Mohon tunggu...
Muhammad Bar
Muhammad Bar Mohon Tunggu... Administrasi - Pelajar

Tulisan di sini semuanya fiktif belaka. Kalau ada yang benar mungkin kebetulan atau mungkin kebenaran yang kebetulan difiktifkan. Budayakan beri nilai dan komentar Mari bersama-sama kita belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidayah Itu Tentu Tak Terduga

22 Juli 2019   16:31 Diperbarui: 22 Juli 2019   16:37 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum membahas hidayah aku akan mengomongkan sesuatu yang lain, yang nantinya mengantarkan pada judul yang dibahas.

Menganut fiqih itu baik. Namun bagaimana pun juga kalau kebangetan itu bisa jadi tidak baik, meski itu hal baik. Memang jalan tengah adalah pas. Jikalau keterlaluan, semisal orang mau tobat. Tobat itu menurut ilmu fiqih caranya menyesal, tidak mau mengulangi lagi,... dan seterusnya. Itu sulit sekali. Kita tak bisa menjamin dengan usaha atau ikhtiar, kita bisa tidak mengulangi kemaksiatan. Jika kita merasa bisa menjamin itu pun, itu malah membikin kita percaya dengan kerja keras kita banget-banget. Dan keberadaan Tuhan yang senantiasa merahmati kita terlupakan. Padahal banyak hal tak terduga yang ujungnya baik itu terjadi. Seperti ada pengemis lewat tiba-tiba muncul iba, kita sedekah. Padahal biasanya pelit. Ada pengajian, kita datang. Padahal biasanya tidak, orang kita datang juga gara-gara diajak teman. Jadi seumpama Tuhan tidak memberi rahmat kepada kita, bisa jadi kita ini penuh dosa, mustahil suci, mustahil masuk surga. Semisal kita tidak bisa mendapatkan rahmat  Tuhan. Rahmat Tuhan masih bisa mendapatkan kita, mungkin begitulah singkat kata dan faktanya. Maka kita perlu menengahinya dengan disiplin ilmu tasawuf, bahwa semua tindak tanduk mulia kita berasal dari rahmat Tuhan.

Ahli tasawuf pernah ditanyai orang, 'Seaindainya rahmat Tuhan berupa tobat mengetuk pintumu dan bicara, ia mau mengikutimu. Lantas apa reaksimu?' Beliau menjawab, 'aku tidak butuh kamu. Aku cuma butuh Tuhan.'

Ada satu kisah lagi yang ingin aku ceritakan.  Konon dulu ada seorang lelaki sekaligus penyair hebat yang ingin menjadi wali. Wali bagi anak-anaknya kelak maksudnya. Maksudnya ingin memperistri seorang wanita. Banyak sekali orang di sekitar rumahnya, di kampungnya, bahkan di kotanya..., ya kan?! gak-gak, perlu dijawab aku lebih. Banyak orang di kotanya yang meremehkannya, memperoloknya, lantaran mereka tahu apa yang hendak diperbuat oleh penyair hebat itu. Detailnya pun tahu, sang penyair ingin mendapatkan seorang pelanggan dagangan rotinya. Omong-omong penyair ini pekerjaannya berdagang roti, kalau menulis puisi hanyalah hobi yang hanya dinikmatinya. Alasan mereka meremehkan cukup masuk akal lagi saat ditambah fakta, bahwa perempuan itu ialah putri raja. Walau berat..., ia berusaha, berusaha mengangkat ..., beban perjuangan itu.

Di hampir seluruh waktu ia gunakan untuk seorang yang dicintainya. Sebagaimana biasanya seorang penyair, ia menulis dan kini dengan maksud menaklukan perempuan. Surat cinta, puisi, ia kirim hampir tiap, tiap ia ke sana. Tapi jarang soalnya jauh. Tapi jarang absen. Tapi ..., ya iyalah jarang absen, orang jika absen dia dituntut. Pesanan roti kerajaan kok tidak sampai ini? Dasar pecinta yang tak mau berkorban. Ternyata alhasil ia buntung, pengorbanannya bertepuk sebelah kaki. Gak-gak ini bukan melucu, ini konotasi dari langkah kaki seorang yang berjalan mendekati putri raja tidak dibalas langkah putri raja mendekatinya.

Akhirnya seluruh kemampuannya ia kerahkan semaksimal mungkin. Segala cara dilakukan oleh penyair hebat itu. Doa, wirid, sholat tahajjud dan segala macamnya ia lakukan demi putri sang raja. Ternyata usahanya berbuah, makhluk berkilau mendatanginya ke rumah. Kilauannya tak mengedipkan mata penyair hebat. Ia malah menatap wajah kilau nan cantik itu. Ia tak menyangka ia datang kemari.

Makhluk tercantik yang dilihatnya lamat-lamat, yang ternyata bukan putri raja itu berkata, 'kamu, aku beri satu permintaan. Apa yang paling kamu inginkan?'

Alih-alih menjawab pertanyaan, ia malah membalas pertanyaan, 'siapa yang mengutus makhluk secantik kamu ke sini? Pasti ia lebih cantik darimu, apakah benar dugaanku?'

'...,'

Belum sempat dijawab, penyair itu kembali bicara, 'sekarang aku tahu apa yang paling aku inginkan. Pertemukanlah aku dengan 'ia', yang mengutusmu ke sini.'

Makhluk cantik nan berkilau itu tidak bohong. Ia mengabulkan permintaannya. Sang penyair hebat itu lalu melupakan kecantikan putri raja, lantaran ia telah menemui Sang Maha Cantik, Sang Maha Indah. Alih-alih menjadi wali dari anak-anaknya kelak, kini ia jadi wali-Nya. Jadi bukan tobat saja, ia malah mendadak jadi wali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun