Hai kompasiana,
Semarak Merdeka Belajar – Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca beberapa artikel mengenai defisit lapangan pekerjaan di mana para lulusan baru dari perguruan tinggi dipandang tidak mempunyai skill yang cukup dan tidak lagi mampu untuk memenuhi tuntutan industri. Dampaknya tidak tanggung-tanggung, menurut Menaker, jumlah penganggur di level diploma dan sarjana mencapai 12 persen. Angka yang cukup mengkhawatirkan, terutama bagi para mahasiswa sendiri maupun pihak keluarga yang berharap bisa memperbaiki kondisi perekonomian pasca kelulusan anaknya.
Kondisi ini semakin menunjukkan tingkat kedaruratannya saat Pak Muhadjir Effendi, Menko PMK, menekankan pentingnya para lulusan perguruan tinggi untuk menciptakan Iapangan kerja sendiri sebagai langkah untuk merampingkan jumlah pengangguran di Indonesia. Lemhanas juga turut memperkuat statement ini dengan menyatakan kalau UU Ciptaker menjadi wacana kebijakan penting untuk mempercepat daya serap tenaga kerja di Indonesia. Tapi apakah benar permasalahan yang muncul selama ini hanya berasal dari skill gap antara kebutuhan industri & keahlian para lulusan baru?
Mempertanyakan hal ini, saya menemukan satu isu yang cukup relevan dengan apa yang saya dapati di perkuliahan. Irene Guntur, ahli Educational Psychologist dari Integrity Development Flexibility (IDF), mengatakan bahwa ada 87 persen mahasiswa di Indonesia yang merasa salah jurusan. Faktornya awalnya beragam, dari mulai mengikuti teman, terlalu banyak menerima saran, tawaran beasiswa, tuntutan orangtua, atau hanya mencari peluang untuk memperbesar potensi diterima.
Permasalahan-permasalahan di atas sebenarnya menunjukan satu benang merah yang menjadi permasalahan mendasar di dunia pendidikan kita. Para pelajar, termasuk saya, tidak mengetahui apa yang sebenarnya diminati, profesi apa yang ingin ditekuni, dan apa yang harus dipelajari untuk memasuki profesi tersebut nantinya. Maka wajar saja jika setelah memasuki bangku perkuliahan, banyak mahasiswa yang merasa salah jurusan dan menjalani perkuliahan dengan sekenanya saja.
Stagnasi pendidikan dan agilitas yang terbatas
Saat menulis ini, saya teringat ucapan seorang rekan yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah alam. Katanya, “Cara kita belajar di sekolah dulu memang kurang efektif. Kita menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari dan mendapat nilai bagus di pelajaran-pelajaran yang sebenarnya belum tentu akan dipakai di hidup kita.”
Di akhir kalimatnya, rekan saya ini berujar, “Kita tidak pernah dapat kesempatan untuk mengeksplorasi apa yang kita minati. Akhirnya ya wajar saja kalau kita jadi salah jurusan.”
Sebuah rangkaian kalimat non-populis yang bisa kita perdebatkan, tentu, meski di sisi lain kalimat di atas saya rasa ada benarnya. Selama menjalani program wajib belajar 12 tahun, saya pribadi merasa bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah hanya pada bidang yang cenderung statis dan itu-itu saja tanpa pernah menyentuh ranah praktis. Bahkan seingat saya, tidak pernah sekalipun ada bahasan terkait keprofesian di bangku sekolah. Bahasan keprofesian justru baru terdengar di bangku perkuliahan saat semuanya sudah ‘terlambat’.
Permasalahan ini menjadi semakin tidak sederhana ketika mindset yang terbentuk di benak mahasiswa selama berkuliah masih sama seperti apa yang dimiliki saat sekolah dulu. Proses perkuliahan masih dianggap sebagai proses belajar-mengajar seperti biasa yang keberhasilannya ditakar dari nilai yang didapatkan, bukan dari kedalaman penguasaan keilmuan dan penelitian yang dihasilkan. Maka wajar saja jika Plt Dirjen Dikti, Prof Nizam, menyatakan kalau perguruan tinggi selalu tertinggal minimal 5 tahun dari industri, atau dengan kata lain, keahlian lulusan perguruan tinggi selalu tidak relevan dengan kebutuhan lapangan tenaga kerja saat itu.
Proses pendidikan menjadi stagnan dan lembaga pendidikan kehilangan agilitasnya untuk mengikuti perkembangan dunia industri.
Merdeka Belajar, Magang Merdeka, dan Masa Depan Pendidikan
Berbicara tentang kualitas lulusan perguruan tinggi, memang ada perbedaan yang signifikan antar lulusan saat memasuki dunia industri, dan ini semua bergantung pada jalur yang ditempuh selama perkuliahan.
Di zaman saya masih berkuliah sekitar 4 tahun yang lalu, mahasiswa bisa dikelompokkan pada 3 kategori umum: mahasiswa yang hanya berfokus pada akademik saja, mahasiswa yang berorganisasi, dan mahasiswa yang berkuliah sambil bekerja atau magang saat ada waktu senggang. Dari ketiga kelompok di atas, saya menemukan bahwa mahasiswa di kelompok yang ketiga cenderung memiliki aspirasi karir & masa depan yang lebih matang dari dua kelompok lainnya.
Mereka sudah mengetahui apa yang harus dilakukan, keahlian apa yang harus dicari, serta timeline yang lebih matang, sedangkan mahasiswa di kelompok yang pertama dan kedua masih berfokus pada kehidupan "saat itu" dan belum mempersiapkan diri untuk berkarir sama sekali. Ini tentu bukan hal yang salah, akan tetapi jika dibandingkan, tentu kelompok pertama dan kedua bisa dikatakan "cenderung" kurang menarik di pasar tenaga kerja. Alasannya sederhana: ketertinggalan, baik dari segi pengetahuan maupun keahlian terapan yang dimiliki jika dibandingkan dengan kelompok ketiga.
Menurut hemat penulis, perbedaan antara ketiga kelompok tadi bukan lahir dari aktivitas belajar- mengajar di kelas, melainkan muncul dari intensitas paparan yang berbeda terhadap industri dan realitas dunia kerja di luar kampus. Keterlibatan mahasiswa dalam praktik magang menjadi kunci utama yang membuat 'gap' antara kelompok ketiga dengan kelompok pertama dan kedua menjadi sangat lebar.
Bagi kelompok ketiga, dunia kerja dengan segala problematikanya sudah menjadi bagian dari keseharian, sedangkan bagi kelompok pertama dan kedua termasuk saya, rasanya seolah-olah tengah mengulang kembali siklus yang didapati saat lulus dari jenjang SMA dulu, dan tentu permasalahan ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami saat harus bersaing untuk memasuki dunia kerja.
Siklus permasalahan yang dihadapi para pelajar ini sepertinya mulai mendapatkan tanggapan serius dari kementerian pendidikan dengan dihadirkannya konsep merdeka belajar. Dalam konsep ini, para pelajar diberikan keleluasaan untuk memilih pelajaran yang diminati agar mereka bisa mengoptimalkan minat dan bakatnya. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi dunia pendidikan di indonesia, terutama dengan turut dihadirkannya juga program magang merdeka yang terbuka bagi setiap orang. Hal ini tentu bisa menjadi solusi atas keresahan yang sudah saya paparkan di atas, meski demikian, program magang merdeka ini masih belum mampu untuk mengurai permasalahan yang ada secara utuh.
Sampai dengan hari ini, program magang merdeka masih menyasar jenjang mahasiswa sebagai target utama dalam pengimplementasiannya. Mahasiswa yang telah mendekati fase akhir pendidikan diberikan ruang di perusahaan-perusahaan plat merah untuk merasakan pengalaman bekerja agar bisa memilah profesi mana yang akan digeluti setelah kelulusan nanti.
Akan tetapi untuk para siswa di jenjang yang lebih rendah, proses pencarian minat dan bakat yang menjadi dasar dari proses penentuan pembelajaran apa yang akan mereka lalui ke depan masih ditumpukan pada mata pelajaran-mata pelajaran yang tersedia di sekolah tanpa adanya sentuhan-sentuhan keprofesian sedikitpun. Pada akhirnya, para siswa masih berada pada zona abu-abu saat harus memilih kampus dan jurusan tanpa tahu di mana ujung dari proses pembelajaran yang akan mereka lalui.
Menurut hemat penulis, program magang merdeka perlu diperluas cakupannya ke jenjang yang lebih rendah. Akan tetapi pertanyaannya, bagaimana magang ini harus berjalan? Ada beberapa gagasan yang akan penulis uraikan di bawah.
Pertama, orientasi. Jika magang merdeka yang ada saat ini hanya berfokus pada penyiapan tenaga kerja, maka untuk jenjang yang lebih rendah seperti SMA, orientasi magang lebih difokuskan pada pencarian minat & bakat siswa serta pengenalan profesi saja. Darinya, para siswa memiliki kesempatan untuk mempersiapkan diri lebih awal, termasuk dalam memilih kampus & jurusan apa yang relevan untuk mereka masuki.
Kedua, format program. Jika pada program eksisting hari ini, mahasiswa hanya diberikan kesempatan untuk memasuki satu profesi saja, maka untuk jenjang di bawahnya, para siswa harus mendapatkan kesempatan memasuki berbagai jenis profesi sebanyak mungkin. Oleh karena itu, bentuk program dapat dimasukkan ke dalam kurikulum dan menjadi bagian dari rancang bangun program merdeka belajar di sekolah-sekolah umum. Darinya, para siswa bisa mendapatkan wawasan yang lebih luas lagi.
Ketiga, program kuliah magang. jika sebelumnya magang hanya berfokus pada keprofesian, maka untuk jenjang SMA, program kuliah magang diperlukan untuk menjembatani dua tahapan sebelumnya. Di tahap ini, para siswa diberikan kesempatan untuk mencicipi rasanya belajar di jurusan yang diinginkan. Hal ini bertujuan untuk 'mengonfirmasi’ pilihan jurusan dan relevansinya dengan profesi yang dituju.
Keempat, pendampingan keprofesian. Hal ini serupa dengan program konseling di sekolah selama ini, hanya saja fokus dari konseling yang perlu diperluas. Jika selama ini konseling hanya terbatas pada bahasan tentang jurusan apa yang berpeluang paling tinggi untuk dimasuki lewat jalur SNBP, guru konseling harus mulai mampu untuk mendampingi pilihan keprofesian siswa. Peran konseling menjadi sangat penting terutama dalam menguatkan keyakinan siswa dan memotivasi siswa untuk bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.
Dan yang terakhir, kolaborasi antar pihak terutama pemerintah, sekolah, industri dan para profesional, masyarakat, serta para orang tua sangat dibutuhkan dalam mengurai permasalahan ini. Dengan adanya kolaborasi yang baik antar elemen, program merdeka belajar diharapkan bisa terimplementasi dengan baik dan terus berkembang secara berkesinambungan. Harapannya di masa depan nanti, tidak ada lagi permasalahan-permasalahan pendidikan seperti salah jurusan dan lulusan yang tidak mampu terserap kerana tidak memiliki relevansi dengan kebutuhan dunia kerja.
Lalu pada akhirnya, semoga saja program merdeka belajar bisa benar-benar memerdekakan para pelajar dari belenggu keterbatasan informasi yang membuat mereka tidak mampu bersaing dengan optimal di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H