Mohon tunggu...
Muhammad Asmar Joma
Muhammad Asmar Joma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sunan Klijaga

setidaknya kita pernah mengisi dunia ini dengan kata-kata perlawanan terhadap kekuasaan bahwa masih ada ketidakadilan di negara ini.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Metafisika Politik Dan Pendidikan Dalam Guncangan Post-Truth Serta Polarisasi Sosial di Maluku Utara

6 Desember 2024   10:28 Diperbarui: 6 Desember 2024   12:07 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Metafisika Politik 

Politik identitas menjadi semakin menarik sebagai fenomena yang terjadi di ruang public, Indonesia salah satu negara yang paling kuat dengan pertarungan identitas primordial juga politik identitas instrumental  dalam ruang domokrasi. Hal yang sama  terjadi di Maluku Utara. Dinamika tersebut mempengaruhi hubungan berbagai kelompok sosial tetapi juga menciptakan peluang dan tantangan yang meretakan jalannya  pembagunan sosial dan kesejahteraan.

Saya percaya bahwa politik tidak selalu mengacu pada strategi yang mengedepankan kepentigan identitas eloktoral mengorbakan dan menghalalkan segala cara. Metafisika demokrasi kita saat ini kehilangan nilai dan keyakinan terhadap cita-cita bangsa, maka kemungkinan dari fakta itu menghadirkan pemimpin yang tidak kredibel. Secara ontology, suku, agama, ras, yang menjadi sebuah makna penting dalam kehidupan masyarakat, juga keluar dan menjadi kekuatan yang singnifikan dalam dalam proses demokrasi. Konsekuensi dari itu, actor politik dan kelompok-kelompok sosial memanfaatkan suku, agama, ras, sebagai instrumen kepentingan mereka. Bukankah hal itu terlalu konyol.

Situasi semacam itu membikin frustasi. Harapan rakyat dari momentum pemilihan presiden, guburnur, bupati, mampu menghasilkan pemimpin yang membawa kesejahteraan sebagai cita-cita bersama, namun mereka memiliki keberatan terhadap jalannya demokrasi yang berangkat dari kenyataan bahwa pembagunan sosial, ekonomi dan politik menjadi proyek jangka pendek.

Politik identitas primordial ( etnis/ ras) menjadi terlihat kerap kali dimainkan oleh aktor politik lokal dalam pelaksanaan pemilihan gubernur dan bupati pada tanggal 27 november kemarin. Pengunaan atas nama etnis, ras selalu saja dipakai dalam proses pemilihan kepala daerah di Maluku Utara. Atas nama etnis, ras, mereka mengkerdilkan identitas lain sehingga apa, kesakralan identitas etnis kehilangan nilai dalam kehidupan masyarakat. Sangat terlihat simbol-simbol etnis dipakai untuk menggambarkan identitas, juga mempengaruhi ruang publik, medium ini ditunjukan dengan berbagai bentuk yang bisa kita lihat. Sentimen ke'suku'an dianggap sesuatu yang lumra terjadi dalam suasana politik bahkan dalam konflik yang berbedah. Tentunya benturan identitas etnis digiring masuk pada dunia maya, hal itu terjadi atas desain aktor yang memanfaatkan momen, yang terjadi adalah pertarungan opini identitas suku. Akibatnya pengelompokan identitas dengan muda terjadi, ideologi kelompok memandang kelompok yang lain tidak lagi berada pada posisi egaliter.

Belum juga dengan politik identitas instumental (agama) yang kuat terjadi dalam suasana menjelang pemilihan kepada daerah di Maluku Utara. Hal-hal seperti ini memang dinamika dalam percakapan demokrasi, akan tetapi kita harus jujur bahwa nilai yang melekat pada entitas kelompok sosial ataupun nilai religius pada setiap individu menjadi metafisika juga nilai filosofis yang diyakini sebagai setiap orang dalam kehidupan berbanga, apalagi masyakarat Indonesia dengan multikultural maka ini kemudiaan di benahi dan bukan untuk politisasi.

Saya tidak bermaksud untuk menyingung etnis atau agama yang lain tetapi bukankah situasi semacam ini membuat kita gerah, bosan bahkan mungkin sebagai besar orang dilema ketika pasca pemelihan pilkada 2024, sebab problem kita saat ini problem stuktural juga problem kultural, pada akhirnya proporsi cita-cita setiap etnis, agama kehilangan arah dalam suasana demokrasi saat ini. Secara jujur agama memiliki nilai filosofi yang mengatur ruang kehidupan manusia dari berbagai dimensi, salah satunya dimensi metafisik. Secara ontologi metafisik dalam agama adalah sesuatu yang sakral yang tidak bisa dicampuri dengan kepentingan politik, apalagi terjadinya pengeringan agama masuk dalam pertarungan propaganda atas nama kepentingan kandidat tertentu dalam kontestasi politik. Agama tidak hanya sebagai standar untuk memberikan jalan pada pemeluknya untuk hidup bersama tetapi agama mewajibkan setiap pemeluknya untuk menjaga nilai dan prinsip kesetaraan, kebersamaan, keharmonisan. Semua prinsip dasar ini harus berada dalam arena politik di Maluku Utara ataupun secara umum. 

B. Guncangan Post-Truth

Era post-truth selalu digambarkan sebagai pergeseran sosial yang melibatakan media sosial menjadi arus utama dan pembuat opini. Pergeseran ini menjadi penyebab masyarakat mengunakan media sosial tidak terkontrol dalam memberikan informasi yang valid dan juga tidak terlepas dari menguatnya dunia digital dimana manusia terhubung antara satu dengan yang lain dalam satu system jaringan yang diberi nama internet. Dalam penjelasan kamus Oxfrod, istilah post-truth pertama kali dipakai pada tahun 1992 oleh Steve Tesich yang menggunakan istilah post-truth dalam artiklenya The Govrement Of Lies dalam majalah The Nation, pada tahun 1992 ketika merefelksikan sebuah kasus perang teluk dan kasus Iran. 

Kemunculan post-truth sendiri kebanyakan bersamaan dengan adanya masalah yang terkait dengan permasalahan politik dan adanya orang-orang tertentu yang mengambil keuntungan dari permasalahan tersebut. Karena alasan tersebut kemudian disebarkan berbagai informasi terkait permasalahan yang terjadi, namun dari sudut pandang maupun opini yang menguntungkan bagi orang tersebut, yang kemudian informasi tersebut dianggap benar oleh masyarakat umum, karena dianggap benar sesuai kejadian yang terjadi dan banyak yang mengabarkan serupa, tanpa mengetahui kebenaran ataupun bagaimana peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Politik pasca-kebenaran (disebut juga politik pasca-fakta) adalah budaya politik yang perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. Selain itu, poin topik pidato ditegaskan berkalikali tanpa mendengarkan balasan yang berbobot. Pasca-kebenaran berbeda dengan kebiasaan menantang dan mencari kelemahan kebenaran. Pasca-kebenaran justru menempatkan kebenaran di posisi kedua. Meski pasca-kebenaran dianggap sebagai masalah modern, ada kemungkinan bahwa ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan politik, tetapi kurang terkenal sebelum kehadiran Internet. 

 Dalam novel Nineteen Eighty-Four, George Orwell membayangkan sebuah negara yang mengganti catatan sejarah setiap hari agar pas dengan tujuan propaganda saat itu. Fenomena ini begitu kuat terjadi di Maluku Utata. Politik pasca-kebenaran (atau post-truth) disinyalir merupakan penyesuaian dari kata 'truthiness' yang kali pertama diciptakan Stephen Colbert dan terpilih sebagai Word of the Year tahun 2005 menurut American Dialect Society (ADS). Istilah Post-truth ini sebagian besar digunakan untuk hal yang merujuk pada dua momentum politik paling berpengaruh pada 2016, yaitu keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Post-truth di definisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal

Zaman saat ini telah mengantarkan manusia pada puncak teknologi yang massif di konsumsi oleh masyarakat perkotaan dan tidak sedikit terjadi normalisasi ini juga dirasakan oleh masyakarat pedesaan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Maluku Utara salah satu daerah yang memiliki kekayaan budaya dan sejarah, telah menghadapi sebuah tatangan besar yang cukup serius di era post-truth, terutama dalam konteks pendidikan. Apalagi dalam perhelatan kontestasi politik di beberapa minggu kemarin. Guncanagan post-truth tidak bisa terelakan dan hal yang kompleks terjadi. Fenomena post-truth- dimana data dan fakat objektif tidak lagi menjadi ukur, yang terjadi adalah masyarakat menerimah informasi dengan dorongan emosional tampa memverifikasi apakah informasi benar atau akurat, dengan fenomena secama ini terjadi pertarungan opini yang bertebaran di platfon media sosial. Pergeseran isu-isu strategis menjadi massif terjadi digunakan oleh kelompok, ataupun individu. Isu SARA menjadi propaganda strategis yang digunakan untuk saling serang menyerang. 

Revolusi industri mengantarakan eropa-barat untuk terlibat aktif dalam narasi populer tentang post-truth, bahwa kita hidup di era pasca-kebenaran (post-truth), dimana masyarakat tidak lagi melihat data dan fakat sebagai bukti informasi. Saya mengajak kita semua, kepada gen Z dan milenial dan dan khususnya masyarakat, untuk mengenal bagaimana latar belakang dan oreintasi munculnya post-truth dengan demikian dapat kita temukan kedepan seluruh masyarakat mampu memverifikasi serta mengfilter informasi-informasi sebelum menyebarkan informasi , dan tau bagaimana bertindak, serta meletakan informasi pada ruang yang sudah ada secara mendalam dan kritis. 

Masyarakat abad 21 ini memiliki kecenderungan untuk mudah terpolarisasi akibat arus balik informasi yang hampir tak terpetakan  dan tanpa kendali. Dalam arus seperti ini, polarisasi dihiasi politik identitas menjadi pesona yang makin menguat dengan proses yang cukup jelas. Hal ini tak terhindarkan karena gejala post-truth menandai adanya benturan peradaban yang memungkinkan terbukanya ruang perebutan atas pengakuan akan identitas kolektif, yang dengan sistematis diampli kasi secara cepat lewat bantuan teknologi informasi digital, yang juga merenggut sikap kritis dan rasionalitas.

Mengapa post-truth berbahaya? Karena sesuatu yang tidak benar dan memberikan dampak negatif malah mendapatkan dukungan yang besar. Padahal, keyakinan personal sangat subjektif dan tidak mewakili kebenaran. Apa yang menurut keyakinan seseorang benar, belum tentu benar pula bagi orang lain, malah bisa jadi sebetulnya informasi itu memang salah untuk semua orang. Keyakinan personal seseorang atau suatu kaum rentan menimbulkan konflik yang seharusnya tidak terjadi, karena sejatinya tidak ada yang salah dari kedua belah pihak. Pendidikan literasi media kepada masyarakat secara umum menjadi langka-langka ikhtiar yang harusnya dilakukan, untuk memberikan pemahaman dan metode yang muda pada masyarakat. Sinergitas  antara lembaga-lembaga negara terkait juga seluruh lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam praktik pendidikan literasi media yang bertujuan membangun kecerdasan emosinal dan kesadaran aktif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun