"Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan digitalisasi, model kerja yang dikenal dengan istilah ekonomi gig semakin populer di Indonesia."
Ekonomi gig merujuk pada sistem kerja yang berbasis pada proyek atau pekerjaan sementara, yang memungkinkan individu untuk bekerja dengan fleksibilitas tinggi, memilih jam kerja, dan bekerja dari mana saja. Platform digital seperti Gojek, Grab, Tokopedia, dan berbagai aplikasi freelancer lainnya telah membuka peluang bagi jutaan orang untuk bergabung dalam ekosistem ini.
Berkembangnya ekonomi gig memberikan manfaat yang signifikan bagi banyak orang, terutama mereka yang membutuhkan pekerjaan dengan waktu yang lebih fleksibel atau yang ingin bekerja secara mandiri. Namun, di balik fleksibilitas yang ditawarkan, pekerja digital sering kali menghadapi tantangan besar dalam hal perlindungan hukum.Â
Sebagai pekerja lepas yang tidak terikat kontrak jangka panjang dengan perusahaan, banyak dari mereka yang tidak memiliki akses ke hak-hak dasar seperti jaminan kesehatan, asuransi, atau tunjangan lainnya yang seharusnya diperoleh oleh pekerja tetap. Hal ini menempatkan pekerja digital dalam posisi yang lebih rentan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun hukum.
Kesenjangan Perlindungan Hukum bagi Pekerja Digital
Salah satu isu utama dalam ekonomi gig adalah ketidakjelasan status hukum pekerja. Pekerja gig, yang umumnya bekerja sebagai kontraktor independen atau freelancer, sering kali tidak diakui sebagai karyawan tetap oleh perusahaan platform yang mempekerjakan mereka. Hal ini menyebabkan pekerja gig kehilangan hak-hak yang seharusnya mereka terima dalam sistem ketenagakerjaan formal, seperti tunjangan kesehatan, asuransi, cuti, atau jaminan pensiun.
Ketidakjelasan status ini menciptakan celah hukum yang mempersulit pekerja dalam memperjuangkan hak-haknya. Mereka tidak dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan yang mengatur upah minimum, jam kerja, dan perlindungan terhadap PHK sepihak, yang biasanya diterima oleh pekerja tetap. Sebagai akibatnya, pekerja gig sering kali terpaksa menerima kebijakan sepihak dari platform yang dapat mengubah ketentuan atau tarif kerja tanpa melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
Selain itu, ketidakjelasan status hukum juga mempengaruhi kemampuan pekerja untuk mengakses jaminan sosial dan perlindungan di luar pekerjaan mereka. Dalam banyak kasus, pekerja gig tidak dapat mengikuti program jaminan sosial nasional karena mereka dianggap sebagai pekerja mandiri yang tidak terdaftar sebagai karyawan. Hal ini berisiko besar bagi pekerja yang mengalami kecelakaan atau sakit, karena mereka tidak memiliki perlindungan finansial yang cukup untuk menanggung biaya pengobatan atau masa-masa sulit.
Perlindungan Hukum untuk Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja
Pentingnya perlindungan hukum bagi pekerja digital semakin jelas dalam konteks ini. Tanpa adanya perlindungan yang memadai, pekerja digital akan terus menghadapi ketidakpastian dan potensi eksploitasi, baik dalam hal pembayaran, kondisi kerja, maupun keamanan data pribadi. Meskipun ekonomi gig menawarkan kebebasan dan fleksibilitas, tanpa jaminan hukum yang jelas, pekerja sering kali terjebak dalam ketidakadilan yang dapat merugikan kesejahteraan mereka.