Cancel culture adalah istilah yang kian populer di era media sosial. Fenomena ini mencerminkan kekuatan kolektif warganet dalam memberi sanksi sosial kepada individu atau kelompok yang dianggap melanggar norma, nilai moral, atau melakukan tindakan yang tidak pantas.Â
Dalam praktiknya, cancel culture seringkali berbentuk seruan untuk memboikot, menghentikan dukungan, atau mengungkapkan kritik secara masif terhadap pihak yang bersangkutan.
Namun, cancel culture bukan tanpa kontroversi. Sementara sebagian orang memandangnya sebagai bentuk akuntabilitas yang efektif, tidak sedikit pula yang menganggapnya sebagai tindakan yang berlebihan dan cenderung merusak.Â
Di tengah derasnya arus informasi dan opini publik di dunia maya, cancel culture kerap memunculkan perdebatan tentang keadilan, kebebasan berekspresi, dan dampaknya terhadap kehidupan sosial maupun psikologis para pihak yang terlibat.
Lantas, apakah cancel culture benar-benar alat perlawanan yang efektif dalam melawan ketidakadilan, atau hanya sekadar drama yang menyulut emosi sesaat?
Cancel Culture: Awal dari Perlawanan Digital
Cancel culture sering kali muncul sebagai respons terhadap isu-isu serius seperti rasisme, seksisme, pelecehan, atau tindakan tidak etis lainnya. Dalam situasi seperti ini, media sosial menjadi medan utama bagi publik untuk menyuarakan ketidaksetujuan mereka.Â
Lewat tagar viral atau unggahan yang tersebar luas, warganet dapat memobilisasi dukungan dengan cepat dan menekan pihak yang dianggap bersalah untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Misalnya, banyak figur publik, selebritas, atau bahkan perusahaan besar yang terkena imbas cancel culture karena pernyataan atau tindakan yang dinilai melukai nilai-nilai kemanusiaan.Â
Seruan boikot terhadap produk atau karya mereka kerap berujung pada kerugian finansial hingga reputasi yang tercoreng. Dalam beberapa kasus, cancel culture menjadi langkah awal yang memicu investigasi lebih lanjut atau reformasi dalam kebijakan yang lebih besar.