Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, yang mulai berlaku 1 Januari 2025, telah menimbulkan berbagai respons di masyarakat. Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan bahwa tarif ini masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Afrika Selatan (15 persen), India (18 persen), dan Brasil (17 persen) (Nabila Azzahra dalam Tempo, 21 Desember 2024).Â
Meski demikian, langkah ini menuai kritik, terutama terkait dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan ketimpangan sosial.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga perpajakan berakar pada berbagai isu, mulai dari kasus korupsi hingga gaya hidup mewah pegawai pajak. Beberapa kasus besar, seperti penggelapan dana dan suap yang melibatkan pejabat pajak, telah mencoreng citra lembaga ini. Gaya hidup mewah para pegawai semakin memperburuk persepsi publik, menciptakan anggapan bahwa uang pajak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi oknum tertentu.
Hal ini senada dengan pernyataan Fajar Pebriyanto dalam laman Tempo (21 Maret 2021): "Skandal korupsi pegawai pajak, tunjangan sudah tinggi, uang suap jalan terus." Lebih lanjut, Fajar menyebutkan bahwa sumber Tempo melaporkan sebuah perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di Indonesia seharusnya memiliki kurang bayar pajak sebesar Rp91 miliar pada 2016. Namun, nilai Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan untuk perusahaan tersebut hanya Rp70 miliar.
Dalam buku "Perjalanan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan", disebutkan bahwa pemerintah telah berupaya meningkatkan efisiensi dan integritas sistem dengan menaikkan remunerasi pegawai. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi godaan melakukan korupsi. Namun, fakta menunjukkan bahwa kasus suap tetap terjadi, bahkan diiringi dengan budaya pamer atau flexing yang memperburuk citra institusi pajak di mata publik.
Budaya flexing di kalangan pegawai perpajakan menjadi bukti bahwa reformasi belum sepenuhnya berhasil membangun kesadaran bahwa mereka adalah pelayan publik. Ketika pegawai menunjukkan gaya hidup mewah, masyarakat semakin skeptis terhadap pengelolaan pajak.
Selain itu, proyek pemerintah yang dikaitkan dengan korupsi semakin menambah ketidakpuasan masyarakat. Meski infrastruktur berkembang pesat, berita tentang mark-up anggaran atau pengelolaan proyek yang tidak transparan kerap menjadi sorotan. Menurut laman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), per Juli 2019 hingga Mei 2023, KPK telah mencatat 20 kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang melibatkan proyek pemerintah. Akibatnya, masyarakat merasa pajak yang mereka bayar tidak sepenuhnya digunakan untuk kepentingan publik, melainkan menguntungkan segelintir pihak.
Dalam konteks sosiologi, kebijakan pajak yang tidak inklusif dapat menciptakan eksklusi sosial. Kenaikan PPN, meskipun sebagian besar barang kebutuhan pokok dibebaskan, tetap berdampak besar pada kelompok rentan. Sebagai contoh, survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada November 2023 mencatat penurunan rasio konsumsi kelompok berpenghasilan rendah, terutama di rentang Rp2,1 juta--Rp3 juta (CNN Indonesia, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok rentan semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar mereka, sementara kelompok kaya cenderung tetap mampu mengakses barang dan jasa premium.
Fenomena ini juga mencerminkan partikularisme, di mana kebijakan cenderung lebih menguntungkan kelompok tertentu. Meskipun PPN 12 persen pada barang mewah diterapkan, kelompok kaya memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan gaya hidup mereka. Sebaliknya, kelompok rentan harus menanggung beban lebih besar karena pengeluaran mereka sebagian besar untuk kebutuhan pokok.
Peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan membutuhkan reformasi yang komprehensif. Pertama, pemerintah harus menegakkan hukum dengan tegas terhadap pelaku korupsi tanpa diskriminasi. Menurut Advenia Tricahya Wiyono (Binus, 24 Maret 2024), diskriminasi sering terlihat dari perbedaan cara aparat penegak hukum memberikan sanksi berdasarkan latar belakang ekonomi atau kekuasaan seseorang. Hukuman berat tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga menunjukkan komitmen pemerintah terhadap integritas dan keadilan.
Kedua, reformasi birokrasi harus menjadi prioritas utama. Sri Mulyani dalam Kompas (9 Juli 2007), seperti yang dikutip dalam buku Perjalanan Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan, menyatakan, "Anda semua tahu bahwa citra lembaga publik, termasuk Depkeu, kurang baik. Jadi tujuan utama kami (dengan reformasi birokrasi) adalah membangun trust, kepercayaan." Reformasi ini harus menanamkan nilai-nilai integritas dan tanggung jawab pada setiap pegawai. Pelatihan etika kerja serta pengawasan yang lebih ketat perlu diimplementasikan untuk menciptakan budaya kerja yang melayani masyarakat.Â
Ketiga, regulasi untuk membatasi gaya hidup mewah pegawai negara, seperti pembatasan kepemilikan barang mewah dan pengawasan aset, harus ditegakkan. Langkah ini dapat mencegah budaya flexing yang merusak citra lembaga pajak.
Keempat, pemerintah harus menyediakan laporan real-time mengenai penggunaan pajak untuk proyek-proyek sosial, seperti program makan siang gratis di sekolah atau kenaikan gaji guru. Ketika masyarakat dapat melihat manfaat langsung dari pajak yang mereka bayarkan, tingkat kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan akan meningkat.
Kelima, meningkatkan kepatuhan pajak melalui pengawasan yang lebih ketat. Laporan Bank Dunia menunjukkan tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah (Tempo, 2024). Dengan meningkatkan kepatuhan, pendapatan negara dapat meningkat tanpa membebani kelompok rentan.
Kesimpulannya, reformasi birokrasi dan kenaikan PPN adalah langkah penting, tetapi belum cukup untuk mengatasi permasalahan mendasar. Ketidakpercayaan publik akibat budaya flexing, kasus korupsi, dan eksklusi sosial harus segera diatasi melalui pendekatan reformasi yang lebih holistik. Jika masyarakat merasa pajak mereka dikelola secara transparan dan digunakan untuk kepentingan publik, kepercayaan akan pulih. Dengan begitu, negara dapat meningkatkan penerimaan pajak tanpa memperlebar ketimpangan sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI