Mohon tunggu...
Muhammad Awaludin
Muhammad Awaludin Mohon Tunggu... Pustakawan - Mahasiswa UINWS'19 IG: lakopolone

NIM: 1903016076

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Perkembangan Sosial-Emosional Pada Perilaku Anak Usia Dini

16 April 2021   17:58 Diperbarui: 16 April 2021   18:28 7028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

FITK; UIN Walisongo

Prodi; Pendidikan Agama Islam

Muhammad Awaludin (1903016076)

PENDAHULUAN

Perkembangan merupakan proses yang pasti dialami oleh setiap individu, perkembangan ini merupakan proses kualitatif dan berkaitan dengan kematangan individu dalam hal perubahan yang progresif dan sistematis pada manusia. Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang sistematis, progresif dan berkesinambungan pada diri seseorang sejak lahir sampai akhir hayatnya atau dapat juga diartikan sebagai perubahan yang dialami oleh seseorang menuju suatu tingkat kedewasaan atau kematangan. 

Sedangkan emosi berasal dari kata Emotus atau Emovere yang artinya sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, misalnya emosi gembira yang mendorong tawa. Emosi sedih mendorong untuk menangis. Emosi diwakili oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau ketidaknyamanan dengan keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Emosi juga bisa berbentuk sesuatu yang spesifik seperti kesenangan, ketakutan, amarah dan lain sebagainya tergantung dari interaksi yang dialami.

Perkembangan sosial emosional merupakan salah satu aspek perkembangan yang sangat penting bagi setiap anak karena merupakan salah satu faktor penentu kesuksesannya di masa depan. 

Masa usia dini merupakan masa keemasan untuk setiap aspek perkembangan, termasuk aspek sosial emosional. Maka dari itu, proses tumbuh kembang anak harus selalu diperhatikan agar berjalan dengan optimal. 

Perkembangan sosial emosional ini bertujuan agar anak memiliki kepercayaan diri, kemampuan bersosialisasi, dan kemampuan mengendalikan. Maka berdasarkan Teori Erikson (1950), perkembangan sosial emosi anak usia prasekolah meliputi dua tahapan penting. Yaitu tahap autonomy vs shame/doubt, dan tahap initiative vs guilt.

PEMBAHASAN

Anak-anak memiliki beberapa aspek perkembangan, salah satunya adalah aspek sosial-emosional. Meski sosial dan emosional adalah 2 istilah yang memiliki makna yang berbeda, tetapi sebenarnya aspek sosial emosional ini tidak dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan kedua aspek ini saling bersinggungan satu sama lain (Mulyani, 2014: 145). Menurut Dodge, Colker, dan Heroman (2002) dalam Hildayani (2009: 10.3), Pada masa kanak-kanak awal perkembangan sosial emosional hanya seputar proses sosialisasi. 

Dimana anak belajar mengenai nilai-nilai dan perilaku yang diterimanya dari masyarakat. Pada masa ini, terdapat tiga tujuan perkembangan sosial emosional. Pertama, mencapai pemahaman diri (sense of self) dan berhubungan dengan orang lain. Kedua, bertanggungjawab atas diri sendiri yang meliputi kemampuan mengikuti aturan dan rutinitas, menghargai oranglain, dan mengambil inisiatif. Ketiga, menampilkan perilaku sosial seperti empati, berbagi, dan mengantri dengan tertib.

Berdasarkan Teori Erikson (1950), perkembangan sosial emosi anak usia dini meliputi dua tahapan penting. Pertama, adalah tahapan autonomy vs shame/doubt atau yang juga dikenal sebagai kemandirian vs malu/ragu. Tahapan ini terjadi ketika anak berada pada usia 1-3 tahun. 

Pada tahap ini anak memiliki kemampuan untuk dapat mengendalikan diri (self-regulation), dan anak-anak secara signifikan meningkatkan jumlah istilah yang mereka gunakan untuk menggambarkan emosi. Oleh karenanya, anak perlu diberikan peluang untuk melakukan sendiri apa saja yang bisa dilakukan tanpa dibantu orang lain sehingga proses pembentukan kemandiriannya dapat berjalan dengan baik. 

Orang tua sebaiknya tidak terlalu banyak melarang dan memarahi karena dapat membuat anak merasa tidak mampu dan ragu dengan kemampuan dirinya. Akibatnya, rasa percaya diri anak akan sulit untuk tumbuh.

Tahapan kedua yaitu initiative vs guilt yang juga disebut sebagai tahap inisiatif vs rasa bersalah yang berlangsung pada usia 3–6 tahun. Pada tahap ini anak aktif bereksperimen, berimajinasi, berani mencoba, berani mengambil risiko, dan senang bergaul dengan temannya. Apabila anak pada masa ini sering dikritik maka emosi yang timbul adalah negatif, merasa apa yang dikerjakan selalu salah sehingga anak cenderung bersikap apatis (kurang antusias), takut salah, dan tidak berani mencoba atau mengambil risiko. (Ani;2016)

Perkembangan sosial emosional erat kaitannya dengan interaksi, baik dengan sesama atau benda-benda lainnya. Jika interaksinya tidak baik, maka pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi tidak optimal. Namun kebanyakan orangtua kurang memerhatikan hal tersebut pada anak padahal perkembangan sosial emosional setiap anak berbeda. Dalam hal ini peran pendidik baik orangtua/guru sangat diperlukan untuk memahami perkembangan sosial emosional pada anak agar mereka dapat mengembangkan kemampuannya dengan baik. Untuk itu dibutuhkan optimalisisasi dalam proses tumbuh kembang emosional anak. 

Dalam Optimalisasi perkembangan sosial emosional ini ditentukan oleh kualitas kerjasama antara orangtua, guru, dan lingkungan (Wahyuni dkk 2015:2). Untuk itu optimalisasi perkembangan sosial emosional tersebut dapat dilakukan dengan mulai mengajak anak mengenal dirinya sendiri dan lingkungan.  

Proses pengenalan ini dapat berupa interaksi anak dengan keluarga yang akan membuat anak belajar membangun konsep diri. Juga dapat dengan cara bermain bersama teman sebaya yang akan melatih dan meningkatkan kemampuan sosialisasi anak. Berikut ini kegiatan pembelajaran yang sesuai untuk mengembangkan aspek sosial-emosional anak usia dini;

1. Metode Keteladanan

Pembelajaran dengan melalui keteladanan adalah pembelajaran melalui contoh-contoh yang baik, dapat diterima oleh masyarakat, dan sesuai dengan standar dan sistem nilai yang berlaku. Metode ini efektif diterapkan pada anak melalui proses pencontohan dan peniruan. Kegiatan keteladanan dapat ditularkan kepada anak usia dini untuk mengembangkan sosial-emosional antara lain;

  1. Keteladanan dalam beribadah, seperti adab dalam berdoa dan sholat.
  2. Keteladanan yang berhubungan dengan oranglain, seperti cara menyapa, cara meminta, cara berkomunikasi, dan tata krama.
  3. Keteladanan dalam menyelesaikan masalah, seperti bersabar, bersemangat, dan displin.
  4. Teladan dalam berpakaian, seperti berpakaian ke sekolah, berpakaian melayat orang yang meninggal, dan berpaaian beribadah.
  5. Teladan gaya hidup, yaitu tidak boros, sederhana, suka menabung, dan lain-lain.
  6. Teladan cara belajar, seperti pemanfaatan waktu belajar, adab belajar, dan sebagainya. (Nurjanah;2017)

2. Metode Mendongeng atau Bercerita

Mendongeng adalah suatu kegiatan yang bersifat professional, karena membutuhkan keahlian khusus, seperti mengatur gaya dan intonasi ketika bercerita agar membuat anak tertarik untuk mendengarkan dan memahami cerita atau dongeng yang disampaikan. Nilai yang terkandung dalam dongeng pun harus di bungkus dengan sebaik mungkin, baru setelah selesai mendongengkan pendidik menjelasakan nilai tersebut (Santoso, 2011)

3. Metode Bermain Kooperatif

Bermain kooperatif dapat meningkatkan perilaku kerjasama dan membantu anak untuk tidak berperilaku agresif. Selain itu, bermain jenis ini dapat meningkatkan rasa penghargaan pada teman sebaya, pada diri sendiri, dan ketrampulan sosial lainnya (Wardany dkk;2016).

Dalam hal memahami emosi, anak antara usia 2-4 tahun secara signifikan mulai menggunakan jumlah istilah yang mereka gunakan untuk menggambarkan emosi. Selama rentang tersebut mereka juga belajar tentang penyebab dan konsekuensi dari perasaan. 

Ketika anak berusia 4-5 tahun, anak-anak menunjukkan peningkatan kemampuan untuk merefleksikan emosi. Mereka juga mulai memahami bahwa peristiwa yang sama akan menimbulkan perasaan yang berbeda pada orang yang berbeda. Dan pada usia anak 5 tahun, sebagian besar anak-anak dapat secara akurat menentukan emosi yang dihasilkan oleh keadaan-keadaan yang menantang dan menggambarkan strategi yang dapat mereka gunakan untuk mengatasi stres sehari-hari. Adapun pengaturan emosi pada anak merupakan aspek penting perkembangan. Pengaturan emosi pada anak dilatih oleh orangtua. (Sukatin;2019)

Orangtua memiliki peran penting dalam kehidupan anak terutama membantu anak dalam mengelola emosi merekat. Hal tersebut tergantung bagaimana mereka berbicara dengan anak-anak tentang emosi, orang tua dapat mengambil pendekatan melatih emosi atau mengabaikan emosi. 

Perbedaan kedua pendekatan tersebut paling mudah dilihat dari cara orangtua mengatasi emosi negatif anak-anak (kemarahan, frustasi, kesedihan, dan sebagainya). Orangtua yang melatih emosi (emotion coaching parents) memantau emosi anak-anak mereka, melihat emosi negatif anak-anak mereka sebagai kesempatan untuk mengajar mereka, membantu mereka untuk melabeli emosi, dan melatih mereka untuk menangani emosi secara efektif. 

Sebaliknya, orangtua yang mengabaikan emosi (emotion dismissing parents) terlihat dari perilaku mereka yang menolak, mengabaikan, atau mengubah emosi negatif. Anak-anak dari orangtua yang melatih emosi lebih baik dalam menenangkan diri mereka sendiri ketika marah, lebih efektif dalam mengatur emosi negatif mereka, lebih baik dalam memfokuskan perhatian mereka, dan memiliki lebih sedikit masalah perilaku dibandingkan anak-anak dari orangtua yang mengabaikan emosi terkait dengan pengaturan emosi anak-anak yang buruk.

Selain itu dapat diketahui bahwa kelekatan ibu mendukung kualitas adaptasi sosial sebagai teman pada anak usia dini. Kelekatan ibu-anak menyediakan fondasi yang positif dan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan sosialisasi anak. 

Anak yang merasa yakin terhadap penerimaan lingkungan akan mengembangkan kelekatan yang aman dengan figur lekatnya (secure attachment) dan mengembangkan rasa percaya tidak saja pada ibu namun juga pada lingkungan. Usia dini adalah masa kritis bagi anak untuk menumbuhkan rasa percaya (trust). Jika rasa percaya ini gagal tumbuh pada masa ini maka yang terbentuk pada diri anak adalah rasa tidak percaya (mistrust). Rasa percaya ini adalah fondasi bagi perkembangan sosial emosi yang sehat pada tahap selanjutnya. (Ani dkk;2016).

Pengaturan emosi dan hubungan dengan teman sebaya, emosi memainkan peran yang kuat dalam menentukan keberhasilan hubungan dengan teman sebaya pada anak. Secara khusus, kemampuan untuk mengatur emosi seseorang merupakan keterampilan penting yang berguna bagi anak-anak pada hubungan mereka dengan teman sebayanya. Anak-anak yang memiliki suasana hati yang berubah-ubah dan emosi negatif lebih mungkin mengalami penolakan oleh teman sebaya mereka, sedangkan anak-anak secara emosi lebih positif akan lebih bisa mengontrol emosi nya.

Adapun karakteristik emosi pada anak:

a. Berlangsung secara singkat, dan berakhir secara tiba-tiba

b. Memiliki volume yang lebih kuat atau tinggi dari orang dewasa

c. Bersifat sementara

d. Lebih sering terjadi daripada orang dewasa. (Sukatin dkk;2019)

Dalam membimbing perkembangan sosio-emosional anak, dapat dilakukan dengan strategi sebagai berikut;

1. Menemukan situasi yang dapat membantu mereka dalam mengembangkan emosi

2. Sajikan model moral yang positif bagi anak-anak dan gunakan situasi emosional untuk meningkatkan perkembangan moral.

3. Beri anak kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya.

4. Monitor kegiatan tontonan anak seperti televisi atau dari sosial media. Jaga agar apapun kekerasan televisi dan sosial media tetap minimum dan harus sebatas yang ditonton usia anak.(Sukatin dkk;2019)

KESIMPULAN

Perkembangan sosial emosional merupakan salah satu aspek perkembangan yang sangat penting bagi setiap anak karena merupakan salah satu faktor penentu kesuksesannya di masa depan. Perkembangan sosial emosional erat kaitannya dengan interaksi, baik dengan sesama atau benda-benda lainnya. Jika interaksinya tidak baik, maka pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi tidak optimal. 

Berdasarkan Teori Erikson (1950), perkembangan sosial emosi anak usia prasekolah meliputi dua tahapan penting. Yaitu tahap autonomy vs shame/doubt, dan tahap initiative vs guilt. Adapun kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan sosial emosional anak antara lain; metode keteladanan, metode dongeng, metode bermain kooperatif.

DAFTAR PUSTAKA

Ani. 2016. Kelekatan Ibu-Anak, Pertumbuhan Anak, dan Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia PraSekolah. Jurnal Ilmu Keluarga & Konseling. Vol.9 No. 3

Hildayani, Rini, dkk. 2009. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Universitas Terbuka.

Mulyani, Novi. 2014. Upaya Meningkatkan Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini. Jurnal Raushan Fikr. Vol. 3 (2), hlm. 133-147.

Nurjannah. 2017. Mengembangkan Kecerdasan Sosial Emosional Anak Usia Dini melalui Keteladanan. Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam. Vol.14 (1).

Santoso, Soegeng. 2011. Dasar-Dasar Pendidikan TK. Jakarta: Universitas Terbuka.

Sukatin dkk. 2019. Analisis Psikologi Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia  Dini. Institut Agama Islam Nusantara Batanghari, Jambi Volume VI. No 2 Juli-Desember 2019

Wahyuni, S., Syukri, M., dan Miranda, D. 2015. Peningkatan Perkembangan Sosial Emosional melalui Pemberian Tugas Kelompok pada Anak Usia 5-6 Tahun. Pontianak: Universitas Tanjungpura,

Wardany, dkk. 2016. Aktivitas Bermain Kooperatif Meningkatkan Perkembangan Sosial-Emosional Anak. FKIP;Universitas Lampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun