Mohon tunggu...
Muhammad Baidarus
Muhammad Baidarus Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Kepala Bidang Riset di Pusat Kajian Akuntansi dan Keuangan Publik (PKAKP) PKN STAN (2017-2018); Staff Pengelola Keuangan BWS Kalimantan III Ditjen SDA Kementerian PUPR; Staff Bagian Evaluasi dan Pelaporan Keuangan Setjen Kementerian PUPR; Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menilik "Miringnya" Gedung Nusantara I Dibalik Kinerja DPR

30 Agustus 2017   18:05 Diperbarui: 30 Agustus 2017   18:11 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tersedianya sarana dan prasarana serta fasilitas pendukung kinerja lainnya memang perlu diperhatikan oleh setiap kementerian/lembaga demi terciptanya prinsip efisiensi dan efektifitas untuk mencapai tujuan yang strategis.  Apalagi adanya fasilitas tersebut sangat berpengaruh terhadap capaian kinerja ditengah bayang-bayang target kinerja yang terus meningkat tiap tahun, mengingat semakin kompleksnya perkembangan dunia digital saat ini. Namun, hal tersebut dirasa kurang tepat jika semua kementerian/lembaga melakukan revaluasi terhadap setiap aset yang dimiliki serta melakukan pembaruan terhadap aset yang dinilai masih cukup layak untuk gunakan mengingat ruang fiskal Indonesia yang masih sangat terbatas. 

Jika hal itu tetap dilakukan maka kemungkinan yang terjadi pembiayaan akan meningkat signifikan dalam anggaran tahun berjalan. Reformasi penerimaan negara yang masih sangat terbatas tentu akan berakibat pada lemahnya kredibilitas anggaran ditengah polemik utang yang terus meningkat era kabinet kerja. Pembangunan infrastruktur terutama untuk daerah tertinggal yang sedang di genjot pemerintah jauh lebih penting daripada mengutamakan pembangunan aset para birokrat dan lembaga politis yang semata-mata dilandasi adanya ketidakpuasan fasilitas yang masih laik pakai.

Beberapa waktu lalu pemerintah bersama DPR mengesakan RUU Anggaran 2018. Publik kembali dikejutkan dengan adanya permintaan para wakil rakyat yang ingin menambah pagu anggaran khusus untuk membangun sebuah gedung baru sebagai pengganti Gedung Nusantara 1 yang dianggap kurang laik pakai dan sudah terlihat miring. Tak tanggung-tanggung anggaran untuk membangun gedung tersebut diperkirakan mencapai 600 triliun. Rencana pembangunan gedung baru tersebut telah disepakati oleh MPR,DPR, dan DPD. Adapun Gedung Nusantara 1 terdiri dari 23 lantai yang dipakai oleh 560 anggota dewan periode 2014-2019 bersama staf-stafnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Untuk periode mendatang jumlah anggota dewan akan bertambah menjadi 575, dimana setiap anggota mendapatkan dua orang asisten pribadi dan lima orang staf. Alasan over kapasitas inilah yang membuat para wakil rakyat ingin membangun gedung baru. Selain over kapasitas, para anggota dewan juga mengklaim bahwa gedung tersebut sudah terlihat miring sebesar 7 derajat. Namun, berdasarkan uji yang dilakukan oleh Balitbang KemenPUPR hal tersebut tidaklah benar, karena jika Gedung Nusantara 1 DPR miring 7 derajat, maka akan mengalami simpangan sejauh 8 meter. Dengan simpangan sejauh itu, mestinya gedung tersebut sudah tidak kuat menopang bebannya.

Sebagai lembaga politik yang pro publik, sudah seharusnya DPR mengutamakan prinsip aspiratif yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara sebagaimana memaknai sumpah/janji anggota DPR dalam pasal 78. Perkembangan teknologi informasi yang kian pesat justru membuat rakyat semakin kritis dan melek terhadap kinerja anggota dewan. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat sudah cukup membuktikan buruknya kinerja DPR selama ini. Terlebih banyak kasus penyimpangan anggaran sejumlah mega proyek yang turut melibatkan anggota DPR menambah betapa buruknya integritas mereka di era modernisasi birokrasi yang semakin transparan dan profesional. Tentu, kita tidak bisa menilai sebuah lembaga sebesar DPR hanya dari satu sisi saja. Lalu, apa saja yang menjadi ukuran kinerja DPR?

Sebelum menilai kinerja DPR kita harus memahami betul fungsi DPR sebagaimana diatur dalam undang-undang diantaranya fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya DPR tidak bisa berjalan sendirian, akan tetapi harus bersinergi terhadap pemerintah, meskipun pada akhirnya dalam hal-hal tertentu peran DPR menjadi dominan daripada pemerintah. Misalnya menyelenggarakan pendidikan politik melalui partai politik, mengesahkan peraturan undang-undang, serta melaksanakan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan terpilih untuk mencapai tujuan bangsa. 

Sehingga ketiga fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Fungsi legislasi merupakan kegiatan pembentukan undang-undang mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan hingga penetapan dan pengudangan. Perencanaan pembentukan undang-undang tersebut dibuat melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dimana undang-undang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis. Disini perlu adanya konsistensi dan ketegakan hukum yang berkeadilan. 

Pada periode 2015-2019 pemerintah bersama DPR telah menyepakati Prolegnas sejumlah 160 RUU. Namun, hingga saat ini DPR baru menyelesaikan sebanyak 36 RUU yang disahkan menjadi UU, dimana 3 RUU diselesaikan pada sidang tahunan 2014-2015, 16 RUU diselesaikan pada sidang tahunan 2015-2016, dan 17 RUU diselesaikan pada sidang tahunan 2016-2017. Sehingga masih terdapat 124 RUU yang belum disahkan menjadi UU. Sementara di tahun 2017 target Prolegnas yang harus diselesaikan pembahasan dan disahkan menjadi undang-undang terdapat 50 RUU. 

Namun, tampaknya kinerja DPR yang begitu dinamis menjadi faktor utama penyebab lambatnya realisasi Prolegnas di tahun 2017. Hingga agustus 2017 DPR dan Pemerintah baru menyelesaikan pembahasan sekitar 5 RUU menjadi undang-undang diantaranya UU tentang jasa konstruksi, UU tentang perbukuan, UU tentang kebudayaan, UU tentang arsitek dan UU tentang pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen terhadap Prolegnas yang sudah disepakati antara DPR dan pemerintah selama ini masih kurang. Sangat disayangkan sekali jika prioritas kerja anggota DPR yang belum terfokus pada penyelesaian target legislasi hanya dikarenakan sejumlah permasalahan internal sehingga turut memperlambat proses pembentukan undang-undang.

Selain menyelenggarakan fungsi legislasi, DPR juga menyelenggarakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah serta kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk kehidupan seluruh masyarakat. Pelaksanaan fungsi legislasi dilakukan melalui rapat-rapat, kunjungan kerja hingga pembentukan Panja. Pelaksanaan fungsi pengawasan juga dilakukan melalui penggunaan hak DPR seperti hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3. 

Namun sayangnya, penggunaan hak-hak tersebut terkadang tidak sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku. Salah satu contohnya yang terjadi pada beberapa waktu lalu yaitu hak angket terhadap lembaga antirasuah (KPK) yang menimbulkan stigma kurang baik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Bagaimana tidak? Berdasarkan putusan MK pada tahun 2006, KPK digolongkan sebagai lembaga yudikatif yang tidak bisa diberikan hak angket oleh DPR. KPK merupakan lembaga yang sifatnya independen dan tidak dapat dicampuri tangan oleh siapapun termasuk DPR. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun