Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Menulis Artikel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Hijrah Digital: Antara Spiritualitas dan Komodifikasi

22 Desember 2024   15:01 Diperbarui: 22 Desember 2024   15:01 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hijrah digital (sumber gambar: hidayatullahsulbar.com)


Dalam beberapa tahun terakhir, istilah "hijrah" tidak lagi hanya merujuk pada perpindahan fisik atau spiritual dalam konteks agama, tetapi juga berkembang menjadi sebuah gerakan sosial yang masif, khususnya di dunia digital. 

Di Indonesia, fenomena hijrah digital menjadi sorotan, terutama di media sosial. Ribuan konten bertemakan hijrah bermunculan, mulai dari ceramah, kajian, hingga produk-produk dengan label "islami". Namun, di balik semangat spiritual yang menjadi inti gerakan ini, muncul pertanyaan, sejauh mana fenomena hijrah digital benar-benar murni, dan kapan ia mulai menjadi bagian dari komodifikasi?

Hijrah Digital dan Transformasi Spiritualitas

Hijrah digital merujuk pada bagaimana individu menggunakan platform online untuk memperkuat identitas keagamaannya. Mereka memanfaatkan media sosial untuk berbagi perjalanan spiritual, berbagi nasihat keagamaan, atau menginspirasi orang lain agar menjalani kehidupan yang lebih religius. 

Dalam bentuknya yang paling murni, hijrah digital adalah ekspresi kesungguhan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sekaligus ajakan kepada orang lain untuk ikut merasakan transformasi serupa.

Platform seperti Instagram dan YouTube dipenuhi dengan konten bertema islami, mulai dari kajian online, kutipan motivasi dari Al-Qur'an dan hadis, hingga vlog tentang perjalanan hijrah seseorang. Hal ini memungkinkan dakwah menjadi lebih mudah diakses oleh berbagai kalangan, termasuk generasi muda yang akrab dengan teknologi. Dalam prosesnya, individu tidak hanya memperkuat keimanan mereka sendiri, tetapi juga membangun komunitas daring yang saling mendukung dalam perjalanan spiritual.

Namun, hijrah digital juga mencakup transformasi identitas di ruang publik. Penampilan fisik, seperti mengenakan hijab syar'i atau busana syariah, sering menjadi simbol visual dari hijrah yang ditampilkan di media sosial. Bagi banyak orang, ini bukan hanya tentang penampilan, tetapi juga cara menyampaikan pesan bahwa hijrah adalah perubahan yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan, baik secara spiritual maupun sosial.

Komodifikasi Hijrah: Gaya Hidup atau Kapitalisme?

Di sisi lain, hijrah digital tidak bisa dilepaskan dari aspek komersialisasi. Dalam dunia yang didominasi algoritma, konten spiritual sering kali dipadukan dengan promosi produk. 

Hal ini terlihat dari maraknya influencer hijrah yang memanfaatkan popularitas mereka untuk memasarkan berbagai produk berlabel islami, seperti pakaian syariah, makanan halal, kosmetik halal, hingga aplikasi ibadah. Dengan menggabungkan elemen spiritual dan komersial, konten hijrah sering kali menjadi alat untuk menarik perhatian audiens sekaligus mendorong konsumsi produk.

Misalnya, unggahan tentang perjalanan spiritual sering diselingi dengan promosi busana muslim tertentu, lengkap dengan tautan pembelian. Atau video kajian agama yang diakhiri dengan endorsement produk gaya hidup islami. Meskipun pada satu sisi ini dapat dianggap sebagai strategi untuk mendukung usaha halal, pada sisi lain hal ini memunculkan kritik. Banyak yang mempertanyakan apakah hijrah digital masih murni sebagai bentuk dakwah atau telah bergeser menjadi ladang bisnis yang mengutamakan keuntungan finansial.

Algoritma platform media sosial juga turut memperparah situasi ini. Konten yang mendapat banyak perhatian cenderung lebih sering muncul di linimasa, mendorong para kreator untuk terus memproduksi konten yang "layak viral." Akibatnya, nilai-nilai hijrah yang semestinya berpusat pada esensi transformasi spiritual sering kali terkalahkan oleh kebutuhan untuk tampil menarik dan relevan di mata pasar.

Komodifikasi ini menciptakan dilema moral bagi banyak pelaku hijrah digital. Di satu sisi, mereka ingin tetap berpegang pada niat awal untuk berdakwah. Namun, di sisi lain, mereka juga menghadapi godaan dan tekanan untuk memonetisasi pengaruh yang mereka miliki. Hal ini tidak hanya memengaruhi kualitas pesan yang disampaikan, tetapi juga mengaburkan batas antara dakwah yang tulus dan strategi pemasaran.

Dampak Positif dan Negatif

Hijrah digital, bagaimanapun, memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, hijrah digital membawa dampak positif yang signifikan. Media sosial telah membuka akses luas terhadap ilmu agama yang sebelumnya sulit dijangkau. 

Kajian online, ceramah pendek, dan konten islami lainnya memungkinkan banyak orang, terutama generasi muda, untuk belajar agama dengan cara yang mudah dipahami dan sesuai dengan gaya hidup mereka. Hijrah digital juga menciptakan ruang komunitas daring yang saling mendukung, di mana individu dapat berbagi pengalaman dan motivasi untuk memperbaiki diri tanpa merasa dihakimi.

Namun, di sisi lain, hijrah digital juga memiliki dampak negatif yang tidak dapat diabaikan. Salah satunya adalah risiko mereduksi nilai agama menjadi sekadar "tren" atau simbol gaya hidup. Ketika spiritualitas dikemas dalam bentuk yang terlalu komersial, esensinya sering kali terkikis, dan fokus bergeser dari perubahan diri yang mendalam menjadi sekadar pencitraan di media sosial.

Selain itu, muncul pula fenomena persaingan dalam dunia hijrah digital. Para kreator konten berlomba-lomba untuk mendapatkan lebih banyak pengikut dan perhatian, yang terkadang mendorong mereka untuk memproduksi konten yang sensasional daripada mendalam. Algoritma media sosial, yang cenderung mendukung konten yang viral, semakin memperburuk situasi ini, sehingga pesan-pesan spiritual sering kali kehilangan substansi.

Fenomena ini juga menimbulkan tekanan sosial bagi sebagian orang. Mereka merasa perlu menunjukkan perjalanan hijrah mereka secara publik agar diakui sebagai bagian dari komunitas. Akibatnya, hijrah tidak lagi menjadi proses personal yang intim, tetapi berubah menjadi ajang pembuktian di dunia maya.

Menemukan Keseimbangan

Untuk menjaga kemurnian fenomena hijrah digital, semua pihak baik individu, komunitas, maupun pelaku industri perlu mengedepankan niat yang tulus dan bertanggung jawab. Individu yang memulai perjalanan hijrah harus menjadikan proses tersebut sebagai momen refleksi dan perubahan diri, bukan sekadar upaya untuk mendapatkan pengakuan di dunia maya. 

Mereka perlu memahami bahwa hijrah adalah perjalanan spiritual yang mendalam, yang tidak semestinya tereduksi menjadi konten yang disukai algoritma atau menarik perhatian publik semata.

Komunitas juga memiliki peran penting. Mereka dapat menjadi tempat berlindung bagi para pelaku hijrah untuk berbagi, belajar, dan berkembang tanpa tekanan sosial yang berlebihan. Komunitas yang sehat akan mengedepankan esensi ajaran agama daripada citra atau penampilan luar. Dengan begitu, mereka dapat membantu anggotanya tetap fokus pada tujuan utama hijrah: memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia.

Bagi pelaku industri, kejujuran dan etika dalam memanfaatkan tren hijrah digital adalah hal yang harus diutamakan. Bisnis yang memasarkan produk atau jasa berbasis nilai islami sebaiknya memastikan bahwa pesan yang disampaikan tidak hanya menarik, tetapi juga mendidik dan memberikan manfaat. Pelaku industri perlu menjauhi eksploitasi agama demi keuntungan semata, karena hal tersebut dapat merusak kepercayaan masyarakat dan mencoreng makna hijrah itu sendiri.

Selain itu, edukasi juga memegang peran penting dalam menjaga kemurnian hijrah digital. Konten kreator dan influencer perlu memahami tanggung jawab moral yang mereka emban. Alih-alih hanya memproduksi konten untuk viral, mereka bisa memilih untuk fokus pada kualitas pesan, memberikan pandangan yang mendalam, dan mengedukasi audiens tentang nilai-nilai agama yang sesungguhnya.

Di tengah derasnya arus modernisasi, hijrah digital menunjukkan bagaimana agama tetap relevan di era teknologi. Ia menjadi bukti bahwa nilai-nilai spiritual dapat disampaikan dengan cara yang kreatif dan adaptif. Namun, penting untuk diingat bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan.

Ketika hijrah berubah menjadi tren komersial, ada risiko nilai-nilai agama menjadi kehilangan makna. Oleh karena itu, setiap pihak yang terlibat dalam fenomena ini baik individu, komunitas, maupun industri perlu kembali pada esensi hijrah itu sendiri, yaitu transformasi diri yang tulus demi memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan sesama.

Fenomena ini membawa peluang besar untuk memperkuat spiritualitas masyarakat, tetapi juga menuntut kebijaksanaan dalam penggunaannya. Dengan menjaga niat yang lurus, mengedepankan nilai-nilai kejujuran, dan fokus pada esensi agama, hijrah digital dapat menjadi gerakan yang membawa manfaat nyata, bukan hanya di dunia maya, tetapi juga di kehidupan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun