Mohon tunggu...
Chaeroel Ansar
Chaeroel Ansar Mohon Tunggu... -

Belajar untuk Negeri!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ajaran dari China untuk Para Calon Negarawan (Konfusianisme)

20 September 2014   04:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:10 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajaran dari China untuk para Calon Negarawan (Konfusianisme)

Pemikiran tentang negara tidak akan lepas dari pemikiran para filsuf China Kuno, pada kesempatan ini penulis akan menggambarkan betapa menakjubkannya ajaran Konfucu dari China untuk mereka yang mengaku Negarawan, yaitu dikenal dengan Konfusianisme.

Ajaran Konfusianisme ini diperkenalkan oleh filsuf China yang bernama K’ung Fu Tzu (Konfucu) yang didapatkannya bukan secara tiba-tiba atau bahkan di dapat dari langit. Sekitar 50 tahun sebelum ia lahir, di daratan China telah lahir seorang bijaksana lain, Dialah Lao-Tzu yang memiliki banyak kemiripan dengan ajaran Konfusianisme. Konfusianisme ini tidak mengajarkan suatu konsep ataupun etika akan tetapi ajaran ini mengajarkan mengenai Pendidikan, karena menurut tokohnya (Konfucu) pendidikan merupakan cara efektif untuk mengajarkan suatu moral.

Ada dua pokok utama dalam ajaran ini, yaitu Jen dan I. dijelaskan bahwa Jen ialah cinta kasih kepada umat manusia dan I ialah apa yang sepantasnya. Kemudian dalam bahasa modern, penulis berpendapat bahwa Jen dan I ialah kewajiban manusia terhadap manusia lainnya.

Konfucu dikenal dengan sebutan Maha Guru, suatu ketika seorang murid bertanya kepadanya bahwa Guru, hidup sesudah mati itu sebenarnya bagaimana? Konfucu menjawab dengan penuh kebijaksanaan bahwa Kita ini belum benar-benar memahami soal kehidupan, bagaimana bisa kita memahami soal kematian?

Bila ajaran sang Maha Guru disimpulkan akan ada larangan yang mendasar yaitu pertama, ia tak bersedia melihat segala sesuatu sebagai yang benar satu-satunya; kedua, ia pantang bersikap keras kepala; dan sikap memetingkan diri sendiri adalah pantangan terakhir. Maka, Konfucu diceritakan tidak sekalipun pernah mengutuk siapapun sebagai orang jahat. Suatu ketika seorang menteri kerajaan bertanya tentang cara mengatasi pencuri yang merajalela. “Bila kamu bebas dari rasa ingin memiliki, mereka tak akan mencuri, sekalipun engkau bayar mereka untuk perbuatan itu.” Jawabnya.

Ada cerita yang lebih menarik penulis, suatu hari seorang pejabat negara bertanya kepada sang Maha Guru (Konfucu), “rumusan apa yang bisa dipegang oleh seorang pejabat hingga pemerintahannya bisa selamat?” “tak ada rumusan seperti itu, tapi yang mendekati yang engkau minta memang ada yaitu bahwa memang sulit menjadi pangeran atau menteri. Para pejabat yang menyadari makna ‘memang sulit menjadi pangeran’ itu akan memerintah berbekalkan rumusan yang benar.” Jawabnya.

“Kalau begitu, adakah rumusan yang mengakibatkan negara ambruk?” tanya pejabat itu lebih lanjut. “Sama saja, tak ada rumusan seperti itu. Yang mendekati memang ada yaitu kata orang, tak ada yang lebih menyenangkan seorang pangeran bila apa pun yang dikatakannya tak ditentang, baik oleh menteri maupun rakyatnya.” Lalu Konfucu melanjutkan, bila saja memang pangeran itu sedikit benar, tak jadi soal. Akan tetapi, bila pangeran itu keliru, dan tak akan ada yang berani meluruskannya, itulah sumber kejatuhan negeri.

Akhirnya, tanya seorang pejabat yang lain, “Bagaimana sebenarnya seni memerintah itu?” “Memerintah adalah jalan lurus” Jawabnya. “Bila pemerintahan berjalan lurus, siapakah yang berani mengambil jalan bengkok?

Konon, Maha Guru ini di dusunnya sehari-hari tampak sangat sederhan dan naïf. Ia seperti tak percaya dirinya bisa mengajarkan sesuatu. Namun, bila ia diundang ke istana-istana atau ke kelenteng-kelenteng, Konfucu menjadi fasih. Bahkan orang mencatat, ia berbicara lemah lembut dan ramah kepada pejabat-pejabat rendahan. Namun, berbicara kepada pejabat tinggi, sikapnya jadi formal, bicaranya sangat hati-hati.

Bagaimana bisa dilupakan ajaran tentang bagaimana seseorang harus bersikap terhadap kekayaan dan pangkat, kemiskinan dan kejelataan seperti ini? “Kekayaan dan pangkat memang diinginkan setiap orang. Tapi, bila itu hanya membawa pemiliknya menuju kesengsaraan, lebih baik ditinggalkan saja. Kemiskinan dan kejelataan adalah hal-hal yang harus dijauhi. Namun, apabila itu tak membawa ke jalan yang rusak, terimalah.”

Semoga dengan uraian cerita sederhana di atas dapat bermanfaat bagi kita semua, penulis secara terus terang menganggap Indonesia belum kaya Pemimpin yang juga sebagai Guru.

Terima kasih

Salam Kompasiana, Salam Perjuangan!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun