Sumpah jabatan merupakan bagian dari tradisi dalam berbagai sistem pemerintahan dan organisasi. Tradisi ini telah ada sejak zaman dahulu dan menjadi simbol komitmen moral dan hukum bagi setiap pejabat yang baru dilantik.Â
Dalam konteks pemerintahan, sumpah jabatan sering kali mengandung janji untuk menjalankan tugas dengan amanah, menjaga integritas, serta mematuhi peraturan dan hukum yang berlaku. Proses ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa pejabat tersebut akan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang diharapkan oleh masyarakat dan negara.
Namun, meskipun sumpah jabatan memiliki makna yang mendalam, dalam praktiknya, tidak jarang kita mendapati bahwa sumpah tersebut dilanggar. Bahkan, dalam beberapa kasus, pejabat yang sudah mengucapkan sumpah jabatan malah terlibat dalam tindak pidana, seperti korupsi atau penyalahgunaan wewenang.Â
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah sumpah jabatan masih relevan sebagai simbol kehormatan, ataukah ia hanya sekadar formalitas belaka yang tidak berdampak pada perilaku pejabat setelah mereka menduduki jabatan tersebut?
Makna Sumpah Jabatan
Pada dasarnya, sumpah jabatan adalah komitmen moral dan hukum yang diucapkan oleh seorang pejabat untuk menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Sumpah ini tidak hanya sekadar bentuk formalitas, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab besar yang diemban oleh pejabat tersebut.Â
Dalam sumpah jabatan, biasanya tercantum janji untuk bertindak dengan integritas, kejujuran, dan mematuhi aturan hukum yang berlaku, serta mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Namun, meskipun sumpah jabatan dirancang untuk menjaga pejabat agar tetap berada pada jalur yang benar, sering kali sumpah ini tampak terabaikan seiring berjalannya waktu. Banyak pejabat yang mengucapkan sumpah tersebut di depan umum pada saat pelantikan, namun kemudian terlibat dalam berbagai skandal atau tindakan yang bertentangan dengan janji yang mereka buat.Â
Sumpah Jabatan Sebagai Simbol Kehormatan
Secara ideal, sumpah jabatan seharusnya menjadi simbol kehormatan yang membedakan pejabat yang berintegritas dengan yang tidak. Sumpah ini seharusnya menjadi tanda komitmen seorang pejabat untuk memegang teguh nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab.Â
Ketika seorang pejabat mengucapkan sumpah jabatan, mereka tidak hanya mengikatkan diri pada tugas dan tanggung jawab yang diberikan, tetapi juga pada nilai moral yang seharusnya menjadi dasar setiap keputusan dan tindakan yang mereka ambil.
Namun, kenyataannya, sumpah jabatan sering kali tidak lebih dari sekadar formalitas belaka. Ketika seorang pejabat terlibat dalam tindakan yang tidak sesuai dengan sumpah yang telah diucapkan seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau pengabaian terhadap kepentingan publik maka sumpah tersebut kehilangan maknanya sebagai simbol kehormatan. Alih-alih menjadi landasan moral yang mengarahkan tindakan mereka, sumpah jabatan justru dianggap sebagai bagian dari prosedur administratif yang hanya dilalui tanpa ada pengaruh nyata terhadap perilaku sehari-hari mereka.
Sumpah Jabatan Sebagai Formalitas
Di sisi lain, banyak yang beranggapan bahwa sumpah jabatan hanyalah formalitas yang tidak memberi dampak nyata terhadap kinerja atau perilaku pejabat. Dalam pandangan ini, sumpah jabatan dianggap hanya sebagai seremonial yang dilakukan di awal masa jabatan, tanpa ada mekanisme yang memastikan bahwa pejabat benar-benar melaksanakan janji-janji yang terkandung dalam sumpah tersebut. Setelah pelantikan, sebagian besar pejabat cenderung lebih fokus pada kepentingan politik atau pribadi mereka, bukannya pada komitmen moral yang telah mereka ucapkan.
Selain itu, banyak yang berpendapat bahwa sistem pengawasan yang ada masih sangat lemah, sehingga memungkinkan pejabat untuk melanggar sumpah jabatan tanpa konsekuensi yang berarti. Dalam beberapa kasus, meskipun ada pelanggaran serius terhadap sumpah jabatan, pejabat tersebut tidak mendapatkan sanksi yang sebanding dengan pelanggarannya. Hal ini memberi kesan bahwa sumpah jabatan tidak lebih dari sekadar sebuah ritual tanpa pengaruh langsung terhadap perilaku pejabat.
Masyarakat pun semakin skeptis terhadap sumpah jabatan karena melihat bahwa banyak pejabat yang tidak berkomitmen untuk menjalankan tugas dengan penuh integritas. Kasus korupsi yang terus berulang, penyalahgunaan wewenang, dan ketidakadilan yang terjadi dalam pemerintahan menjadi bukti nyata bahwa sumpah jabatan sering kali tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.Â
Mengapa Sumpah Jabatan Sering Dilanggar?
Salah satu alasan utama mengapa sumpah jabatan sering kali dilanggar adalah adanya celah dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum. Tanpa adanya mekanisme yang efektif untuk memantau dan menilai kinerja pejabat secara objektif, sumpah jabatan menjadi mudah untuk diabaikan. Celah ini memungkinkan pejabat untuk bertindak di luar batas kewenangannya, tanpa takut mendapatkan sanksi yang serius.Â
Meskipun terdapat aturan yang mengikat secara hukum, pelanggaran terhadap sumpah jabatan sering kali tidak berujung pada tindakan yang tegas, baik karena lemahnya sistem hukum maupun karena adanya pengaruh politik yang menghambat proses penegakan hukum.
Selain itu, ketergantungan pada sistem pengawasan internal yang rentan terhadap konflik kepentingan turut memperburuk situasi. Dalam banyak kasus, lembaga pengawas yang seharusnya bertindak sebagai penjaga integritas pejabat sering kali dipengaruhi oleh hubungan politik atau kekuasaan.Â
Hal ini menciptakan lingkungan di mana pejabat merasa bebas untuk melakukan pelanggaran tanpa rasa takut, karena mereka tahu bahwa tidak akan ada konsekuensi yang berat bagi mereka.
Celah dalam sistem pengawasan ini juga diperburuk oleh budaya impunitas yang berkembang di banyak institusi pemerintahan. Budaya ini memperbolehkan pejabat untuk melanggar sumpah jabatan dan peraturan yang ada, dengan keyakinan bahwa mereka akan terlindungi oleh kekuasaan atau posisi mereka.Â
Meningkatkan Efektivitas Sumpah Jabatan
Agar sumpah jabatan tidak hanya menjadi simbol kosong, perlu ada upaya untuk memperkuat sistem pengawasan dan penegakan hukum. Pengawasan yang efektif dapat memastikan bahwa setiap pejabat menjalankan tugasnya sesuai dengan sumpah yang telah diucapkan dan bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil.Â
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memperkuat peran lembaga pengawas yang independen, seperti komisi anti-korupsi, ombudsman, atau badan pemeriksa keuangan, yang memiliki wewenang penuh untuk memeriksa dan menindak pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat publik.
Selain itu, sistem pelaporan yang transparan dan aman juga perlu diperkenalkan agar masyarakat dan aparat internal dapat melaporkan pelanggaran terhadap sumpah jabatan dengan keyakinan bahwa tindakan mereka tidak akan dibalas dengan ancaman atau intimidasi. Penguatan sistem pengawasan ini juga memerlukan penggunaan teknologi informasi yang memungkinkan proses pelaporan dan pemantauan dilakukan secara lebih efisien dan akurat.
Namun, pengawasan saja tidak cukup. Penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu juga harus menjadi bagian dari upaya ini. Setiap pelanggaran terhadap sumpah jabatan, terutama yang melibatkan penyalahgunaan wewenang atau korupsi, harus diberi sanksi yang sesuai. Proses hukum yang cepat dan transparan, di mana pelaku pelanggaran tidak dilindungi oleh kekuasaan atau kedudukan, akan memberikan sinyal yang jelas bahwa sumpah jabatan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan tanpa konsekuensi.
Sumpah jabatan seharusnya menjadi simbol kehormatan dan integritas yang dipegang teguh oleh setiap pejabat. Tapi, kenyataannya banyak pejabat yang melanggarnya setelah menduduki jabatan, menunjukkan bahwa sumpah tersebut sering kali hanya menjadi formalitas belaka. Tanpa adanya sistem pengawasan yang efektif dan penegakan hukum yang tegas, sumpah jabatan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sebagai pengingat moral dan etika. Sebaliknya, pelanggaran terhadap sumpah jabatan terus terjadi, menggerus kepercayaan publik terhadap integritas pejabat dan institusi pemerintahan.
Untuk mengembalikan sumpah jabatan pada posisi yang semestinya, perlu ada perbaikan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum. Lembaga pengawasan yang independen, sistem pelaporan yang transparan, serta sanksi yang tegas bagi pelanggar, menjadi langkah-langkah penting untuk memastikan bahwa sumpah jabatan bukan hanya diucapkan sebagai formalitas, tetapi dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, pembentukan budaya integritas dalam pemerintahan melalui pendidikan etika dan tanggung jawab juga akan memperkuat komitmen pejabat untuk memegang teguh sumpah jabatan mereka.
Dengan demikian, agar sumpah jabatan dapat kembali menjadi simbol yang berarti, seluruh elemen dalam sistem pemerintahan harus bekerja bersama untuk memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Hanya dengan cara ini, sumpah jabatan dapat dihidupkan kembali sebagai landasan moral dan etika yang mengarahkan pejabat untuk selalu bertindak demi kepentingan publik dan bukan untuk kepentingan pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H