan esensi dari momen itu sendiri. Alih-alih benar-benar hadir untuk anak, fokus mereka bisa teralihkan pada mendapatkan foto atau video terbaik untuk diunggah. Dalam jangka panjang, hal ini berisiko merusak hubungan emosional antara orang tua dan anak, yang seharusnya dibangun di atas kehadiran dan perhatian tulus, bukan citra yang ingin ditampilkan ke publik.
Bagaimana Seharusnya Orang Tua Bersikap?
Meskipun sharenting tidak sepenuhnya buruk, penting bagi orang tua untuk melakukannya dengan bijak. Berbagi momen kebahagiaan bersama anak di media sosial adalah hal yang wajar, terutama ketika itu menjadi cara untuk menghubungkan diri dengan keluarga besar atau teman yang jauh. Namun, perlu diingat bahwa setiap unggahan di dunia digital meninggalkan jejak yang sulit dihapus, dan konsekuensinya bisa lebih besar dari yang dibayangkan.
Orang tua perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari apa yang mereka bagikan. Sebelum memposting, tanyakan pada diri sendiri apakah konten tersebut akan tetap relevan dan tidak merugikan anak ketika mereka tumbuh dewasa. Menghindari informasi yang terlalu pribadi, seperti nama lengkap, lokasi spesifik, atau detail yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi anak, adalah langkah awal yang penting untuk melindungi keamanan mereka.
Selain itu, transparansi dengan anak juga menjadi kunci. Jika anak sudah cukup besar untuk memahami, libatkan mereka dalam keputusan untuk membagikan sesuatu tentang mereka. Ini tidak hanya membantu mereka merasa dihargai, tetapi juga mengajarkan pentingnya menjaga privasi sejak dini. Bagi anak-anak yang masih kecil, orang tua harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap konten yang diunggah benar-benar aman dan tidak melanggar hak mereka.
Kesimpulan
Sharenting adalah fenomena yang mencerminkan bagaimana teknologi telah mengubah cara kita mengasuh anak dan berinteraksi dengan dunia. Di satu sisi, media sosial memberikan kesempatan bagi orang tua untuk berbagi kebahagiaan, inspirasi, dan pengalaman dengan orang lain. Namun, di sisi lain, tanpa kesadaran dan pertimbangan yang matang, sharenting dapat membawa konsekuensi serius, mulai dari pelanggaran privasi anak hingga risiko keamanan di dunia maya.
Sebagai orang tua, penting untuk selalu menempatkan kepentingan dan hak anak di atas segalanya, termasuk dalam hal identitas digital mereka. Dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap unggahan, orang tua dapat menciptakan keseimbangan antara berbagi momen kebahagiaan dan menjaga privasi anak. Teknologi seharusnya menjadi alat yang mempererat hubungan keluarga, bukan yang mengorbankan anak demi validasi sosial atau citra yang sempurna.