Mohon tunggu...
Muhammad Baran Ata Labala
Muhammad Baran Ata Labala Mohon Tunggu... -

Petualang Nusantara-Indonesia Tercinta.... Menulis adalah bekerja untuk keabadian (Pramudia Ananta Toer) www.catatan-hambamoe.blogspot.com www.labala-leworaja.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karena Saya Pemabuk, Katanya...

31 Oktober 2015   23:29 Diperbarui: 1 November 2015   17:39 2187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya seorang pemabuk, kata orang-orang.Yah, kata orang-orang yang mengaku bukan pemabuk itu. Padahal, saya hanya minum. Meski yang saya minum itu menurut mereka, adalah minuman keras. Minuman keras adalah minuman yang membuat mabuk. Minuman yang diharamkan Tuhan. Demikian kata mereka.

Saya menduga, sepertinya mereka membawa-bawa nama Tuhan hanya untuk menghakimi saya. Atau bisa jadi mereka hanya mau membangga-banggakan diri sebagai orang yang bukan pemabuk. Dan semoga dugaan saya ini keliru.

Akan tetapi, Saya jadi bingung. Masa hanya karena meminum, yang kata orang-orang itu minuman keras, lantas saya kemudian dicap sebagai pemabuk oleh mereka yang tak meminum minuman keras itu. Yah, hanya karena saya meminum minuman yang katanya memabukkan itu.

Entah iri karena tak bisa atau tak mampu meminum minuman keras itu, atau entah alasan apalah oleh orang-orang itu, sehingga saya dicap sebagai pemabuk. Cap yang tak disukai oleh siapapun, bahkan oleh saya sendiri yang dikata pemabuk ini. Karena saya hanya minum, meski kata mereka, saya mabuk setelah meminum minuman itu.

Celakanya, ketika sehabis minum, saya tak boleh shalat. Lebih tepatnya saya dilarang melakukan shalat oleh orang-orang itu. Jangankan shalat, mendekati tempat shalat saja tak boleh, kata mereka. Alasannya, yang menurut saya sangat konyol, yaitu karena saya mabuk. Alasan yang kekanak-kanakan.

Masih menurut mereka, karena kalau shalat dalam keadaan mabuk, nanti bacaan saya ngelantur. Dan kalau ngelantur, bisa mengganggu kekhusukan shalat orang lain. Lha orang yang khusuk kok bisa terganggu oleh lanturan saya? Jadi yang ngelantur sebenarnya itu siapa? Jangan-jangan, sebenarnya merekalah yang lagi ngelantur ketika shalat. Tapi semoga dugaan saya kali ini juga keliru.

Tapi, memangnya kalau ngelantur, Tuhan tak paham dengan lanturan saya, begitu? Kan Tuhan maha Tahu. Kan Tuhan maha memahami setiap bacaan, yang bahkan dibaca dalam keadaan ngelantur sekalipun.

Lucu sekali. Kalau saya ngelantur karena mabuk, maka saya tak boleh shalat. Sedangkan mereka yang ngelantur karena mendengar lanturan saya, mereka tetap boleh melakukan shalat. Tapi  percuma saja protes. Toh Saya tetap tak boleh shalat karena saya pemabuk, kata orang-orang yang merasa tak mabuk ini.

Tapi aneh. Memangnya kenapa kalau orang mabuk kepingin shalat? Apakah pemabuk tak pantas menjadi hamba Tuhan, dan mereka yang tak mabuk saja yang berhak menjadi hamba Tuhan? Apakah Tuhan pilih kasih dengan hanya membolehkan mereka yang katanya bukan pemabuk saja yang boleh shalat, sedangkan orang-orang seperti saya, yang katanya pemabuk, tak pantas melakukan shalat? Tapi lagi-lagi, percuma saya mencak-mencak. Toh tak akan ada telinga yang sudi mendengar kata-kata seseorang yang terlanjur dianggap pemabuk ini.

Jangan kalian tanya, apakah seorang pemabuk seperti saya, masih bisa berpikir waras dengan aneka pertanyaan seperti itu. Lagi dan lagi, percuma saja kalau saya jawab. Sekuat apapun saya beralasan, toh tetap saja saya akan tetap dianggap pemabuk. Dan apapun alasan seorang pemabuk seperti saya, tak akan digubris, tak dihiraukan sama sekali. Pemabuk memang selalu dianggap sebelah mata, bahkan tak dianggap sama sekali oleh mereka yang katanya tak mabuk itu. Padahal saya ingin shalat. Sungguh.

Saya tak hendak tertawa dengan alasan-alasan mereka yang tak lucu meski konyol itu. Tapi apa boleh dikata, keadilan tak selalu benar-benar tegak. Selalu yang berjumlah terbanyaklah yang menang, bahkan harus menang. Meski dengan merampas hak kemenangan mereka yang berjumlah sedikit. Bukankah selalu begitu, yang minoritas selalu bernasib apes ditengah-tengah mereka yang mayoritas? Dan saya, yang dikata pemabuk ini, selalu bernasib apes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun