Santri bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Indonesia, terutama di kalangan pesantren. Sejarah santri bahkan telah ada sejak sebelum Islam berkembang di Indonesia. Dengan segala keunikannya, santri menempati tempat tersendiri di hati masyarakat.
Menurut Dr. K. H. Ahmad Mustofa Bisri, yang lebih dikenal sebagai Gus Mus, santri adalah murid kiai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat, tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, atau adanya perbedaan. Santri, sebagai murid yang dididik dalam tradisi pesantren, memiliki karakteristik yang khas. Gus Mus menegaskan bahwa santri dibentuk dengan kasih sayang agar menjadi mukmin yang tangguh, tidak mudah terpengaruh oleh berbagai hal. Mereka adalah individu yang mencintai tanah air, menghormati guru dan orang tua, serta memiliki rasa syukur yang mendalam. Seorang santri, lanjut Gus Mus, adalah kelompok yang memiliki kasih sayang terhadap sesama manusia dan pandai bersyukur. "Mereka menyayangi sesama hamba Allah, mencintai ilmu, dan tidak pernah berhenti belajar (minal mahdi il lahdi); yang menganggap agama sebagai anugerah dan sebagai sarana untuk mendapatkan ridha Tuhannya. Santri adalah hamba yang bersyukur," kata Gus Mus.
Santri bukan hanya sekadar kelompok pelajar, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai keagamaan dan sosial yang tinggi. Mereka mencintai ilmu dan terus belajar, serta menyadari bahwa agama adalah anugerah yang mendekatkan mereka kepada Tuhan. Dalam sejarahnya, santri telah ada sejak sebelum Islam berkembang di Indonesia dan menjadi bagian integral dari masyarakat, dihormati dan dipandang positif.
Menurut definisi lain, makna santri adalah serapan dari bahasa Inggris yang berasal dari dua suku kata, yaitu "SUN" dan "THREE", yang artinya "tiga matahari". Matahari adalah titik pusat tata surya berupa bola gas yang mendatangkan terang dan panas ke Bumi pada siang hari. Ia adalah sumber energi yang tak terbatas dan juga merupakan sumber kehidupan bagi seluruh tumbuhan, semuanya dilakukan secara ikhlas. Namun, maksud dari "tiga matahari" dalam kata SUNTHREE adalah tiga keharusan yang harus dimiliki oleh seorang santri, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Semua ilmu tentang iman, Islam, dan ihsan dipelajari di pesantren agar seorang santri dapat beriman kepada Allah secara sungguh-sungguh, berpegang teguh pada aturan Islam, serta dapat berbuat ihsan kepada sesama.
Dalam tradisi pesantren, santri dibedakan menjadi tiga kategori: santri mukim, santri kalong, dan santri kilatan. Santri mukim adalah mereka yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren untuk waktu yang lama. Biasanya, mereka memiliki tanggung jawab lebih, seperti mengurus kegiatan pesantren dan membimbing santri baru. Santri kalong adalah santri yang tinggal di sekitar pesantren dan tidak menetap; mereka dapat pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. Santri kilatan adalah mereka yang tinggal sementara di pesantren, biasanya untuk program pembelajaran khusus, seperti selama bulan Ramadhan.
Dengan kata "santri", tidak jauh dari yang namanya pesantren. Meskipun tidak semua santri berada di pesantren, sebagian besar masyarakat mengaitkan santri dengan pesantren. Apa itu pesantren? Pesantren adalah lembaga pendidikan yang khas dan telah ada jauh sebelum institusi pendidikan lainnya di Indonesia. Sejak abad ke-16, pesantren telah berfungsi sebagai tempat penyebaran dan penghayatan ajaran Islam. Dalam sejarahnya, pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga jembatan untuk memahami dan meneruskan ajaran Islam kepada masyarakat. Oleh karena itu, pesantren dianggap sebagai institusi pendidikan asli yang memiliki hubungan erat dengan ajaran Islam.
Namun, akhir-akhir ini, tantangan kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren, menjadi sorotan publik. Penting untuk tidak menjadikan satu atau dua kasus sebagai representasi negatif dari seluruh lembaga pendidikan. Tidak semua lembaga pendidikan mengalami hal tersebut. Masih banyak kegiatan atau nilai-nilai positif yang mungkin tidak dipublikasikan. Kesempitan sudut pandang ini harus diimbangi dengan pemahaman bahwa pesantren atau lembaga pendidikan memiliki prinsip "nyumerambah" dan "nyegoro".
"Nyumerambah" atau "nyegoro" adalah sikap yang meniru karakter laut. Laut dapat menampung apa saja, mulai dari yang berharga hingga yang tidak berharga seperti sampah, untuk didaur ulang atau diperbaiki. Namun, di tengah sikap menerima ini, laut juga melakukan penyaringan; pada akhirnya, sampah-sampah akan dipilih dan menepi. Karakter seseorang yang mendalami ilmu adalah ia bisa bergaul dengan siapa saja dan apa saja, memberikan manfaat sesuai kemampuan yang dimiliki.
Media memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi masyarakat tentang lembaga pendidikan. Sayangnya, media sering kali menyajikan berita secara sensasional, yang dapat menciptakan pandangan negatif terhadap pendidikan. Namun, di balik itu semua, banyak aktivitas positif di lingkungan pendidikan yang menunjukkan nilai-nilai kerja sama, gotong royong, dan toleransi. Analisis mendalam diperlukan untuk memahami akar permasalahan kekerasan dalam pendidikan. Setiap kasus memiliki konteks yang berbeda, dan dengan memahami konteks tersebut, kita dapat mencari solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Dalam konteks yang lebih luas, penting untuk tetap optimis dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan. Kata-kata bijak, "dikala jatuh, jangan lupa untuk bangun," mengajak kita untuk terus berbenah dan bertransformasi demi mencapai cita-cita bangsa. Transformasi bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga perubahan nilai dan sistem sosial. Dalam sebuah kesempatan, Khalil Abdul Karim (2008) mengatakan bahwa seluruh aspek kehidupan bergerak positif dalam rangka menunaikan sunnatullah bernama "hijrah", yakni berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang lebih baik, atau beralih dari satu kondisi ke kondisi yang lebih baik.
Transformasi merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan individu. Pemerintah berperan dalam merumuskan kebijakan yang berpihak pada rakyat, sementara lembaga swadaya masyarakat mengawasi kebijakan tersebut dan memberikan edukasi. Dunia usaha berkontribusi melalui penciptaan lapangan kerja, sementara individu diharapkan aktif berperan dalam masyarakat.