Ketegangan di Semenanjung Korea bukanlah hal baru, tetapi akhir-akhir ini situasinya semakin memburuk. Eskalasi militer yang melibatkan Korea Utara dan negara-negara tetangganya, termasuk Korea Selatan dan Jepang, telah menimbulkan kekhawatiran serius akan potensi konflik besar di kawasan ini.Â
Dalam beberapa bulan terakhir, serangkaian uji coba rudal nuklir oleh Korea Utara memicu respons keras dan meningkatkan tekanan diplomatik dari berbagai pihak. Terbaru, pada 19 Januari 2024, Korea Utara menyatakan telah menguji sistem senjata nuklir bawah air sebagai tanggapan atas latihan angkatan laut gabungan antara Amerika Serikat (AS), Korea Selatan, dan Jepang. Uji coba ini menggunakan senjata "Haeil-5-23," drone serangan nuklir bawah air yang diklaim mampu memicu "tsunami radioaktif," meskipun klaim tersebut masih diragukan oleh sejumlah analis.
Di sisi lain, Korea Selatan, Jepang, dan AS merespons dengan latihan angkatan laut bersama di perairan selatan Pulau Jeju, melibatkan sembilan kapal perang, termasuk kapal induk USS Carl Vinson. Latihan ini dianggap Korea Utara sebagai ancaman serius bagi keamanan nasional mereka, sehingga meningkatkan postur perlawanan berbasis nuklir bawah air.Â
Korea Utara juga mengancam akan mengambil berbagai tindakan responsif maritim dan bawah air untuk menghalangi manuver militer AS dan sekutunya. Hubungan kedua Korea yang telah lama tegang kini memburuk, dengan kedua belah pihak membatalkan perjanjian-perjanjian penting yang sebelumnya bertujuan mengurangi ketegangan.Â
Di tengah eskalasi ini, muncul kekhawatiran yang lebih luas mengenai dampaknya terhadap keamanan global dan regional, termasuk bagi keselamatan ribuan warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal dan bekerja di Semenanjung Korea. Dalam konteks ini, ketegangan di Semenanjung Korea semakin memanas dengan adanya uji coba senjata nuklir oleh Korea Utara dan latihan militer oleh Korea Selatan dan sekutunya. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai keselamatan ribuan warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di kawasan tersebut.Â
Data Agregat WNI yang Tercatat di Perwakilan RI menunjukkan bahwa terdapat 34.232 WNI di Semenanjung Korea, dengan 27 orang di Korea Utara dan 34.205 orang di Korea Selatan, sehingga sangat rentan terhadap dampak ketegangan yang meningkat. Ketidakpastian situasi ini menempatkan pemerintah Indonesia dalam posisi yang menantang, terutama dalam hal perlindungan WNI di tengah potensi konflik bersenjata yang bisa terjadi kapan saja.
Secara global, meningkatnya ketegangan nuklir akibat dinamika geopolitik dan kemajuan teknologi telah menimbulkan ancaman serius dari penyalahgunaan senjata nuklir oleh aktor non-negara. Dalam konteks ini, pertemuan International Conference on Nuclear Security (ICONS 2024) yang berlangsung di Wina, Austria pada 20-24 Mei 2024, menegaskan bahwa tanggung jawab utama keamanan nuklir ada di masing-masing negara. Indonesia menggarisbawahi pentingnya komitmen terhadap perlucutan senjata nuklir, penguatan peraturan, dan kerja sama internasional untuk memperkuat keamanan nuklir. Indonesia juga menegaskan bahwa keamanan nuklir dan kemajuan perlucutan senjata harus berjalan bersamaan dalam mencapai tujuan dunia yang bebas dari senjata nuklir, tanpa menghalangi hak setiap negara untuk memanfaatkan teknologi nuklir untuk tujuan damai.
Dalam menghadapi situasi ini, pemerintah Indonesia perlu mengadopsi beberapa langkah strategis untuk memastikan perlindungan WNI di Semenanjung Korea. Pertama, pemerintah harus meningkatkan pemantauan terus-menerus terhadap situasi keamanan di kawasan tersebut.
Pemantauan ini melibatkan pengumpulan dan analisis informasi yang relevan dari berbagai sumber, termasuk intelijen dan laporan dari perwakilan diplomatik di Korea Selatan dan Korea Utara. Dengan pemahaman yang mendalam tentang perkembangan situasi, pemerintah dapat mengambil tindakan preventif dan responsif yang lebih tepat.Â
Kedua, penyediaan jalur komunikasi darurat sangat penting untuk memastikan bahwa WNI yang berada di Korea Utara dan Korea Selatan dapat segera mendapatkan bantuan dan informasi yang diperlukan jika terjadi krisis. Pemerintah perlu memperkuat sistem komunikasi ini dengan mendirikan pusat kendali krisis yang dapat diakses 24 jam, baik melalui telepon darurat, aplikasi pesan instan yang aman, maupun media sosial. Pusat ini harus mampu memberikan informasi terkini, instruksi evakuasi, dan dukungan konsuler yang cepat kepada WNI.Â