Mohon tunggu...
Muhammad Daffa Khaerulloh
Muhammad Daffa Khaerulloh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif

Perkenalkan nama saya Muhammad Daffa Khaerulloh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peminat Novel Beralih ke Digital, Apakah Literasi Indonesia Bertahan?

6 Januari 2025   22:41 Diperbarui: 6 Januari 2025   22:53 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Aplikasi Baca Novel (Sumber : https://www.freepik.com/ )

Perlahan namun pasti, gerai buku cetak di Indonesia mulai kehilangan eksistensinya. Satu demi satu toko buku ternama menutup operasionalnya, menyisakan pertanyaan besar: ke mana para pembaca setia novel? Fenomena ini menandai transformasi budaya membaca masyarakat, di mana digitalisasi memegang kendali penuh atas perubahan pola konsumsi literasi. Namun, apakah pergeseran ini benar-benar membawa harapan bagi literasi di Indonesia, atau justru memperdalam jurang krisisnya?

Tenggelamnya Gerai Buku Cetak

Gerai buku cetak seperti Gunung Agung, yang dulunya menjadi ikon dunia literasi, kini hanya tinggal kenangan. Menurut artikel yang diunggah Media Indonesia, berbagai toko buku besar seperti Toko Buku Gunung Agung dan sejumlah toko buku lokal lainnya terpaksa gulung tikar karena rendahnya minat beli masyarakat. Penyebabnya kompleks, seperti perubahan kebiasaan membaca, naiknya harga bahan baku kertas, hingga maraknya pembajakan buku.

Bahkan, penerbit indie yang biasanya menyasar ceruk pasar pembaca setia pun ikut terdampak. Sebuah laporan di situs Nahdlatul Ulama mengungkapkan bahwa banyak penerbit kecil kesulitan bertahan di tengah menurunnya permintaan pasar dan tingginya biaya distribusi. Hal ini menunjukkan betapa besar tantangan yang dihadapi industri buku cetak di Indonesia.

Di sisi lain, ketika toko buku tutup satu per satu, platform digital justru berkembang pesat. Aplikasi seperti Wattpad, Storial, Novelme, Fizzo, hingga Innovel memberikan ruang bagi penulis untuk mempublikasikan karya mereka secara instan dan tanpa biaya tinggi. Menurut laporan Kumparan, penulis novel digital kini dianggap sebagai profesi menjanjikan karena mereka dapat menghasilkan pendapatan rutin melalui skema royalti dan sistem monetisasi, meskipun pada bulan-bulan awalnya royalti yang diterima relatif rendah.

Perkembangan ini juga mendorong lahirnya generasi penulis baru yang lebih berani bereksperimen dengan gaya penulisan. Selain itu, platform digital membuat sastra lebih inklusif dengan memberikan akses kepada pembaca dari berbagai kalangan dan lokasi. Fenomena ini tak hanya merombak lanskap penerbitan, tetapi juga memunculkan tren baru di mana cerita-cerita ringan dan populer lebih diminati dibandingkan karya sastra klasik.

Minat Baca: Menurun atau Berubah?

Ilustrasi Membaca Novel ( Sumber : https://www.freepik.com/ )
Ilustrasi Membaca Novel ( Sumber : https://www.freepik.com/ )

Salah satu isu yang kerap dibahas adalah rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. UNESCO pernah mencatat bahwa indeks membaca di Indonesia hanya 0,001, yang berarti hanya satu dari seribu orang yang gemar membaca. Meskipun data ini kerap diperdebatkan, kenyataan di lapangan memang menunjukkan tren serupa. Generasi Z, misalnya, lebih sering meluangkan waktu di media sosial dibandingkan membuka buku cetak.

Namun, apakah hal ini berarti literasi benar-benar menurun? Beberapa pakar berpendapat bahwa minat baca bukan hilang, tetapi berubah format. Buku fisik mungkin kehilangan daya tariknya, tetapi novel digital, artikel blog, dan cerita berseri online justru mendapat perhatian lebih besar. Menurut Liputan6, transformasi ini memperlihatkan bahwa literasi sebenarnya masih hidup, hanya saja hadir dalam wujud yang berbeda, kendati untuk minat literasinya memang benar menurun.

Meski menawarkan banyak keuntungan, literasi digital juga memiliki tantangan tersendiri. Pembajakan karya masih menjadi isu besar, di mana banyak penulis kehilangan pendapatan karena cerita mereka disalin tanpa izin. Selain itu, kualitas konten digital juga menjadi sorotan. Cerita-cerita di platform digital kerap dinilai terlalu ringan dan tidak memberikan manfaat edukatif yang cukup.

Di sisi lain, teknologi juga dapat menjadi penghalang bagi masyarakat di daerah terpencil yang minim akses internet. Sebuah laporan dari Kumparan menunjukkan bahwa ketimpangan akses digital masih menjadi masalah utama di Indonesia. Oleh karena itu, meskipun novel digital semakin populer, aksesibilitasnya masih perlu diperluas agar benar-benar inklusif.

Akankah Literasi Bertahan?

Peralihan dari buku cetak ke digital adalah tanda zaman yang tidak bisa dihindari. Namun, pertanyaan besarnya adalah: apakah transformasi ini cukup untuk mempertahankan literasi?

Seperti buku Millenials Kill Everything yang ditulisnya pada 2019, salah satu yang dibunuh generasi milenial adalah toko buku. Dia menyebut toko buku yang ada sekarang biasanya menjual buku tidak sesuai preferensi generasi milenial dan generasi Z. “Mereka readership-nya bergeser,” ujar Yuswohasi saat dihubungi Hypeabis.id, Senin (22/5/2023).

Kebiasaan berbelanja buku pun sudah berubah. Dikenal dengan generasi mager, Milenial dan Gen Z juga mengandalkan kepraktisan dalam hal mendapatkan sesuatu yang ingin dibeli, termasuk buku. Mereka kini membeli buku secara online untuk mendapatkannya secara fisik atau membaca buku digital.

“Ini ditambahkan banyak toko buku semakin enggak lengkap karena diisi produk bukan buku. Toko buku terancam dari berbagai arah,” tegasnya.

Yuswohadi, seorang Konsultan Bisnis dari Managing Patner Inventuretren, jadi menurutnya toko buku di masa depan mungkin akan lebih bersifat niche, dengan fokus pada kolektor dan buku-buku khusus, Sementara itu, platform digital perlu terus berinovasi untuk menyediakan konten yang lebih berkualitas dan mendidik.

Kesadaran kolektif juga perlu ditingkatkan, terutama di kalangan generasi muda. Pemerintah, sekolah, dan komunitas literasi harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem membaca yang sehat, baik secara offline maupun online. Melalui pendekatan yang tepat, literasi di Indonesia bukan hanya bisa bertahan, tetapi juga berkembang.

Di tengah badai perubahan ini, masa depan literasi Indonesia masih menjadi tanda tanya. Apakah kita akan melihat generasi pembaca yang lebih cerdas dan adaptif, atau justru menyaksikan literasi semakin tergerus oleh hiburan instan? Jawabannya ada di tangan kita semua sebagai pembaca, penulis, maupun pelaku industri.

Satu hal yang pasti, transisi dari buku cetak ke digital bukan akhir dari segalanya. Sebaliknya, ini merupakan peluang untuk memperbarui cara kita berinteraksi dengan literasi dan memastikan bahwa membaca tetap menjadi bagian penting dari kehidupan kita. Karena pada akhirnya, membaca bukan hanya soal menikmati cerita, tetapi juga tentang memahami dunia.

Penulis: Muhammad Daffa Khaerulloh/312410016 (Mahasiswa TI, Univ. Pelita Bangsa)

Daftar Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun