Ungkapan Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran adalah gambaran keseimbangan kosmis kehidupan. Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran juga adalah perwakilan dari sifat kosmis keilahian/ketuhanan dan sifat kosmis alam/makhluk. Secara bahasa, keniki-pelatin artinya panas atau pedis sebagai simbol ketegasan/keadilan. Sedangkan Geleten-Geelaran artinya dingin atau sejuk sebagai simbol pengampunan/pemaafan/kasih sayang.
Bila ditelusuri lebih mendalam, ungkapan keniki-pelatin dan geleten-gelaran berakar dari keyakinan Orang Lamaholot akan Koda-Kiri. Koda sebagai sabda (kebenaran), kiri sebagai firman (kesucian). Â Koda-Kiri adalah Kalam/Kata-kata/Sabda/Firman dari Lera-wulan Tanah-Ekan (Tuhan/Allah SWT). Koda-kiri diyakini sebagai asal muasal dari asbab penciptaan alam semesta (langit dan bumi beserta isinya, termasuk manusia). Yang dalam istilah agama islam dikenal dengan, Kun, Fayakuun (Jadilah! Maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya)
Koda-kiri adalah keseimbangan yang pantang/tabu untuk dilanggar apalagi diabaikan. Bila dijalani dengan benar menurut tujuan penciptaan, maka akan tercipta keseimbangan/keselarasan (kedamaian) kosmis. Namun bila dilanggar atau diabaikan, maka yang terjadi adalah ketidaseimbangan/kekacauan (bencana) kosmis.
Dari keyakinan akan koda-kiri ini kemudian melahirkan filosofi (kearifan) Koda keniki-pelatin sili-lia mean, Kiri geleten-gelaran keru-baki buran. Bahwa kebenaran koda-kiri (kata/kalam/firman) adalah sesuatu yang sakral. Pelanggaran terhadap kebenaran koda-kiri akan menyebabkan nalan (dosa), nedin (bencana), elan/elen (kesalahan), milan (tercemar/kekotoran), dan haban (tersesat). Oleh karena itu, nalan/nedin/elen/milan/haban hanya bisa terampuni/termaafkan/tersucikan apabila manusia mau menyadari kesalahannya dan melakukan pertaubantan/penyucian/permaafan yang dalam istilah adat Orang Lamaholot disebut huku/hoko mehi (pemulihan darah) untuk kembali berdamai dengan Lera wulan-Tanah Ekan (Tuhan Sang Pencipta)
Filosofi Koda keniki-pelatin sili lia mean dan Kiri geleten-gelaran keru baki buran ini kemudian menjadi pedoman/pegangan dalam setiap aktifitas kehidupan sehari-hari Orang Lamaholot, termasuk di Labala yang diwujudkan dengan ritual adat Pao Oma dan Tula Ree  yang disimbolkan dengan ular naga langit dan ular naga bumi. Ular naga langit sebagai perwakilan kosmos keilahian/alam malakut/alam gaib, sedangkan ular naga bumi sebagai perwakilan kosmos alam semesta/alam makhluk/alam nyata. Lebih dari pada itu, ritual pao oma  dan tula ree merupakan ikhtiar manusia untuk berdamai dengan alam agar tercipta keseimbangan.
Manusia, dengan potensi lahir dan batin, akal dan nurani yang dikaruniakan Tuhan, dipilih oleh-Nya untuk mengemban amanat suci sebagai Khalifah (wakil Tuhan di bumi) untuk menjadi pemimpin, menjadi pengayom dan penjaga keseimbangan kosmos, menjadi penghubung langit dan bumi, yang diaplikasikan dengan menjalin hubungan baik dengan Tuhan dan menjalin hubungan baik dengan sesama dan alam semesta. Dengan demikian, maka akan tercipta tatanan kehidupan yang rahmatan lil alamin yaitu kehidupan seimbang yang menjadi penyebab rahmamat/kasih sayang Tuhan selalu menyertai.
Keyakinan akan keseimbangan kosmos yang disimbolkan dengan ular naga sebagai air kehidupan dan sebagai keseimbangan kosmis antara kosmis keilahian (ketuhanan/gaib) dengan kosmis kemakhlukkan sebagai ciptaan, senantiasa menjadi kearifan dan nilai luhur yang unik bagi orang lamaholot, terkhusus Orang Labala yang tetap mempertahankan tradisi mistis religius ini. Mengabaikan kearifan leluhur tanpa didahului dengan perenungan dan kajian mendalam akan makna dibalik ritual-ritual mistis ini, adalah sebentuk kesombongan iman bagi mereka yang mengaku beragama dan kecongkakan intektual bagi mereka yang mengaku sebagai cendekiawan.
Akhirnya, tak semua adat leluhur dan tradisi nenek-moyang dengan aneka ritual mistisnya harus dicap sebagai musyrik oleh mereka yang mengaku beragama, atau dianggap mitos oleh mereka yang mengaku akademisi. Toh segala sesuatu yang dianggap musyrik dan mitos tak serta merta dicap sebagai kuno, kafir dsb sebelum bisa dibuktikan dengan hujja (dalil) yang sahih. Menyalahkan tanpa pernah membuktikan kesalahan itu sendiri adalah sebentuk kemunafikan orang-orang yang mengaku beragama dan kebodohan intelektual bagi mereka yang mengaku cerdik cendekia. (**)
~AtaLabala~
Catatan: Tulisan ini hanyalah menurut persepsi penulis yang berusaha memaknai adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Apa yang penulis sajikan ini bukanlah kebenaran mutlak yang harus juga diyakini oleh pembaca, karena kebenaran mutlah hanyalah milik Tuhan. Jika bermanfaat, silahkan diambil. Bila tak bermanfaat, silahkan diabaikan saja. Wassalam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H