Mohon tunggu...
Muhammad Bayu Samudra
Muhammad Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya Muhammad Bayu Samudra seorang mahasiswa departemen ilmu sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, saya suka dengan peristiwa peristiwa sejarah dan ingin tau apa yang terjadi di balik peristiwa itu.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Oligarki dan Nepotisme di Pemilu 2024 sebagai Neo Orde Baru dan Feodalisme

29 Juni 2024   20:58 Diperbarui: 29 Juni 2024   20:58 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)

Indonesia baru baru ini telah menjalani peristiwa penting dalam kalender pemerintahannya. Pesta yang dijalankan 5 tahun sekali dengan dalih pemilihan presiden dan anggota legislatif diwarnai berbagai macam isu dan peristiwa, hal ini telah mengundang perhatian dari semua kalangan di tanah nusantara. Mulai dari para cendekiawan politik yang telah mentereng namanya di kancah perpolitikan negara, hingga lapisan masyarakat biasa yang hanya menyalurkan omongan dan celoteh celoteh nya di warung kopi depan gang rumah nya. Tentu saja ini menjadi pusat perhatian semua rakyat bumi pertiwi. Pemilu pada tahun 2024 ini sebelumnya sudah diprediksi lebih menarik dari tahun sebelumnya, 3 kandidat calon presiden telah diusung oleh berbagai koalisi partai. Sebelum diresmikan menjadi capres, sudah banyak spekulasi dan intrik bagi cawapres yang mendampingi ketiga capres tersebut dalam berkampanye hingga nantinya jika terpilih nanti akan mengemban jabatan “RI-2”. 

Banyak kejadian yang menggambarkan bahwa kiasan “Politik itu dinamis” terjadi pada pesta demokrasi ini, yang dulunya musuh sekarang bergandengan tangan dan saling bahu membahu dan yang dulunya bahu membahu sekarang berseberangan. Namun ada satu hal yang mencoreng perayaan demokrasi yang ditunggu tunggu oleh rakyat tersebut, Pemilihan bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto banyak mendapat perhatian publik. Sosok yang lalang melintang di dunia perpolitikan itu disandingkan dengan berbagai tokoh besar di pemerintahan, namun pemilihan bakal calon presiden tersebut tak lepas dari suara partai politik yang mengusung calon tersebut. Pada akhirnya kubu Prabowo Subianto menjatuhkan dan mendeklarasikan bakal calon wakil presiden bernama Gibran Rakabuming Raka, orang yang secara aktif masih menjabat sebagai Walikota Solo. Kritikan dan tanggapan berdatangan dari berbagai pihak, banyak yang menyayangkan keputusan Prabowo Subianto untuk memilih Gibran sebagai cawapres nya. Kritikan ini bukan tak berdasar, proses naiknya Gibran sebagai cawapres diwarnai berbagai pelanggaran dan buruknya sistem birokrasi yang di trabas demi menggapai suatu tujuan tertentu. Pada awalnya pelanggaran kode etik ini diawali oleh dikabulkannya gugatan mengenai batasan usia untuk cawapres yang akan mencalonkan diri, hal ini pun di mata publik sebagai pintu masuk Gibran untuk menjadi cawapres. 

Dengan ini pun muncul spekulasi adanya praktik nepotisme yang dilakukan oleh pihak Gibran Rakabuming Raka dalam proses pencalonan dirinya sebagai cawapres, bagaimana tidak ketua Mahkama Konstitusi sendir yaitu Anwar Usman adalah paman dari saudara Gibran. Tak hanya itu ayahnya yang masih aktif menjabat sebagai Presiden ke 7 RI juga diduga mengambil peran dalam hal ini. ditambah lagi pernyataan beliau yang diucapkan saat diwawancarai "Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja, yang paling penting, presiden itu boleh loh kampanye, presiden boleh loh memihak. Boleh," kata Jokowi. Tentu saja pernyataan beliau di atas tidak mengatasi dan memberi ketenangan pada rakyat Indonesia yang sedang ribut mengenai praktek nepotisme di dalam lingkup pemerintahan yang sedang berjalan.

Rakyat menganggap bahwa ini adalah permulaan dari sistem pemerintahan yang diselimuti KKN bernama Neo Orba, kita tentunya sudah tahu mengenai kekurangan dan keburukan pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dijelaskan bahwa nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan Hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Sesuai hal UU diatas apa yang dilakukan Gibran dan pihak yang mendukungnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa pada masa orba praktek KKN marak terjadi karena kekuasaan yang tersentralisasi dan adanya upaya pembungkaman suara suara yang mengkritik pemerintah. 

Tak hanya cawapresnya yang menjadi cercaan masyarakat Indonesia, Prabowo Subianto yang sudah ketiga kalinya menjadi kandidat calon presiden ini dicap sebagai warisan orde baru. Hal ini karena Prabowo Sendiri adalah menantu dari presiden Soeharto yang pada masa Orba menjadi tokoh utama dalam pemerintahan RI pada saat itu, meskipun telah bercerai dengan sang istri rekam jejak beliau pada masa Orba tak bisa dilepaskan begitu saja. Tuduhan penculikan 9 aktivis HAM yang diungkit tiap ia mencalonkan diri di setiap edisi pesta demokrasi yang diikutinya menambah kesan bahwa ia masih terafiliasi dengan orang orang yang berkuasa pada zaman Orba. Ada kritikan pada Prabowo bahwa ia tidak tahan menjadi oposisi dan lebih memilih Gibran yang notabene anak dari saingan beliau pada dua edisi pemilu sebelumnya dengan alasan mencari bantuan dan suara pendukung Jokowi. 

Jika ditarik sejarahnya hal ini memunculkan paralelisme sejarah yang dimana pada abad pertengahan sistem pemerintahan seperti ini diterapkan dengan nama sistem feodalisme. Sistem feodal adalah salah satu sistem yang menarik dalam perkembangan peradaban manusia khususnya peradaban masyarakat eropa pada masa abad pertengahan, dimana kehidupan manusia diatur dalam berbagai kebijakan dan peraturan yang kompleks mulai dari aspek sosial, agama, ekonomi, dan politik. Sistem feodal adalah sistem ekonomi dan sosial yang umumnya dilakukan di eropa pada zaman abad pertengahan atau medieval. Sistem ini dinilai adalah cara para kaum Borjuis mendapatkan kekayaan dan kekuasaan dengan membuat berbagai kebijakan dan peraturan demi meraih tujuan tertentu tanpa memperhatikan golongan atau kelas masyarakat di bawah mereka. Menurut teori Karl Marx tentang Pertentangan Kelas dan teori Tanpa Kelas, hal hal diatas bisa ditinjau sesuai pandangan marxisme. Segala bentuk masyarakat yang dibalut dengan struktur pemerintahan pasti mengalami konflik pertentangan antar kelas masyarakatnya. Hal ini terjadi karena masyarakat antar kelas memiliki kebutuhan dan tujuan fundamental yang berbeda beda dalam mencapai itu semua. 

Dengan adanya kepentingan para penguasa yang ingin mencapai tujuan tertentu tanpa memperdulikan kode etik dan menerabas konstitusi yang sudah tertanam di negara ini pastinya memunculkan pertentangan dari rakyat yang akan menerima imbas atau terdampak dari tujuan atau peraturan tersebut. Ini bisa menjadi konflik yang mungkin saja menjadi paralelisasi sejarah berupa Demo pada tahun 1998 dengan tujuan menurunkan rezim yang korup dan tiran. Pada saat essay ini diketik sudah ada petisi dan gagasan untuk memakzulkan Presiden Jokowi dengan alasan bahwa beliau telah mencoreng nilai nilai demokrasi dan konstitusi karena memanfaatkan jabatannya untuk membuat lingkaran oligarki dengan mempermudah jalan bagi anaknya untuk bisa menjadi cawapres. Dari semua peristiwa dan gejolak politik yang terjadi pada PEMILU 2024 ini jika dilihat dari sudut pandang teori tanpa kelas milik Karl Marx, kelas Borjuis dan kapitalis yang memiliki kesempatan, kekuatan, dan keperluan yang memiliki kontrol atas sumber daya maupun ekonomi yang, menggunakan kekuasaannya untuk mempertahankan hak keistimewaannya. 

Menurut pandangan penulis Visi Misi dan proker yang diusung oleh paslon tersebut adalah meneruskan dan menambah proker dari presiden saat ini. Banyak tokoh eksekutif dan borjuis yang mendukung paslon ini karena mereka telah nyaman dalam kondisi mereka saat ini, dibalut dengan kekuasaan dan keistimewaan jabatan yang dibuat untuk menguntungkan golongan pribadi dan lingkaran oligarkinya. Sementara para rakyat yang bisa dibilang kelas pekerja dan proletar masih memperjuangkan hak hak mereka yang kadang kadang masih mengalami keterbatasan. Oleh karena itu jika dilihat dari sudut pandang Marx, sistem pemilu yang terkontaminasi dengan nepotisme dan oligarki adalah perpanjangan dari struktur kelas yang tidak adil dan lebih menguntungkan kaum elite sementara kaum pekerja dan buruh terpinggirkan serta ditinggalkan dalam posisi yang rentan saat pengambilan keputusan politik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun