Mohon tunggu...
Muhammad Baidarus
Muhammad Baidarus Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Kepala Bidang Riset di Pusat Kajian Akuntansi dan Keuangan Publik (PKAKP) PKN STAN (2017-2018); Staff Pengelola Keuangan BWS Kalimantan III Ditjen SDA Kementerian PUPR; Staff Bagian Evaluasi dan Pelaporan Keuangan Setjen Kementerian PUPR; Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Batalkan PMK 210/2018 Bukti Pemerintah Gagal Mengatur Pajak E-Commerce

8 April 2019   14:13 Diperbarui: 11 April 2019   21:10 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki era industri digital 4.0 e-commerce mengalami pertumbuhan cukup pesat dan diprediksi akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya jumlah pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Perkembangan bisnis e-commerce dinilai dapat melahirkan banyak pelaku usaha lokal yang mempunyai pasaran global.

Kondisi tersebut didukung dengan kemampuan adaptasi dan consumtion habit dalam menggunakan teknologi oleh generasi milenial. Hasil riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 menyatakan bahwa di era Iot (internet of things) terdapat 143 juta jiwa pengguna internet di Indonesia yang didominasi oleh usia dibawah 34 tahun.

Hal itu membuat Indonesia menjadi tempat strategis para digital marketplace. Besarnya nilai transaksi yang dihasilkan e-commerce baik business to costumer (B2C) maupun business to business (B2B) menarik berbagai banyak pihak untuk ikut ambil bagian tanpa terkecuali pemerintah yang terus dibayang-bayangi kondisi dilematis.

Bagaimana tidak? e-commerce telah menjadi sektor paling dinamis dari ekonomi internet yang menghasilkan nilai cukup fantastis dan berpotensi menambah pundi-pundi penerimaan negara sektor pajak.

Namun, disisi lain pemerintah harus concern terhadap perkembangan e-commerce di Indonesia yang mempunyai persaingan sengit antar pemain akibat memperebutkan market share e-commerce yang sedang tumbuh.

Dicabutnya aturan PMK No. 210/PMK.010/2018 tentang perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik beberapa waktu lalu pun disambut bungah sumringah oleh pelaku usaha marketplace. Pasalnya aturan tersebut tidak berlaku per 1 April 2019.

Potensi Nilai Transaksi E-Commerce Cukup Besar

Berdasarkan hasil riset google temasek tahun 2018 di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat pertama diatas Vietnam dengan nilai transaksi e-commerce mencapai US$ 12,2 miliar meningkat 94% (Compund Annual Growth Rate/CAGR) pada periode yang sama tahun 2015 yang mencapai US$ 1,7 miliar dan diproyeksikan akan terus tumbuh hingga US$ 53 miliar pada tahun 2025 nanti.

Sebagai perbandingan di kawasan Asia Tenggara sendiri nilai transaksi e-commerce diperkirakan mencapai US$ 23,2 miliar pada tahun 2018 dan akan meningkat menjadi US$ 102 miliar atau setara Rp1.469 triliun pada tahun 2025. Nilai tersebut bukanlah sesuatu yang kecil.

Bayangkan, apabila yang dijual di marketplace merupakan BKP atau JKP bahkan bisa jadi barang mewah yang merupakan objek pajak dan dipastikan dapat menambah penerimaan negara. Menurut hemat saya, itu nilai yang cukup fantastis apabila pemerintah mau menggali potensi penerimaan negara lebih dalam dan PMK 210/PMK.010/2018 telah mengakomodir semua itu.

Tidak hanya melalui marketplace, pendapatan penjualan yang dihasilkan dari promosi melalui sosial media seperti instagram, facebook, maupun melalui youtube pun punya potensi yang sama dengan perusahaan startup marketplace.

Bahkan di Indonesia kini terdapat empat perusahaan startup yang telah menjadi unicorn diantaranya Bukalapak, Gojek, Traveloka, dan Tokopedia. Sehingga memungkinkan Indonesia untuk terus memimpin e-commerce di kawasan Asia Tenggara.

databoks.co.id
databoks.co.id
Inkonsistensi Aturan Pajak E-Commerce Tuai Kritik

Dengan dibatalkannya PMK No. 210/PMK.010/2018 beberapa waktu lalu yang mengatur terkait mekanisme perpajakan transaksi perdagangan melalui marketplace menimbulkan konsekuensi hukum cukup serius dan menciptakan ketidakpastian dalam bisnis e-commerce di Indonesia.

Pasalnya PMK yang dijadwalkan berlaku efektif mulai 1 April 2019 tersebut hingga kini belum ada aturan yang mengatur tentang PMK No. 210/PMK.010/2018 dan mekanisme pelaksanaanya secara jelas. Tak heran jika sejumlah pelaku usaha marketplace mengganggap ini sebagai kegagalan pemerintah dalam membuat kebijakan.

Selain itu, jika aturan ini diterapkan maka para pelaku marketplace akan dibebani dengan tugas tambahan untuk memastikan setiap pengguna platform memiliki NPWP sehingga butuh waktu untuk mengedukasi para pengguna platform.

Sementara, ketidaksiapan sistem yang terintegrasi terkait pelaporan rekapitulasi transaksi yang dilakukan pengguna platform terhadap DJP sebagaimana disebut dalam PMK 210/PMK.010/2018 cukup menyulitkan bagi para pelaku e-commerce dalam melaporkan kewajiban perpajakannya.

Terakhir, diterbitkannya PMK 210/PMK.010/2018 banyak pihak yang mengganggap adanya pemajakan objek pajak baru cukup membuat situasi riuh ditengah panasnya kontestasi politik di Indonesia. Dari permasalahan diatas, sudah seharusnya pemerintah mengkaji ulang aturan perpajakan e-commerce di Indonesia dan menerapkan dengan penuh kehati-hatian agar tidak menganggu iklim e-commerce dalam negeri.

Demi Keadilan Perpajakan Indonesia

Upaya pemerintah untuk mengenakan pajak terhadap hasil perdagangan online sebenarnya sudah memenuhi prinsip perpajakan yang berlaku yakni keadilan (equity). Kenapa? Transaksi yang dihasilkan dari perdagangan online sama halnya dengan transaksi perdagangan konvensional. Dalam konteks perpajakan, tidak ada perbedaan yang berarti.

Artinya, pemerintah tidak ingin e-commerce berkembang pesat tanpa memberikan kontribusi penerimaan negara dengan nilai transaksi cukup menggiurkan. Hanya saja, pemerintah harus menyadari bahwa dalam membuat kebijakan perpajakan tidak hanya mengedepankan prinsip perpajakan berupa keadilan tetapi juga kepastian (certainty). Kejelasan objek, tata cara pemungutan, keseuaian aturan dan tentunya didukung dengan sarana yang memadai agar Wajib Pajak mudah dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Sumbang Saran

Kehati-hatian dalam membuat kebijakan sangat diperlukan dalam menjaga kredibilitas dan menjamin kepastian hukum. Oleh karenanya, saya memberikan tiga saran dalam menyikapi polemik perpajakan e-commerce yakni sebagai berikut:

Pertama, mengkaji ulang PMK 210/PMK.010/2018 dengan mempertimbangkan prinsip kemudahan dalam aspek-aspek pemenuhan perpajakan bisnis e-commerce di tanah air.

Kedua, menyiapkan infrastruktur secara memadai dan melakukan sosialisasi dengan pelaku usaha e-commerce sebelum ditetapkannya aturan agar tidak menimbulkan informasi yang simpang siur seperti saat ini.

Ketiga, melakukan pemetaan usaha antara pelaku e-commerce lokal dan pelaku e-commerce asing agar pertumbuhan UMKM dalam negeri tetap terjaga ditengah sengitnya persaingan ekonomi digital sebagaimana amanah dalam Perpres No. 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map E-Commerce).

*Tulisan ini hanya opini pribadi sebagai pengamat public fiscal policy.

 ***

Referensi:

Baidarus, M. 2017.Gali Pajak e-Commerce Lewat Integrasi NPWP dan Sistem SAP. DDTC: Jakarta.
Laporan google temasek, 2018
Laporan APJII 2017
Databoks
Perpres No. 74 Tahun 2017
PMK No. 210/PMK.010/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun