Dalam kehidupan, tak jarang kita mendengar ungkapan “tidak ada musuh abadi, hanya ada kepentingan abadi.” Ungkapan ini mencerminkan kenyataan bahwa hubungan antarindividu, kelompok, bahkan bangsa, sering kali bersifat dinamis dan bergantung pada situasi yang dihadapi.
Hari ini seseorang mungkin menjadi sekutu yang kita percayai, tetapi besok bisa saja menjadi lawan yang menantang kita. Begitu pula sebaliknya, musuh yang dulu dianggap tak mungkin diajak berdamai tiba-tiba berubah menjadi kawan saat tujuan bersama lebih penting daripada perseteruan.
Fenomena ini tidak terbatas pada ranah politik, meskipun di sana ia terlihat paling kentara. Dalam politik, perubahan aliansi atau koalisi sering kali menjadi sorotan publik, memperlihatkan bagaimana kepentingan mampu memutarbalikkan relasi. Namun, pola yang sama juga terjadi di tempat kerja, dalam hubungan sosial, bahkan di lingkup keluarga. Dalam setiap perubahan tersebut, satu hal menjadi jelas, kepentingan memiliki kekuatan untuk membentuk ulang hubungan, terlepas dari nilai-nilai seperti loyalitas atau kepercayaan.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah perubahan ini sekadar bagian dari realitas hidup yang harus diterima, atau ada sisi gelap yang harus diwaspadai? Lebih jauh, bagaimana kita bisa tetap mempertahankan integritas di tengah dinamika hubungan yang kerap berubah ini?
Kepentingan sebagai Penggerak Relasi
Kepentingan sering kali menjadi motor utama dalam menentukan arah hubungan. Ketika dua pihak memiliki tujuan atau kebutuhan yang selaras, mereka cenderung membangun hubungan yang harmonis, saling mendukung, dan bahkan mengorbankan ego demi mencapai tujuan bersama. Sebaliknya, ketika kepentingan mulai berseberangan, hubungan yang tadinya solid bisa retak, bahkan berubah menjadi konflik terbuka.
Dalam politik, contoh ini terlihat jelas pada perubahan aliansi antara partai atau tokoh. Lawan debat yang dulunya saling melempar kritik tajam bisa menjadi mitra koalisi demi memenangkan pemilu atau membentuk pemerintahan. Di sisi lain, sekutu yang pernah berdiri di panggung yang sama bisa saling menjatuhkan saat ambisi atau kepentingan mereka tidak lagi sejalan.
Namun, pola ini tidak hanya terjadi di politik. Dalam dunia kerja, misalnya, rekan yang tadinya bekerja sama dengan baik bisa menjadi pesaing saat memperebutkan promosi. Di lingkup pertemanan atau keluarga, konflik sering muncul ketika kepentingan pribadi dianggap mengancam harmoni bersama.
Pertanyaannya, apakah perubahan ini selalu buruk? Tidak selalu. Dalam banyak kasus, perubahan relasi yang didorong oleh kepentingan mencerminkan adaptasi terhadap kebutuhan baru. Namun, perubahan ini juga bisa menjadi refleksi dari sifat oportunistik, di mana nilai-nilai seperti loyalitas atau kepercayaan dikesampingkan demi keuntungan sesaat.
Pragmatisme vs. Opportunisme