Mohon tunggu...
Muhammad Azka Ulin Nuha
Muhammad Azka Ulin Nuha Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dinamika Sejarah Pancasila dan Urgensi Pendidikan Pancasila

30 November 2024   23:15 Diperbarui: 30 November 2024   23:14 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam proses pembentukan suatu negara, ideologi atau dasar negara memiliki peran krusial sebagai panduan nilai dan prinsip yang membentuk karakter bangsa. Negara yang memiliki ideologi jelas, tidak hanya mampu menciptakan identitas nasional, tetapi juga memberikan arah dan tujuan yang konsisten dalam pengelolaan pemerintahan serta kehidupan masyarakat. Selain itu, dasar negara berfungsi untuk menjaga stabilitas sosial dan politik, serta menetapkan hak dan kewajiban warga negara. Dengan didukung oleh ideologi yang kuat, sebuah negara dapat dibangun dan dipertahankan, serta menciptakan stabilitas dan kemakmuran bagi masyarakatnya. Dalam hal ini, Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi dasar negara, yang mencerminkan nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip esensial untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kata: "Panca" yang berarti lima dan "Sila" yang berarti dasar. Sila juga dapat diartikan sebagai prinsip atau norma yang mendasari perilaku individu atau bangsa, serta sebagai akhlak dan moral. Lima prinsip atau lima dasar tersebut berisi sebagai berikut: 1. Ketuhanan yang maha esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut pernyataan Soekarno, Pancasila ini jika diperas, intinya hanya satu yaitu Persatuan atau gotong royong.

Dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, memiliki berbagai tahapan dan masanya masing-masing. Artinya tidak langsung jadi atau instan. Ada banyak para pejuang dan elemen-elemen bangsa lainnya yang berkontribusi dalam mewujudkannya. Pada abad ke-20, di panggung politik internasional, terjadi kebangkitan dunia Timur yang ditandai dengan kesadaran akan kekuatan diri. Di Indonesia, kebangkitan nasional dimulai pada tahun 1908, yang dipelopori oleh Dr. Wahidin Soedirohoesodo melalui organisasi Budi Utomo. Gerakan ini menjadi titik awal untuk mewujudkan bangsa yang merdeka dan memiliki kehormatan serta martabat dengan kekuatan sendiri.

Dengan semangat baru ini, kesadaran nasional mulai tumbuh, ditandai dengan munculnya berbagai organisasi sosial dan pergerakan, seperti Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Perhimpunan Indonesia. Puncak semangat nasional ini tercermin pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika Sumpah Pemuda diikrarkan. Momen ini menginspirasi bangsa Indonesia untuk bersatu dalam perjuangan menuju kemerdekaan, meninggalkan kepentingan kelompok dan kedaerahan. Diskusi mengenai dasar negara Indonesia merdeka mulai dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan, di mana berbagai pandangan muncul meskipun Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Jepang.

Perumusan dasar negara mulai dibahas dalam persidangan pertama BPUPKI yang didirikan pada 29 April 1945, menyusul pernyataan Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso, pada 7 September 1944, yang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia di masa depan. Rancangan awal Jepang menyebutkan bahwa kemerdekaan akan diberikan melalui tiga tahap, dimulai dengan BPUPKI, atau kalua dalam bahasa Jepang Dokuritsu Junbi Cosakai dan dilanjutkan dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tiga tokoh sentral dalam Sidang BPUPKI I adalah Mr. Moh. Yamin, Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno, yang merupakan penggagas penyusunan Dasar Negara. Pada tanggal 29 Mei 1945, dilakukan musyawarah dalam Sidang BPUPKI I sebagai langkah awal mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Dalam Sidang BPUPKI I, beberapa pokok perumusan dasar negara diusulkan oleh ketiga tokoh tersebut. Pada hari pertama sidang, yaitu 29 Mei 1945, Mr. Moh. Yamin mengajukan usul lima asas sebagai dasar negara Indonesia, yaitu: 1) Peri Kebangsaan, 2) Peri Kemanusiaan, 3) Peri Ketuhanan, 4) Peri Kerakyatan, dan 5) Peri Kesejahteraan Rakyat. Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1945, Dr. Soepomo berpidato di hadapan anggota BPUPKI dan menyampaikan beberapa usulan, yaitu: 1) Persatuan, 2) Kekeluargaan, 3) Keseimbangan Lahir dan Batin, 4) Musyawarah, dan 5) Keadilan Rakyat. Pada hari terakhir Sidang I BPUPKI, yakni 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan lima asas, yaitu: 1) Kebangsaan Indonesia, 2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan, 3) Mufakat atau Demokrasi, 4) Kesejahteraan Sosial, dan 5) Ketuhanan yang Maha Esa. Lima asas yang diusulkan oleh Bung Karno ini kemudian dikenal dengan istilah Pancasila.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI juga menyetujui naskah Piagam Jakarta sebagai pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dengan pengecualian tujuh kata mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya yang dicoret. Kata-kata tersebut kemudian diganti dengan "yang Maha Esa," sehingga menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa." Sebagai bagian dari pencoretan tujuh kata ini, disetujui juga Pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa presiden adalah orang Indonesia asli tanpa tambahan kata beragama Islam. Begitu pula, bunyi Pasal 29 ayat 1 menjadi negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa tanpa disertai tujuh kata tersebut.

Pada masa Orde Lama, rumusan Pancasila mengalami pasang surut seiring dengan dinamika politik nasional, terutama setelah proklamasi kemerdekaan dan pengesahan UUD 1945. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, Pancasila dirumuskan sebagai: "Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia." Namun, rumusan ini mengalami perubahan dalam Pembukaan UUD Republik Indonesia Serikat, yang menyatakan: "Ketuhanan yang Maha Esa, bagi Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial." Ketika UUD RIS tidak lagi berlaku dan digantikan oleh UUDS 1950, rumusan Pancasila tidak mengalami perubahan, meskipun secara konseptual dan substansial, rumusan di ketiga UUD tersebut tetap sama; hanya redaksionalnya yang berbeda.

Di masa pemerintahan Orde Lama, sistem politik dan pemerintahan di Indonesia tidak stabil. Banyaknya partai politik dengan berbagai ideologi dan aliran menyebabkan perebutan pengaruh politik di kalangan partai-partai. Setidaknya ada lima aliran politik yang berpengaruh selama 20 tahun, yaitu nasionalisme radikal, tradisional, Jawa Islam, sosialisme, demokratis, dan komunisme. Aliran-aliran ini kemudian mempengaruhi dan menentukan keberadaan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan aliran komunisme berupaya mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis. Persaingan antara partai-partai politik semakin tajam, terutama di bawah pengaruh besar Soekarno dalam sistem politik. Pertarungan politik ini akhirnya dimenangi oleh kelompok anti-komunis, yang menyebabkan Soekarno tersingkir dari percaturan politik nasional dan rezim kekuasaan pun berganti.

Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Lama, Indonesia memasuki babak baru di bawah rezim Orde Baru, yang membawa perubahan mendasar pada sistem politik dan pemerintahan. Pada masa ini, terjadi fusi partai-partai politik dari Orde Lama menjadi tiga kekuatan utama: Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya (Golkar). Meskipun ada niat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Pancasila justru digunakan sebagai alat politik untuk menumpas lawan-lawan politik dan mempertahankan kekuasaan. Gagasan meletakkan Pancasila sebagai ideologi sentral muncul dalam Simposium Kebangkitan 66 pada 6-9 Mei 1966, yang menjadi tonggak penting bagi Orde Baru. Meskipun tidak ada konstruksi jelas tentang bagaimana menjadikan Pancasila sebagai ideologi ilmiah dan amal, pada saat itu ada keyakinan bahwa Pancasila harus diakui sebagai ideologi yang tidak bisa diganggu gugat.

Soeharto, meskipun berbeda rata-rata dengan Soekarno, tetap meyakini Pancasila sebagai tujuan utama kehidupan bangsa. Ia menganggap Pancasila sebagai satu-satunya jawaban untuk mencapai tujuan negara dan kesejahteraan masyarakat. Dalam pidatonya, Soeharto menegaskan pentingnya menghayati Pancasila secara total, sehingga dapat mewujudkan kesentosaan dan kesejahteraan. Namun, kejatuhan pemerintahan Soekarno meninggalkan stigma buruk yang menandakan bahwa Pancasila telah disimpangkan sebagai ideologi negara. Dengan munculnya Gerakan 30 September (G30S) PKI, terdapat upaya untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi komunisme. Oleh karena itu, pemerintahan Orde Baru merasa perlu menyelamatkan Pancasila dan menyebarkannya ke seluruh masyarakat melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Pancasila, yang seharusnya menjadi ideologi yang membumi, justru dijadikan alat indoktrinasi dan dimonopoli oleh negara. Dengan jatuhnya rezim Orde Baru, masyarakat menjadi trauma terhadap Pancasila, yang sering diidentikkan dengan pemerintah yang otoriter. Meskipun demikian, Pancasila tetap menjadi dasar resmi bangsa dan negara, dan penting untuk mempelajari serta mengkonseptualisasikan Pancasila secara terus-menerus. Untuk menghindari kehilangan arah, Pancasila harus diletakkan kembali secara proporsional dan kontekstual sesuai dengan semangat zaman.

Akhir dari rezim Orde Baru dan memasuki masa reformasi membawa harapan besar bagi rakyat Indonesia untuk kehidupan yang lebih baik dalam berbangsa dan bernegara. Masa reformasi ditandai dengan pembaruan fundamental di berbagai bidang, termasuk politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, hukum, dan kesehatan. Para mahasiswa dan aktivis menjadi pelopor gerakan ini, mendorong diskusi kembali mengenai Pancasila melalui berbagai seminar, lokakarya, dan kongres. Banyak tulisan dari berbagai ahli menunjukkan bahwa Pancasila tetap diperlukan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu pemikiran menarik datang dari Azyumardi Azra dalam tulisannya yang berjudul "Revisi Pancasila," yang terdapat dalam buku "Merajuk Nusantara Rindu Pancasila." Ia mengungkapkan bahwa revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila masih jauh dari harapan. Pancasila, sebagai dasar ideologi dan pedoman bersama untuk bangsa yang plural, tetap marginal dalam diskursus nasional. Tiga faktor utama menyebabkan marginalisasi ini: pertama, banyak orang masih mengingat Pancasila sebagai alat politik yang disalahgunakan oleh rezim Soeharto; kedua, liberalisasi politik yang diprakarsai oleh presiden BJ Habibie membuka ruang bagi ideologi lain, terutama yang berbasis agama; ketiga, desentralisasi dan otonomi daerah memperkuat nasionalisme lokal yang dapat bersinggungan dengan etnonasionalisme dan sentimen agama. Suhartono W. Pranoto, seorang pakar sejarah dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa menegakkan Pancasila dan konsistensinya tidaklah mudah. Sepanjang sejarah, Pancasila telah berusaha dikokohkan, mulai dari era Soekarno hingga Soeharto, meskipun situasi memburuk pasca-reformasi. Pada masa Gus Dur dan Megawati, Pancasila terlihat terjaga, tetapi di era SBY, Pancasila tampak kehilangan pamor.

Setiap warga negara Indonesia, dari tingkat SD hingga perguruan tinggi, mempelajari pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan pancasila sebagai upaya untuk mempromosikan nilai-nilai kebangsaan dan upaya untuk bisa mengaktualisasi dalam kehidupan sehari-hari. Para pelajar atau mahasiswa adalah generasi penerus bangsa juga merupakan agen perubahan, maka dari itu pendidikan pancasila penting dipelajari karena didalamnya terdapat nilai-nilai yang luhur, perlu ditanamkan untuk menjadi pedoman, landasan dan fondasi hidup berbangsa dan bernegara yang baik. agar bisa bersaing dalam kancah internasional dengan menjadi manusia yang beriman dan takwa kepada tuhan yang maha esa, memiliki kepribadian baik, bisa menjaga persatuan, mentradisikan gotong royong, berkarakter tangguh, berani membela kebenaran, dan bisa menegakkan keadilan.

Tujuan diselenggarakannya Pendidikan Pancasila untuk dapat membentuk warga negara yang baik dan paham akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara serta memiliki rasa cinta dan nasionalisme terhadap negara Indonesia. Tujuan pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi adalah untuk: 1. Memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa melalui revitalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Agar mahasiswa dapat mengembangkan karakter manusia Pancasilais dalam pemikiran, sikap, dan tindakan. 3. Memberikan pemahaman dan penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai dasar Pancasila kepada mahasiswa sebagai warga negara Republik Indonesia, serta membimbing untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 4. Mempersiapkan mahasiswa agar mampu menganalisis dan mencari solusi terhadap berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui sistem pemikiran yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD RI Tahun 1945. 5. Membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kecintaan pada tanah air dan kesatuan bangsa, serta penguatan masyarakat madani yang demokratis, berkeadilan, dan bermartabat berlandaskan Pancasila, untuk mampu berinteraksi dengan dinamika internal dan eksternal masyarakat bangsa Indonesia. (Derektorat, 2013).

Aktualisasi Pancasila di lingkup kampus khususnya di UIN Raden mas Said Surakarta yaitu bisa ditemukan di saat PBAK(Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan) 2024. Pada saat itu mahasiswa dari berbagai daerah berkumpul dan saling berkenalan, saling menghormati, dan bisa saling berteman walaupun mungkin memiliki latar belakang daerah dan budaya asalnya yang berbeda-beda. Selain itu juga di waktu sholat, Sebagian mahasiswa melaksanakan ibadah sholat dengan berjamaah di Musholla Fakultas.

Ref.

https://nasional.okezone.com/read/2021/06/01/337/2417589/hari-lahir-pancasila-ini-pengertian-pancasila-secara-etimologis-terminologis-dan-historis. [diakses pada tanggal 15 Oktober 2024].

https://sumedang.kemenag.go.id/post/selamat-hari-lahir-pancasila. [diakses pada tanggal 15 Oktober 2024].

 https://bpip.go.id/berita/tujuan-pendidikan-pancasila-di-perguruan-tinggi-ketahui-landasannya. [diakses pada tanggal 15 Oktober 2024].

Buku pendidikan pancasila: Karsadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun