Kelompok sosial adalah elemen fundamental dalam kehidupan manusia, yang melibatkan interaksi untuk mencapai tujuan bersama. Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW memberikan teladan yang luar biasa dalam membangun kelompok sosial yang harmonis dan solid. Salah satu momen penting yang mencerminkan hal ini adalah hijrah dari Makkah ke Madinah. Hijrah bukan hanya perpindahan fisik, tetapi juga langkah strategis untuk membangun ukhuwah Islamiyah — persaudaraan Islam yang mendalam. Ikatan inilah yang menjadi fondasi kuat bagi terciptanya masyarakat Madinah yang kokoh, inklusif, dan harmonis, sekaligus menjadi inspirasi bagi pembentukan solidaritas sosial di berbagai konteks kehidupan.
Transformasi Sosial Hijrah Rasulullah SAW
Ketika Rasulullah SAW memimpin hijrah ke Madinah, perpindahan itu bukan sekadar perubahan geografis, tetapi juga awal dari transformasi sosial yang mendalam. Tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengintegrasikan kaum Muhajirin, penduduk Makkah yang meninggalkan kampung halaman mereka demi Islam, dengan kaum Anshar, penduduk Madinah yang menjadi tuan rumah bagi mereka. Rasulullah SAW mengambil langkah revolusioner untuk menciptakan harmoni di antara kedua kelompok ini melalui ikatan persaudaraan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam.
Proses mempersaudarakan ini tidak hanya simbolik. Dalam Sirah Nabawiyah karya Syaikh Muhammad Ali Al-Harakan (2012), Ibnul Qayyim menuturkan bahwa Rasulullah SAW mempersaudarakan 90 orang dari kaum Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Melalui ikatan ini, mereka saling berbagi tanggung jawab, membantu secara finansial, bahkan mewarisi harta satu sama lain jika salah satu di antara mereka meninggal tanpa ahli waris. Ini bukan sekadar pembentukan komunitas, tetapi perwujudan nyata solidaritas berbasis iman.
Salah satu kisah yang sering diabadikan adalah persaudaraan antara Abdurrahman bin 'Auf dan Sa'd bin Ar-Rabi, seperti diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Sa'd, seorang Anshar yang kaya raya, menawarkan separuh hartanya kepada Abdurrahman, bahkan rela menceraikan salah satu istrinya agar Abdurrahman dapat menikahinya. Namun, Abdurrahman dengan penuh rasa syukur menolak tawaran itu, memilih memulai hidupnya kembali dengan usaha mandiri. Kisah ini menggambarkan keikhlasan kaum Anshar dalam memberikan dukungan tanpa pamrih kepada saudara-saudara Muhajirin mereka.
Lebih jauh, dalam tafsir Al-Qur’an Al-Adhim Imam Al-Hafidz Ibn Katsir yang dikutip oleh Muhammad Suaidi Yusuf dan Zalfa Nanda Oktaviani (2021), dijelaskan bahwa kaum Anshar tidak pernah merasa iri terhadap keutamaan yang Allah berikan kepada kaum Muhajirin. Mereka dengan ikhlas menempatkan kepentingan saudaranya di atas kebutuhan pribadi mereka sendiri. Dalam hati mereka, hanya ada cinta, kepedulian, dan kemuliaan yang tercermin dalam tindakan nyata.
Perspektif Solidaritas Sosial Menurut Emile Durkheim
Dalam perspektif sosiologis, fenomena ini mencerminkan teori solidaritas sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Menurut Durkheim dalam Witri Safitri (2023) solidaritas sosial adalah ikatan yang menghubungkan individu-individu dalam suatu komunitas. Durkheim membagi solidaritas ini menjadi dua jenis: solidaritas mekanis dan solidaritas organis.
Pada masa awal hijrah, persaudaraan Muhajirin dan Anshar adalah contoh nyata solidaritas mekanis. Ikatan ini didasarkan pada kesamaan keimanan, tujuan, dan nilai-nilai moral yang kuat. Meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, visi bersama untuk membangun masyarakat Islam yang ideal menyatukan mereka.
Namun, seiring berkembangnya masyarakat Madinah menjadi lebih kompleks, hubungan mereka berevolusi menjadi solidaritas organis. Di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, Madinah menjadi pusat peradaban yang terorganisasi dengan pembagian peran sosial yang jelas. Kaum Muhajirin yang awalnya bergantung pada kemurahan hati Anshar, kemudian berkontribusi melalui perdagangan, politik, dan keahlian lainnya. Perbedaan peran ini tidak memecah-belah, tetapi justru memperkuat jaringan sosial yang mendukung kelangsungan masyarakat Madinah.