Mohon tunggu...
Muhammad RidwanAziz
Muhammad RidwanAziz Mohon Tunggu... Guru - MAN 2 Kulon Progo

Melalui blog ini, saya berbagi pengalaman, tips, dan inspirasi dalam dunia pendidikan. Semoga tulisan-tulisan saya dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Terima kasih telah mengunjungi blog saya!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Budaya Copas di Kalangan Pelajar: Peluang atau Tantangan?

1 Desember 2024   07:33 Diperbarui: 1 Desember 2024   07:39 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Budaya Copas, memberikan tantangan atau peluang? (Sumber: Dok. Pribadi/Canva)

Budaya copy-paste (copas) di kalangan pelajar sering memunculkan perdebatan. Ada yang menganggapnya sebagai praktik yang tidak mendidik, sementara yang lain memandangnya sebagai konsekuensi logis dari era digital. Maka, bagaimana sebaiknya kita menyikapi fenomena ini?

Teknologi telah mengubah cara belajar siswa secara drastis. Dengan akses mudah ke informasi, copas kerap menjadi cara cepat untuk menyelesaikan tugas. Jika tidak diarahkan dengan baik, kebiasaan ini bisa melahirkan generasi yang kurang kritis dan hanya bergantung pada karya orang lain. Namun, budaya copas juga dapat menjadi peluang besar jika dikelola dengan bijak dan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa.

Sebagai seorang pendidik, saya melihat teknologi sebagai alat pembelajaran yang bermanfaat. Misalnya, saat mengajar tentang peta perubahan sosial, saya meminta siswa melakukan literasi digital dengan mencari artikel dari surat kabar atau jurnal ilmiah yang membahas potensi atau dampak perubahan sosial akibat pembangunan. Selain itu, mereka menggunakan Google Maps untuk mengenali peta lingkungan tempat tinggal mereka dan menggambarkan sebaran potensi perubahan sosialnya.

Teknologi berbasis kecerdasan buatan juga saya manfaatkan, seperti ChatGPT, untuk membantu siswa menyusun argumen debat dan merapikan tata tulis. Namun, proses ini tetap diawali dengan langkah manual. Siswa terlebih dahulu mengumpulkan data dari artikel surat kabar atau jurnal, menyusun argumen berdasarkan data tersebut, kemudian menggunakan ChatGPT untuk menyempurnakan struktur argumen. Selanjutnya, mereka diminta untuk menuliskannya di buku agar terjadi proses berpikir yang mendalam.

Praktik ini menunjukkan bahwa budaya copas bukanlah masalah jika dikelola dengan baik. Rasulullah SAW bersabda, "Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka, bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian." (H.R. Ali Bin Abi Thalib). Pesan ini menjadi dasar untuk membimbing siswa agar mampu memanfaatkan teknologi secara bijak. Mereka tidak hanya diajarkan untuk menyalin, tetapi juga untuk menganalisis, mensintesis, dan menciptakan karya baru yang bernilai.

Salah satu cara untuk mengelola budaya copas adalah dengan mengajarkan literasi digital. Literasi digital adalah kemampuan untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara kritis. Dengan membekali siswa keterampilan ini, mereka tidak hanya bergantung pada copas, tetapi juga memahami dan mengolah informasi yang mereka temukan. Literasi digital akan menjadi landasan untuk membantu mereka berpikir kritis di tengah melimpahnya informasi di era sekarang.

Budaya copas juga membuka peluang untuk mengajarkan nilai etika dalam menggunakan karya orang lain. Siswa dapat diajarkan untuk mencantumkan sumber, menghormati hak cipta, dan mengembangkan karya sendiri dari referensi yang ada. Hal ini membantu mereka menjadi individu yang lebih bertanggung jawab terhadap karya intelektual.

Di sisi lain, penggabungan teknologi dengan pengajaran konvensional akan menciptakan pembelajaran yang lebih efektif. Teknologi seperti ChatGPT dan Google Maps tidak menggantikan proses belajar, tetapi melengkapinya. Diskusi kelompok, eksplorasi lapangan, dan pembelajaran langsung tetap memiliki peran penting. Kombinasi keduanya memungkinkan siswa memperoleh pemahaman yang lebih holistik dan aplikatif.

Dengan pendekatan ini, saya telah melihat dampak positifnya. Siswa yang menggunakan metode ini dapat menyusun argumen dengan logis, memahami isu-isu sosial di lingkungannya, bahkan menghasilkan karya tulis yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa, dengan bimbingan yang tepat, teknologi tidak hanya menjadi alat untuk menyalin, tetapi juga sebagai sarana untuk memperdalam pengetahuan dan kemampuan berpikir kritis.

Pada akhirnya, budaya copas bukanlah musuh yang harus kita lawan, tetapi tantangan yang harus kita kelola dengan bijak. Dengan memberikan pembekalan yang tepat, kita dapat memanfaatkan budaya copas sebagai peluang untuk membentuk generasi yang kreatif, kritis, dan bertanggung jawab. Teknologi akan menjadi alat yang memfasilitasi, bukan menggantikan proses pembelajaran yang sesungguhnya. Dengan demikian, budaya copas dapat berkembang menjadi sarana untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik, seiring dengan perubahan zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun