Mohon tunggu...
Muhammad Bar
Muhammad Bar Mohon Tunggu... Administrasi - Pelajar

Tulisan di sini semuanya fiktif belaka. Kalau ada yang benar mungkin kebetulan atau mungkin kebenaran yang kebetulan difiktifkan. Budayakan beri nilai dan komentar Mari bersama-sama kita belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar "Tasawuf"

30 Oktober 2018   10:31 Diperbarui: 30 Oktober 2018   10:54 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membaca buku tasawuf alhamdulillah membikinku pesimis. Aku bergeleng-geleng berkali-kali, sambil tersenyum sendiri, kadang pula tertawa mana kala menemukan lakunya sama sekali tak pernah aku bayangkan. Misalnya gambaran berbagai level sholat untuk jadi ahli sholat. Dari yang dasar, pertama asal jungkar-jungkir. 

Kedua, sholat sambil memahami bacaan. Ketiga, sholat sambil memahami bacaan dengan fokus sampai menangis, baik karena takut mau pun malu terhadap-Nya. Lalu tingkatan tertinggi sholat, ialah yang fokus sampai menangis meluap-luap karena takut atau malu terhadap-Nya yang overdosis, namun ditahan agar tak menangis biar mirip dengan orang pada umumnya sholat. 

Agar tidak dianggap saleh orang-orang di masjid, Namun gambarannya tetap berbeda dengan orang sholat pada umumnya. Itu 4 level terakhir, khusus sholat fardhu. Sebab melaksanakan sholat fardhu tidak pernah sendirian. Kalau sendirian waktu tahajjud sampai nangis berdarah-darah mungkin tidak apa-apa, tidak ada yang lainnya. Batin kita tak peduli objek lain karena tidak objek lain yang mengusik kita---dalam hal ini manusia.

Kalian pasti pernah menduga ada orang unik berperilaku semacam itu kan? Karena kalian hebat (aku kan husnudzon-an). Kalau tak terpikirkan sama sekali, sholat masih tahap jungkar-jungkir di masjid, sambil membayang 'nanti mau makan apa ya', itu ketika dzuhur. Kalau isya' mikirnya besok mau ngapain. Aku sampai hafal sama ketololanku.

Yang itu tadi, ialah salah satunya. Satu lainnya lagi ketika mereka, para sufi yang dianggap masyarakat sebagai orang pandai, ahli soal fiqih akan sering ditanyai. Banyak sekali pertanyaan yang mereka tanyakan tapi bukan cuma banyak, sulit pun iya. Apakah dengan pertanyaan yang banyak dan sulit itu ia tidak bisa menjawab? Jawabannya, iya, ulama tasawuf bisa menjawab hampir semua, karena kebanyakkan ulama tasawuf pasti ulama fiqih dan ulama fiqih yang biasa dijadikan rujukan tuturannya ialah ulama tasawuf.

Namun sang sufi tidak menjawabi semua pertanyaan, ia memilih menjawab sedikit dengan arif bijaksananya. Ia memilah dan memilih beberapa pertanyaan yang pantas dijawab, sedang yang lain yang tidak dijawab. Ia maksudkan agar penanya tidak menggampang fikih manakala ia menjabarkan celah-celahnya, lebih baik hukum itu syubhat bagi penanyanya agar ia tidak memanfaatkan celah-celah itu, dan berlaku waspada. 

Menganjurkan ibadah totalitas secara tak langsung, diam-diam. Alasan lainnya lagi yang penting, agar ia tidak terlalu dipuja dan dipuji orang-orang dari mulut ke mulut, sehingga menjadikannya tenar.

Zaman dulu beda sama zaman sekarang atau now. Dulu banyak orang baik hebat luar biasa jadi tak ada yang gumun, heran sama sekali dengan hal itu. Beda dengan zaman now, semua orang kebanyakkan buruk meski masih dalam tanpa kutip belum tentu atau sebetulnya tidak. Buruknya berdasarkan prasangka masing-masing. 

Mungkin karena kian banyaknya persyaratan melakukan apa pun. Seperti harus punya surat, kartu atau hitam di atas putih. Orang jadi tak percaya dengan yang tak bersyarat-syarat itu. Dan parah yang lagi sekarang, syarat-syaratan itu malah dibuat mainan, akal-akalan, sehingga yang bersyarat-syarat dan tidak, sama-sama sulit dipercaya karena sulit dibedakan. Maka kecurigaan muncul pada hampir setiap orang yang baru ditemui. Mungkin ada yang bilang waspada meski mereka bingung juga, mereka lagi waspada atau curiga.

 Apalagi sekarang orang yang melakukan kebajikan kebanyakkan bersembunyi, karena mereka takut bisa jadi riya', pamer, atau sombong. Sebab banyak sekali contohnya, ialah yang ditivi-tivi, di berita-berita. Dari konsumsi yang niat awalnya mengikuti informasi zaman now, tanpa mereka sadari malah memasukkan hal-hal negatif yang tersirat itu ke alam bawah sadarnya. 

Tertanam sebagai referensi bagi dirinya. Maka mereka berupaya menghindari potensi riya' sekecil apa pun, sebab adanya alat yang bisa mengeksplorinya akan menjadikannya..., ah sudahlah. Tahu sendirikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun