Pengaruh Islam dalam sejarah politik Indonesia sangat mendalam dan telah membentuk fondasi politik, sosial, dan budaya bangsa sejak awal kedatangannya. Islam datang ke Nusantara secara bertahap, membawa perubahan tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga mempengaruhi tatanan sosial dan struktur politik di kerajaan-kerajaan lokal. Peran Islam dalam politik Indonesia kemudian terus berkembang, mulai dari era pra-kolonial, masa perlawanan terhadap penjajah, hingga era kemerdekaan dan reformasi. Bahkan hingga saat ini, pengaruh Islam tetap dominan dalam pemikiran politik kontemporer di Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki karakteristik yang unik. Meskipun tidak berbentuk negara Islam, peran Islam sangat kuat dalam kehidupan politik bangsa ini, yang tercermin dalam berbagai kebijakan publik, regulasi, ekonomi, hingga hubungan internasional. Pada artikel ini, kita akan membahas secara lebih mendalam bagaimana Islam mempengaruhi pemikiran politik Indonesia, mulai dari sejarah kedatangannya, peranannya pada masa penjajahan, pengaruhnya pada proses kemerdekaan, hingga kehadirannya dalam politik kontemporer yang penuh dengan tantangan baru.
Kedatangan Islam pada Masa Pra-Kolonial: Awal Pengaruh di Nusantara
Islam mulai memasuki Nusantara pada abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi, melalui jalur perdagangan yang melewati Asia Tenggara. Para pedagang Muslim dari Gujarat, India, Persia, dan Arab datang ke pelabuhan-pelabuhan di Sumatera, Jawa, Maluku, hingga Kalimantan. Jalur perdagangan ini memungkinkan para pedagang Muslim untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat lokal, yang secara bertahap mengadopsi agama ini. Selain berdagang, para pedagang Muslim juga memperkenalkan cara hidup, nilai-nilai, dan ajaran Islam kepada para raja dan masyarakat setempat. Penyebaran Islam ini bukan melalui paksaan, tetapi lebih kepada pendekatan damai melalui pernikahan, perdagangan, dan hubungan diplomatik antara para pedagang Muslim dengan penguasa lokal.Â
Kesultanan Samudera Pasai di Sumatera menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara yang berdiri sekitar abad ke-13. Kerajaan ini menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Sumatera dan menjadi pengaruh besar dalam perkembangan Islam di kawasan tersebut. Selain Samudera Pasai, berdirinya Kesultanan Malaka dan Demak juga memperkuat penyebaran Islam di Nusantara, terutama di Jawa dan semenanjung Malaka. Kesultanan Malaka menjadi pusat perdagangan internasional yang memfasilitasi pertemuan antara pedagang Muslim dan masyarakat lokal, sedangkan Kesultanan Demak di Jawa menjadi pusat penyebaran Islam melalui tokoh-tokoh Wali Songo yang menggunakan pendekatan budaya lokal untuk menyebarkan agama.
Islam di masa ini tidak hanya membawa perubahan keagamaan tetapi juga mengubah struktur politik dan sosial di kerajaan-kerajaan lokal. Penguasa kerajaan yang memeluk Islam juga membawa prinsip-prinsip Islam ke dalam pemerintahan mereka, termasuk penerapan hukum Islam dalam sistem hukum kerajaan. Perubahan ini terlihat nyata di Kesultanan Aceh yang menerapkan syariat Islam dalam hukum negara, mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik sesuai dengan ajaran Islam. Di Jawa, Islam juga menjadi identitas politik dan budaya yang kuat dengan didukung oleh Wali Songo yang menggunakan pendekatan budaya, kesenian, dan adat istiadat untuk menarik masyarakat lokal. Dengan begitu, Islam menyatu dengan tradisi Nusantara, menjadikannya agama yang diterima luas dan menjadi identitas baru masyarakat.
Masa Kolonial: Islam sebagai Simbol Perlawanan terhadap Penjajahan
Kedatangan kolonial Eropa, terutama Belanda, membawa perubahan besar dalam politik dan sosial masyarakat di Nusantara. Penjajah Belanda tidak hanya ingin menguasai sumber daya alam Nusantara, tetapi juga mengendalikan pengaruh Islam yang mulai berkembang. Untuk itu, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan yang membatasi kegiatan keagamaan Islam, terutama yang berkaitan dengan politik. Mereka khawatir bahwa Islam dapat memobilisasi perlawanan rakyat, sehingga mereka melakukan kontrol ketat terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan.
Namun, pembatasan ini justru mendorong munculnya gerakan perlawanan yang berbasis Islam. Salah satu organisasi perlawanan yang muncul adalah Sarekat Islam (SI), didirikan pada tahun 1912 oleh Haji Samanhudi dan kemudian dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto. Pada awalnya, SI adalah organisasi perdagangan yang bertujuan melindungi para pedagang pribumi dari persaingan dengan pedagang asing, terutama Tionghoa. Namun, SI berkembang menjadi organisasi politik yang berperan dalam pergerakan nasional melawan Belanda. SI membawa konsep solidaritas umat Islam atau pan-Islamisme, yang bertujuan untuk menyatukan umat Islam dalam melawan penjajahan.
Selain Sarekat Islam, muncul juga organisasi keagamaan lain yang berperan dalam pendidikan dan kebangkitan nasional, seperti Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, dan Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1926. Muhammadiyah berfokus pada pembaruan pendidikan dan kesehatan, sementara NU mengedepankan penguatan nilai-nilai tradisional dan keislaman yang moderat. Kedua organisasi ini memainkan peran penting dalam membentuk identitas Islam di Indonesia serta memberikan fondasi bagi gerakan perlawanan nasional.
Dalam konteks ini, Islam tidak hanya menjadi agama tetapi juga simbol perlawanan dan identitas nasional. Para pemimpin Islam di masa kolonial sadar bahwa Islam memiliki kekuatan besar untuk memobilisasi rakyat, dan mereka menggunakan kekuatan ini untuk melawan penjajahan. Gerakan perlawanan yang berbasis Islam ini memberikan dasar bagi pemikiran politik Islam di Indonesia yang terus berkembang hingga masa kemerdekaan.