Sistem adalah fokus perhatian seorang pengamat. Ada sistem, ada lingkungan, kalau di dunia termodinamika. Jika diketahui kalor mengalir dari sistem ke lingkungan, berarti kalor internal dan juga suhu sistem menurun. *sedikit nostalgia pelajaran fisika SMA jurusan IPA kelas 2 semester 2*
Sistem juga berarti sebuah kepaduan yang telah terbentuk. Sistem adalah sesuatu yang sudah jadi, ada, dan dipakai. Misalnya, sistem pendidikan, sistem pencalonan anggota legislatif, pencalonan pasangan calon ketua dan wakil ketua BEM, sistem kaderisasi, dan sebagainya. Dalam sistem terdapat aturan. Dalam aturan, tidak selalu terdapat reward, tapi pasti ada sanksi.
"Di luar sistem" bisa diartikan tidak berada atau menolak untuk "berada" di dalam sistem. Berada di dalam sistem, berarti mengikuti aturan main dalam sistem. Berada di luar sistem, berarti siap-siap tidak "dianggap" oleh sistem. Berada di dalam sistem, berarti siap didukung dan juga ditekan sistem. Berada di luar sistem, berarti bebas, berjuang (sendiri) tanpa sekat.
Dalam sebuah hegemoni *izinkan saya menggunakan kosakata ini*, di mana sebuah kelompok berterusan menjadi pemimpin di sebuah negara, daerah, kampus, atau organisasi, berlangsunglah sebuah sistem yang sulit dituding salah atau tidak optimal. Keberlangsungan kepemimpinan yang lama telah menggeser sebuah tingkat pemakluman atas performa sang pemimpin. Apatah lagi, pemimpin ini banyak pendukungnya dan terlihat bekerja.
Lihatlah kepemimpinan Soeharto… Saya rasa di era 80an, mayoritas rakyat Indonesia menikmati program pemerintah seperti swasembada beras. Jutaan PNS dan ABRI hidup makmur. Orang-orang tua buru-buru menyekolahkan anak meraka agar menjadi amtenaar atau tentara, biar ada kepastian finansial. Tidak heran jika pemeo “isih enakeun jamanku toh?” masih bisa ditertawakan. Di sisi lain, kita tidak tahu betapa “tidak efisien”nya perangkat kepemimpinan Soeharto. Baru setelah kita keluar dari kepemimpinan utopis itu, kita bisa melihat masih banyak kurangnya Soeharto and the gang di masa lalu.
Mengambil pelajaran dari kisah Zaman Soeharto tadi, saya berharap, orang-orang yang berada di luar sistem—dalam hal ini kampus—bisa berjuang mengeluarkan teman-temannya dari hegemoni yang pasti akan terus lestari bila tidak disaingi.
Mari, kita keluarkan diri kita dan kawan-kawan kita dari hegemoni yang ada. Tarik mundur dirimu selangkah untuk melihat lebih arif. Pemecahan rantai hegemoni harus dimulai, karena kita semua ingin keoptimalan yang riil, bukan yang relatif.
Salah satu kekurangan sistem yang langgeng adalah keterbatasan domain orang yang bisa dilibatkan. Dalam sistem ini, maka ada aturan kaderisasi. Cuma orang “lama” yang boleh berkuasa, melanjutkan cita-cita kelompok the incumbent. Padahal cita-cita mereka belum tentu (masih) sama dengan semua. Jika diibaratkan sebuah partai incumbent, cuma kader yang boleh maju jadi perwakilan. Sedangkan, orang-orang luar yang (lebih) baik sulit untuk maju karena sistem menghalangi mereka. Sistem yang established sudah menanamkan pagar yang tidak bisa dilewati orang luar. Dan hal yang terburuk saat keadaan tidak menawarkan pilihan kedua, kritisi cederung mati.
Warga dan rakyat harus diberikan pilihan kedua dan ketiga. Kalau cuma ada satu pilihan, berarti yang akan ada hanya golongan pro atau yang kontra (apatis). Ini kelemahan sistem calon tunggal. Katakanlah calon A menang dengan 55 persen suara, melewati syarat kemenangan. Tapi, ada indikasi 45% yang lain menolak dan tidak siap berpartisipasi. Makin banyak yang apatis. Jangan senang jika menang pas-pasan! Maka dari itu, teman-teman yang ada di luar sistem—karena menolak masuk atau ditolak—harus menawarkan PILIHAN KEDUA. Terutama buat kalian yang peduli, yang merasa tidak puas dengan kinerja “sistem”. Ketidakpuasan harus dilawan, karena kita hidup cuma satu kali.
Apa kita mau menceritakan kepasrahan kita pada keadaan ke anak-cucu kita nanti? Dimana semangat juang yang digadang-gadang saat ospeg? Dimana semangat juang yang kita telan bulat-bulat di rumah-rumah kita dulu?
Pada akhirnya cuma orang waras DAN peduli DAN sudah selesai dengan dirinya yang punya waktu untuk hal sekunder ini: kemaslahatan bersama. Tugas mendobrak hegemoni ini harus dimulai sekarang, tapi secara bijak. Apatah lagi kita yang sudah tahu koreng sistem yang ada… Semua yang kita tahu akan diminta pertanggungjawabannya.
Menolak hegemoni dengan bijak maksudnya pandai-pandai memosisikan diri. Sistem punya aturan. Sistem juga punya waktu untuk dievaluasi: sekali setahun jika di kampus dan lima kali setahun untuk Pemilu. Ada saatnya, kita, orang-orang luar, berhimpun untuk menjadi oposisi. Ada saatnya, kita, orang-orang luar, berhimpun untuk menjadi tandingan di pemilihan raya.
Sebelum masa pemilihan, jadilah oposisi yang cerdas dimana kritisi kita SELALU berdasarkan data dan perbandingan yang valid. Sentil “sistem” dengan wacana, diskusi publik, dan gerakan alternatif. Bikin mereka gusar. Mereka harus tahu, bahwa sistem mereka masih banyak lobangnya.
Saat masa pemilihan, inilah saat adu gagasan. Massa “partai” alternatif, boleh jadi belum besar. Tapi, di zaman ini, loyalitas bisa dikalahkan dengan akal sehat. Ini jamannya jualan ide, Bung! Siapkan amunisi untuk berperang di ruang publik. Cari simpati dengan cantik! Bagaimanapun, bila “sistem lama” membuka diri, tidak salahnya dipertimbangkan untuk masuk. Mulailah dengan audiensi. Karena koalisi bukan berarti kompromi.
Jika pada akhirnya “partai” kita kalah dukungan. Terimalah. Coba lagi tahun depan, atau lima tahun lagi. Berarti kita punya waktu untuk mematangkan persiapan, amunisi, dan penerus cita-cita kita… orang di luar sistem.
Sekali lagi, jika terbuka kesempatan masuk sistem, maka pertimbangkanlah… Boleh jadi dalam tawaran tersebut ada kesamaan visi dan keinginan orang sistem untuk memperbaiki diri. Boleh jadi juga ada peluang untuk membuka koreng hegemoni ini agar cepat kering, ha ha ha.
Poin lebih dari berada dalam sistem adalah adanya support system yang sudah jadi. Kekurangannya, gerak agak diarahkan. Poin lebih berada di luar sistem adalah lebih bebas. Tapi, PR besarnya adalah bagaimana membuat supporting system dan thinktank sendiri yang siap menemani kita menjalankan amanah jika ide kita terjual nanti.
Akhir kata, hegemoni tidak buruk tapi sistem yang langgeng harus dibikin gusar. Jangan-jangan banyak dari kita yang sudah apatis karena cuma ada satu opsi. Jangan-jangan akal sehat kita sudah mati—tidak bisa lagi mengkritisi keadaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI