"Kesadaran akan kesehatan mental telah menjadi topik yang banyak diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir."
Kampanye-kampanye publik, unggahan di media sosial, hingga pengakuan terbuka dari figur publik telah mendorong diskusi yang sebelumnya jarang terjadi. Di satu sisi, ini merupakan langkah besar dalam mengurangi stigma dan memberikan ruang bagi mereka yang berjuang dengan isu kesehatan mental untuk bersuara.Â
Namun, di sisi lain, perhatian yang diberikan sering kali bersifat dangkal, lebih berorientasi pada tren ketimbang membawa dampak jangka panjang yang berarti.
Kesehatan mental adalah bagian integral dari kesejahteraan manusia. Sama seperti kesehatan fisik, kesehatan mental memengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kesehatan mental terganggu, kemampuan individu untuk menghadapi tekanan, membangun hubungan yang sehat, atau bahkan menjalankan aktivitas dasar pun dapat terhambat. Sayangnya, meskipun dampaknya sangat signifikan, isu ini sering kali diabaikan atau dianggap kurang penting dibandingkan kesehatan fisik.
Hal ini diperburuk oleh stigma yang melekat di masyarakat, yang sering kali menganggap gangguan kesehatan mental sebagai kelemahan atau sesuatu yang memalukan. Banyak orang yang membutuhkan bantuan enggan mencarinya karena takut dihakimi atau dianggap "bermasalah." Padahal, seperti halnya penyakit fisik, gangguan kesehatan mental adalah kondisi medis yang membutuhkan perhatian, pemahaman, dan penanganan yang tepat.
Masalah kesehatan mental membutuhkan pendekatan yang lebih serius daripada sekadar tren atau tagar populer. Ini bukan hanya soal meningkatkan kesadaran atau berbicara tentang pentingnya self-care di media sosial, tetapi tentang menyediakan solusi nyata yang dapat membantu individu yang membutuhkan. Gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau stres pasca-trauma adalah kondisi yang kompleks dan sering kali memerlukan intervensi profesional, dukungan sosial yang kuat, serta akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.
Sayangnya, banyak orang yang tidak mendapatkan bantuan yang mereka perlukan karena berbagai alasan, seperti keterbatasan finansial, kurangnya fasilitas kesehatan mental di daerah mereka, atau ketakutan terhadap stigma. Dalam konteks ini, menjadikan isu kesehatan mental sebagai tren tanpa memberikan tindakan konkret hanya akan memperburuk masalah. Orang-orang yang benar-benar membutuhkan bantuan mungkin merasa terpinggirkan atau bahkan dianggap memanfaatkan tren untuk mendapatkan perhatian.
Untuk itu, penting bagi masyarakat untuk mengambil langkah konkret dalam mendukung kesehatan mental. Kesadaran tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan tindakan nyata yang dapat memberikan dampak langsung bagi individu yang membutuhkan. Langkah pertama yang dapat diambil adalah mengurangi stigma yang selama ini melekat pada gangguan kesehatan mental. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka ruang diskusi yang lebih inklusif, di mana orang dapat berbagi pengalaman tanpa takut dihakimi.
Akses terhadap layanan kesehatan mental harus diperluas dan dipermudah. Banyak daerah di Indonesia yang masih kekurangan fasilitas kesehatan mental, seperti konselor atau psikolog profesional. Pemerintah perlu berinvestasi dalam membangun infrastruktur kesehatan mental, melatih lebih banyak tenaga ahli, dan memastikan biaya layanan terjangkau bagi semua kalangan.
Lebih dari itu, pendidikan tentang kesehatan mental harus diperluas agar masyarakat tidak hanya memahami pentingnya, tetapi juga tahu bagaimana mengenali tanda-tanda gangguan dan membantu orang terdekat yang membutuhkannya. Pemahaman yang mendalam dapat membantu menghilangkan mitos dan kesalahpahaman yang sering kali memperburuk stigma. Misalnya, banyak orang masih menganggap depresi sebagai "kemalasan" atau kecemasan sebagai "sifat pemalu," padahal kondisi ini memiliki dasar medis dan psikologis yang serius.