Di titik ini, perbedaan antara pragmatisme dan opportunisme menjadi relevan. Pragmatisme adalah kemampuan untuk beradaptasi dan mengambil keputusan berdasarkan apa yang paling efektif dalam situasi tertentu, tanpa kehilangan arah moral atau prinsip. Pragmatisme menuntut keseimbangan antara tujuan dan cara mencapainya. Sebagai contoh, seorang pemimpin yang memilih bekerja sama dengan rivalnya demi kepentingan rakyat menunjukkan pragmatisme, asalkan keputusan tersebut tidak melanggar etika atau merugikan pihak lain.
Sebaliknya, opportunisme lebih berfokus pada keuntungan pribadi atau kelompok tertentu tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap nilai-nilai yang lebih besar. Opportunisme sering kali mengorbankan kepercayaan dan hubungan jangka panjang demi manfaat sesaat. Dalam politik, ini terlihat pada tokoh-tokoh yang berpindah kubu tanpa alasan yang jelas selain demi posisi atau kekuasaan.
Perbedaan antara keduanya sering kali tipis dan sulit diukur, terutama bagi orang luar yang hanya melihat dari permukaan. Apa yang tampak sebagai langkah pragmatis bisa dianggap opportunistik oleh pihak lain, tergantung pada sudut pandangnya. Inilah yang membuat dinamika relasi yang dibentuk oleh kepentingan menjadi begitu kompleks.
Namun, yang membedakan pragmatisme dari opportunisme adalah adanya komitmen terhadap nilai-nilai dasar. Seorang pragmatis mungkin mengubah pendekatan atau aliansi, tetapi tetap berpegang pada prinsip moral dan tanggung jawab. Sebaliknya, seorang oportunis cenderung mengabaikan prinsip tersebut demi hasil instan.
Refleksi dalam Kehidupan Sehari-hari
Fenomena ini juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan pribadi, kita sering menemui situasi di mana orang-orang yang dekat dengan kita berubah sikap karena adanya perbedaan kepentingan. Misalnya, seorang teman yang sebelumnya mendukung kita tiba-tiba mengambil jarak karena merasa posisinya terancam, atau sebaliknya, seseorang yang dulu acuh mendadak mendekat saat melihat adanya keuntungan dari hubungan tersebut.
Di tempat kerja, dinamika serupa sering terlihat. Rekan kerja yang tadinya bersikap ramah bisa berubah menjadi pesaing saat ada promosi atau proyek strategis yang diperebutkan. Sebaliknya, kolega yang sebelumnya bersikap dingin mungkin menawarkan kerja sama ketika mengetahui bahwa kita memiliki keterampilan atau sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam keluarga, konflik kepentingan juga dapat muncul, misalnya dalam pembagian warisan, keputusan bisnis keluarga, atau bahkan hal-hal sederhana seperti pembagian tanggung jawab. Hubungan yang seharusnya dilandasi kasih sayang dan saling mendukung kadang kala berubah menjadi medan konflik ketika masing-masing pihak lebih mengutamakan kebutuhan atau keinginannya sendiri.
Semua ini menunjukkan bahwa dinamika hubungan manusia, baik di tingkat pribadi maupun sosial, sering kali ditentukan oleh keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai. Namun, bagaimana kita merespons perubahan ini adalah cerminan dari karakter dan prinsip kita. Apakah kita akan tetap menjaga integritas, atau ikut tergelincir dalam arus opportunisme?
Sebagai kesimpulan, relasi manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun di ranah politik, selalu berada di bawah bayang-bayang kepentingan. Namun, kepentingan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya buruk; ia adalah bagian alami dari kehidupan, penggerak yang memungkinkan manusia mencapai tujuan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kepentingan dikelola apakah tetap berakar pada nilai-nilai moral atau justru menjadi alasan untuk mengkhianati prinsip dan merusak hubungan.
Ketika kita mampu menavigasi hubungan dengan integritas, menghormati orang lain, dan menjaga keseimbangan antara kepentingan dan komitmen terhadap nilai-nilai, perubahan relasi dapat menjadi sesuatu yang produktif. Sebaliknya, jika kita terjebak dalam opportunisme yang egois, kita berisiko kehilangan kepercayaan, penghormatan, bahkan koneksi yang sejati dengan orang lain.